Home Seni Budaya Menyemai Kepemimpinan Humanis dan Kesadaran Psikologis dalam Gerakan Literasi

Menyemai Kepemimpinan Humanis dan Kesadaran Psikologis dalam Gerakan Literasi

Refleksi Lima Tahun Jagat Sastra Milenia

136
0
SHARE
Menyemai Kepemimpinan Humanis dan Kesadaran Psikologis dalam Gerakan Literasi

Keterangan Gambar : Acara bertajuk Refleksi 5 Tahun Jagat Sastra Milenia itu tak hanya menjadi perayaan, tetapi juga ruang pembelajaran. (sumber foto : tim JSM/pp)

JAKARTA II Parahyangan Post — Ruang Aula Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis (23/10), dipenuhi para pegiat dan pencinta sastra. Mereka hadir untuk merayakan lima tahun perjalanan Jagat Sastra Milenia (JSM), komunitas literasi yang tumbuh di persimpangan antara seni, teknologi, dan kemanusiaan.

Acara bertajuk Refleksi 5 Tahun Jagat Sastra Milenia itu tak hanya menjadi perayaan, tetapi juga ruang pembelajaran. Dua kuliah umum yang disajikan menghadirkan pandangan baru tentang kepemimpinan komunitas seni serta kaitan antara psikologi dan karya sastra.

Menyalakan Kepemimpinan yang Kreatif

Ketua Jagat Sastra Milenia, Riri Satria, membuka sesi pertama dengan kuliah umum berjudul “Kepemimpinan untuk Pengelola Komunitas/Organisasi Kesenian.” Dalam paparannya, Riri menekankan pentingnya model kepemimpinan yang fleksibel, partisipatif, dan berorientasi pada tumbuhnya kreativitas.

“Komunitas seni tidak bisa dikelola dengan model korporasi yang kaku. Ia hidup dari semangat gotong royong dan visi yang lahir dari hati,” ujarnya.

Dia menjelaskan empat model organisasi—mekanistik, komunal, kreatif, dan organik—yang dapat menjadi acuan bagi pengelola komunitas seni. Menurutnya, pemimpin komunitas tidak sekadar mengatur, tetapi menyalakan semangat kreatif di antara anggotanya. “Temukan suaramu, lalu bantu orang lain menemukan suaranya,” kata Riri menutup sesinya yang disambut tepuk tangan panjang peserta.

Sastra sebagai Ruang Penyembuhan

Sesi berikutnya menghadirkan Ririen Fina Richdayanti, psikolog klinis sekaligus pecinta sastra, yang membawakan kuliah umum bertema “Persoalan Psikologi Individu dan Masyarakat dalam Penulisan Karya Sastra.”

Ririen menilai bahwa menulis sastra dapat menjadi bentuk terapi jiwa. Melalui bahasa, seseorang berupaya memahami sekaligus menyembuhkan luka batin yang dialaminya. Dia juga menyoroti keterkaitan antara kondisi sosial dan kesehatan mental masyarakat.

“Ketika kebijakan lebih banyak menyakiti daripada menyembuhkan, kesehatan mental kita ikut terpuruk. Dan itu bukan sekadar masalah pribadi, tetapi persoalan politik,” tegasnya.

Menurut Ririen, kesadaran ini penting bagi dunia sastra karena menjadikan karya sastra bukan hanya ekspresi estetika, tetapi juga bentuk empati dan kritik sosial terhadap ketidakadilan.

Enam Buku, Enam Suara

Selain kuliah umum, acara juga diisi dengan pembacaan puisi oleh enam penulis: Udi Utama, Romy Sastra, Khairani Piliang, Nurhayati, Hanna Sania, dan Erna Winarsih Wiyono.

Dalam kesempatan itu, mereka meluncurkan enam buku puisi terbaru:


Ibu Tali Pusat Kami – Udi Utama

Heraldik Berwajah Seribu – Romy Sastra

Seduh Sedih yang Bertasbih – Khairani Piliang

Rindu di Ruang Tungku – Nurhayati

Setabah Waktu Sepatah Cemburu – Hanna Sania

Stasiun Rupa Aksara (cetakan kedua) – Erna Winarsih Wiyono

Tim kurator dan editor—Sofyan RH Zaid, Rissa Churria, dan Nunung Noor El Niel—menyebut enam karya tersebut bukan sekadar dokumentasi, melainkan bagian dari perjalanan spiritual dan intelektual para penulisnya. Hingga 2025, JSM telah menerbitkan 28 buku, mencakup puisi, cerpen, esai, dan novel.

Gerakan Literasi yang Menyentuh Jiwa

Dalam penutupan, Riri Satria menyampaikan refleksi bahwa dua kuliah umum tersebut mencerminkan arah baru gerakan literasi yang digagas JSM: perpaduan antara kepemimpinan humanis dan kesadaran psikologis yang empatik.

“Memimpin adalah seni memahami jiwa manusia. Gerakan literasi masa depan harus mampu menumbuhkan kesadaran sosial, menyembuhkan luka kolektif, dan membuka ruang bagi siapa pun untuk menulis tanpa takut,” ujarnya.

Dia menambahkan, literasi di era milenial bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga cara berpikir dan merasakan dunia. JSM juga dikenal berani mengangkat tema-tema tak lazim dalam karya sastra, seperti masyarakat cerdas 5.0, sustainable development goals (SDGs), dan isu kesehatan mental.

“Bersama Tak Mesti Sama”

Perayaan lima tahun JSM turut dihadiri perwakilan Komisi Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Aquino Hayunta. Dia menyampaikan apresiasinya terhadap semangat inklusif JSM yang tercermin dalam lagu Mars JSM, dengan lirik “Bersama itu tak mesti sama.”

“Prinsip itu mencerminkan hakikat berkesenian sekaligus kehidupan berbangsa. Dunia seni membutuhkan kepemimpinan dan manajemen yang mampu menumbuhkan ruang kreatif bersama,” ujar Aquino.

Tentang Jagat Sastra Milenia

Didirikan pada 2020, Jagat Sastra Milenia (JSM) merupakan komunitas literasi lintas disiplin yang berfokus pada pengembangan penulisan kreatif, riset sastra, dan kolaborasi budaya. Selama lima tahun, JSM aktif menggelar diskusi, peluncuran buku, lokakarya, serta kerja sama dengan berbagai lembaga seni dan pendidikan.

Kini, JSM telah menjadi rumah bagi penulis, akademisi, dan pembaca dari berbagai latar belakang — sebuah ruang di mana kata menjadi cahaya, dan sastra menjadi medium penyembuhan bagi manusia. - (rissa c/pp)