Oleh : Vivin Alwan
Ketua Umum: Wanita Indonesia Pemerhati Pariwisata “WIPP”
Indonesia dijuluki sebagai “surga yang jatuh ke bumi”. Mulai dari sabang sampai Merauke, bentang alam Nusantara menghadirkan panorama yang sulit ditandingi, dari laut biru jernih, pegunungan hijau, hutan tropis yang rimbun, dan kebudayaan yang kaya warna. Namun, di balik keindahan itu, terselip ironi surga ini perlahan berubah menjadi cerita nostalgia yang kian jauh dari kenyataan. Kerusakan lingkungan menjadi potret buram di balik slogan “Wonderful Indonesia”. Deforestasi, pencemaran laut, eksploitasi tambang, dan pembangunan pariwisata tanpa kendali telah menggerus wajah alami negeri ini. Di banyak daerah, pepohonan digantikan beton, dan suara burung tergantikan deru mesin. Keindahan yang dulu diwariskan leluhur kini terancam menjadi kenangan bagi generasi mendatang.
Padahal, secara filosofi hidup masyarakat Nusantara sejatinya berpijak pada keseimbangan antara manusia dan alam. Dalam kearifan lokal, hutan bukan sekadar sumber kayu, laut bukan sekadar ladang tangkap, melainkan ruang kehidupan yang harus dijaga bersama. Sayangnya, nilai-nilai penting itu kini terpinggirkan oleh logika ekonomi instan dan ambisi pembangunan jangka pendek. Karena itu sudah saatnya kita berhenti menjadikan alam sebatas latar belakang foto wisata karena menjaga keindahan Nusantara bukan tugas pemerintah semata, melainkan tanggung jawab bersama seluruh warga bangsa. Kesadaran sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaan plastik, hingga mendukung pariwisata berkelanjutan adalah langkah nyata menjaga warisan kita.
Surga Nusantara tidak boleh hanya hidup di brosur pariwisata atau kisah masa lalu. Tapi harus tetap nyata terjaga, lestari, dan membahagiakan. Sebab kehilangan alam berarti kehilangan identitas kita sebagai bangsa maritim dan agraris. Jika kita abai, jangan salahkan siapa pun ketika generasi mendatang hanya mengenal keindahan Indonesia hanya sebatas cerita.
Indonesia dengan Pontensi yang Luar Biasa
Sebelum membahas ancaman dan solusi, mari kita hargai dulu betapa uniknya bentang alam dan budaya kita. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17 000 pulau, yang memberi keragaman ekosistem laut, terumbu karang, hutan tropis, rawa, dan budaya lokal yang beraneka ragam. Keindahan dan potensi ini merupakan modal penting baik untuk pariwisata, pendapatan masyarakat lokal, maupun keberlanjutan ekologis jangka panjang.
Ancam Nyata Terhadap Surgannya Indonesia
Dalam hal hutan alam, data Global Forest Watch (GFW) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, Indonesia kehilangan sekitar 259 000 hektare hutan alam, yang ekuivalen dengan pelepasan sekitar 194 megaton CO?. Sebuah studi yang lain menemukan bahwa dari periode 2001–2016, perluasan perkebunan besar (kelapa sawit, pulp, kertas) merupakan penyumbang utama deforestasi sawit saja menyumbang sekitar 23 % (rentang 18-25 %) dari total deforestasi nasional dalam periode tersebut. Dari sisi pariwisata, riset menunjukkan bahwa pengembangan wisata yang cepat dan infrastruktur fisik terkait dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan mulai dari polusi air dan udara, hingga degradasi lahan dan ekosistem laut. Lebih spesifik lagi, kajian terbaru mengenai ekowisata di Indonesia menyimpulkan bahwa sebagian besar situs ekowisata tidak mengalami pengurangan signifikan dalam tingkat kehilangan hutan dibandingkan area kontrol beberapa malah menunjukkan peningkatan deforestasi.
Untuk menjadikan keindahan Indonesia lebih terjaga dan bukan hanya sekadar niat untuk menjaga tapi dibuktikan dengan tindakan nyata kita dapat merujuk pada beberapa kerangka teori yang mapan seperti berikut:
Pertama teori keberlanjutan (sustainability theory): Konsep pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Pada konteks alam budaya Indonesia, artinya kita harus menyeimbangkan eksploitasi (wisata, sumber daya) dengan konservasi, restorasi, dan partisipasi masyarakat lokal.
Kedua tragedi commons (the tragedy of the commons): Ketika suatu sumber daya bersama (misalnya hutan, laut, keanekaragaman hayati) tidak memiliki pengaturan kepemilikan atau tata kelola yang efektif, maka cenderung dieksploitasi secara berlebihan karena semua pihak ingin mengambil sebanyak-banyaknya. Dalam konteks Nusantara, banyak wilayah yang secara ‘commons’ dimanfaatkan tanpa sistem pengelolaan yang kuat.
Ketiga ekowisata dan pariwisata berkelanjutan: Teori ini menekankan bahwa wisata tidak hanya soal kunjungan dan ekonomi, tetapi juga soal dampak sosial-ekologi, keterlibatan masyarakat lokal, distribusi manfaat, dan pelestarian budaya serta alam. Namun seperti yang riset menunjukkan, ekowisata tidak otomatis menjamin konservasi perlu desain yang benar.
Keempat keanekaragaman hayati & fungsi ekosistem (ecosystem services theory): Hutan, laut, mangrove, terumbu karang semua ini bukan sekadar “indah”, tetapi memberikan jasa penting, penyerapan karbon, perlindungan pantai, penyediaan pangan, iklim mikro, serta budaya. Kehilangan atau kerusakan berarti kehilangan layanan ini juga dan yang ke, Kelima modal sosial dan kearifan lokal: Teori pembangunan lokal menunjukkan bahwa keberlanjutan lebih mudah dicapai bila masyarakat lokal memiliki kapabilitas, kepemilikan, dan peran aktif. Dalam banyak komunitas di Nusantara, kearifan lokal (lihat: adat hutan, sistem sasi, sistem budaya memancing) bisa menjadi basis pengelolaan alam yang lebih baik.
Mari Menjaga Keindahan Agar Tak Hanya Jadi Cerita Tapi Strategi Nyata
Penting kiranya melakukan penguatan kebijakan dan regulasi di lingkungan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa regulasi pengelolaan hutan, laut, wisata, tambang, dan kawasan konservasi bukan hanya ada di kertas, tetapi diterapkan secara nyata. Misalnya, moratorium perluasan perkebunan di hutan alam harus disertai pengawasan satelit, pelibatan masyarakat lokal, dan sanksi tegas. Pengelolaan partisipatif dan pelibatan masyarakat local masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, laut, atau kawasan wisata harus menjadi pemegang peran (bukan hanya objek). Mereka memiliki hak, tanggung jawab, dan manfaat dari pengelolaan sumber daya alam ini menciptakan modal sosial yang memperkuat pengawasan dan pelestarian.
Restorasi dan rehabilitasi ekosistem tidak cukup hanya menghentikan kerusakan; kita harus memulihkan. Hutan yang gundul, terumbu karang yang memutih (bleaching), mangrove yang ditebangi perlu program restorasi aktif agar fungsi ekosistem kembali optimal.
Surga Nusantara itu nyata namun tidak datang secara otomatis untuk selamanya. Keindahan tersebut bisa hilang jika kita membiarkannya dirusak oleh ambisi sesaat, eksploitasi tanpa kendali, atau acuh tak acuh. Melalui data dan teori kita memahami bahwa penjagaan keindahan ini tidak hanya soal “menikmati” tetapi soal “menjaga”, “mengelola”, dan “mewariskan pada anak cucu nantinya”. Karena itu jika kita berhasil melakukan langkah-langkah nyata regulasi tegas, masyarakat aktif, wisata yang bertanggungjawab, data yang transparan, serta restorasi dan pendidikan yang kuat maka keindahan Indonesia akan terus menjadi kenyataan bagi kita dan anak-cucu kita kedepannya. Sebaliknya, jika kita lalai, maka jangan heran jika generasi mendatang hanya mengenal surga ini sebagai cerita indah dalam buku sejarah semata. Karena itu mari kita jadikan keindahan Nusantara hidup hari ini, terjaga untuk esok, dan bukan hanya kisah yang menjadi kenangan.







LEAVE A REPLY