Keterangan Gambar : Juwito Faisal (Foto : ist/pp)
Oleh : H. J. Faisal
Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor/ Anggota PB Al Washliyah
Teori tentang adanya niat dan kesempatan di dalam dunia kejahatan memang terbukti benar sekali lagi. Meskipun tidak mempunyai niat untuk melakukan sebuah kejahatan, tetapi jika ada kesempatan yang menyertainya, maka kemungkinan besar, kejahatan bisa terjadi.
Begitupun sebaliknya, meskipun tidak ada kesempatan untuk melakukan kejahatan, tetapi jika sudah mempunyai niat yang kuat untuk melakukannya, maka kejahatan tersebut kemungkinan besar juga bisa terjadi, karena kesempatan memang sejatinya dapat diciptakan.
Seperti kasus penyuapan penerimaan mahasiswa baru yang terjadi di kampus Universitas Negeri Lampung (Unila) yang dilakukan oleh sang rektornya sendiri, yaitu Prof. Dr. Karomani bersama beberapa jajarannya secara bersama-sama, mungkin terjadi karena memang perpaduan antara faktor niat dan faktor kesempatannya sudah terpadu dengan sempurna. Artinya, niat untuk mendapatkan uang suapnya sudah kuat, ditambah lagi dengan kesempatannya yang memang sungguh terbuka sangat lebar.
Seorang rektor yang seharusnya menjadi panutan seluruh jajaran kampusnya untuk memberikan pendidikan anti korupsi, dan yang seharusnya menjadi ‘role model’ untuk merasa malu jika berbuat curang, justru malah ‘berhasil’ memberikan contoh untuk melakukan tindakan korupsi dan curang tersebut.
Sejatinya, kedudukan seorang rektor, yang apalagi seorang guru besar (profesor) di sebuah universitas memang memiliki padanan kendali akademik, seperti kuasa yang dimiliki oleh seorang perwira di kalangan militer atau kepolisian. Kuasa dan rasa nyaman dalam kendali semacam itu, terkadang memang menghadirkan dorongan dan kecenderungan untuk berbuat di luar nalar etika dan norma standar yang seharusnya (Abuse of Power).
Jalur mandiri untuk masuk ke perguruan tinggi memang telah disinyalir sebagai jalur yang sangat rawan dengan tindakan korupsi. Bagaimana tidak, menurut Permendikbud Nomor 6 Tahun 2020, jika dua jalur lainnya yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan kuota minimum 20%, dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dengan kuota minimum 40%, sangat ketat diawasi oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT), tidak begitu dengan jalur mandiri yang harus diisi dengan kuota maksimal 30%.
Jalur mandiri merupakan kewenangan yang diterima oleh masing-masing universitas untuk menerima calon mahasiswa mereka dengan membayar tarif atau uang masuk yang telah ditetapkan oleh masing-masing kampus tersebut. Artinya, ada kewenangan yang sangat besar bagi rektor dan jajaran petinggi kampus lainnya untuk mengatur segala hal, mulai dari waktu tes masuk, jumlah biaya belajarnya, dan skema-skema lainnya. Maka, disinilah ruang atau kesempatan untuk tindakan korupsi terbuka lebar.
Sebenarnya, pada awalnya tujuan diadakannya jalur mandiri oleh pemerintah cukup bagus. Jalur mandiri digunakan selain untuk mencukupi skema pendanaan bagi sebuah universitas, juga dimaksudkan untuk program subsidi silang bagi 20% mahasiswa yang tidak mampu untuk tetap bisa belajar di universitas atau kampus tersebut.
Tetapi di dalam proses pelaksanaannya, sebagian pihak menilai bahwa kebijakan pemerintah yang secara bertahap mengurangi pembiayaan untuk perguruan tinggi ini, justru dipandang sebagai satu dari sekian simpul penyebab masalah.
Alih-alih murni berfokus untuk memperkuat layanan dan akses setara dan berkeadilan melalui kekuatan ekosistem inovasi, sebagian universitas kita justru terseret masuk ke dalam jerat kesalahan paradigma.
Persaingan dan perburuan demi sebutan sebagai universitas unggul di tingkat nasional maupun universitas berkelas dunia menjadi simpul yang pelik. Pilihan untuk tumbuh dalam cara seperti itu menyertakan konsekuensi beban biaya yang besar dan memberatkan.
Ketidakmampuan universitas-universitas di Indonesia pada umumnya, di dalam memenuhi pembiayaan operasional universitas dengan berbasis kepada inovasi dari kuatnya hilirisasi hasil riset dan layanan profesional, memang masih menjadi ciri ekosistem inovasi universitas di Indonesia. Dengan demikian, universitas kita masih memiliki pengumpulan pendanaan yang lemah jika dibandingkan dengan universitas-universitas besar lainnya yang berkelas dunia.
Dampaknya, universitas atau institut kita yang belum mampu membangun strategi pembiayaan kreatif, cenderung terdorong untuk menjadikan proses seleksi penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri sebagai jalan keluar yang instan.
Secara hukum hal itu memang boleh dilakukan.
Hanya saja di dalam pelaksanaannya, tidak ada audit dan pengawasan yang ketat dari pemerintah untuk pelaksanaan jalur mandiri tersebut. Ditambah lagi, universitas atau kampus-kampus yang melaksanakan proses penerimaan mahasiswa jalur mandiri tersebut juga tidak pernah memberikan catatan keuangan tentang berapa hasil dari jalur mandiri yang didapat tersebut kepada publik.
Maka, dengan tertangkapnya Rektor Unila dan beberapa jajarannya pada hari Sabtu yang cerah, tanggal 20 Agustus 2022, sepertinya dapat menjadi pembelajaran bagi rektor-rektor kampus negeri lainnya untuk membenahi laporan keuangan jalur mandiri kampus mereka, agar kejadian memalukan yang menjadi aib bagi dunia pendidikan Indonesia ini tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
Dengan kata lain, para rektor di kampus-kampus negeri di Indonesia juga harus mampu untuk membuang jauh-jauh niat untuk melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Rektor Unila, dengan mengabaikan semua kesempatan-kesempatannya, jika tidak ingin bernasib sama dengan sang Professor dari Unila, ‘kuliah’ lagi di KPK.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 25 Agustus 2022
LEAVE A REPLY