Home Opini Indonesia Surga Tersembunyi - Keindahan yang Terancam

Indonesia Surga Tersembunyi - Keindahan yang Terancam

130
0
SHARE
Indonesia Surga Tersembunyi - Keindahan yang Terancam

Oleh : Vivin Alwan: 
Ketua Umum Wanita Indonesia Pemerhati Pariwisata “WIPP”

INDONESIA - Sering disebut sebagai “surga tersembunyi di khatulistiwa”. Ini bukan sekedar julukan tanpa alasan tapi fakta membuktikan itu. Menjadi negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 adalah faktanya, pulau ini menyimpan kekayaan alam serta budaya luar biasa, dari pesona laut Raja Ampat, hijaunya hutan Kalimantan, hingga keanggunan budaya Toraja. Namun, di balik julukan yang indah itu, tersimpan ironi,  surga ini masih terlalu sering “tersembunyi” bukan hanya dari dunia, tetapi juga dari perhatian bangsanya sendiri.

Indonesia bukan sekadar hamparan pulau di antara dua benua dan dua samudra. Tapi mozaik keindahan dan keragaman yang tiada duanya. Hamparan pasir putih di Raja Ampat hingga hijaunya hutan tropis Kalimantan, megahnya Gunung Rinjani hingga tenangnya Danau Toba memberikan setiap sudut negeri ini menyimpan kisah dan keajaiban. Namun, keindahan sejati Indonesia tidak hanya terletak pada alamnya. Tapi bersemayam dalam senyum tulus warganya, dalam harmoni ratusan bahasa dan budaya yang hidup berdampingan. Indonesia adalah surga yang tersembunyi bukan karena tidak terlihat, tetapi karena seringkali kita lupa untuk benar-benar melihatnya.

Selain itu, romantisisasi Indonesia sebagai “surga” sering kali menutupi realitas kerusakan alam yang kian meningkat. Eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan dan pariwisata justru membuat “surga” itu perlahan kehilangan pesonanya. Banyak destinasi wisata yang awalnya alami kini rusak akibat pembangunan tanpa perencanaan berkelanjutan, seperti penebangan hutan, pencemaran laut, dan tumpukan sampah wisata. Paradoks ini menunjukkan bahwa di satu sisi kita mengagungkan alam Indonesia, tetapi di sisi lain kita menjadi penyebab kehancurannya.

Pemerintah dan masyarakat memang terus berupaya memajukan pariwisata. Namun, promosi besar-besaran sering kali hanya terpusat pada destinasi tertentu seperti Bali, Labuan Bajo, atau Mandalika. Padahal, masih banyak daerah dengan potensi luar biasa yang belum tersentuh pembangunan, infrastruktur, maupun dukungan promosi. Akibatnya, ketimpangan pariwisata pun muncul daerah populer semakin ramai, sementara potensi lain diabaikan dan terancam terlupakan.

Lebih memprihatinkan lagi, di tengah euforia pariwisata, kita sering melupakan prinsip keberlanjutan. Banyak destinasi wisata alam kini menghadapi ancaman kerusakan akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali. Sampah plastik menumpuk di pantai, terumbu karang rusak karena aktivitas snorkeling tak teratur, dan hutan tropis ditebangi demi membuka lahan baru. Ironisnya, kita memuja keindahan yang perlahan kita rusak sendiri.

Tidak hanya dari aspek lingkungan, masalah sosial pun turut menyertai. Pariwisata yang dikembangkan dengan dalih membuka akses ke “surga tersembunyi” sering kali tidak memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat lokal. Keuntungan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh investor besar, sementara warga sekitar hanya menjadi pekerja berupah rendah. Hal ini memperlihatkan bahwa “surga” yang seharusnya menyejahterakan justru berubah menjadi ladang eksploitasi baru.

Maka dari itu, penting bagi kita untuk meninjau kembali makna “Indonesia Surga Tersembunyi.” Julukan ini seharusnya tidak berhenti pada kebanggaan estetis, tetapi menjadi pemicu kesadaran ekologis dan sosial. Indonesia tidak boleh terus-menerus disebut “tersembunyi” karena keterlambatan pembangunan dan ketimpangan. Sebaliknya, keindahan alam dan budaya Indonesia perlu dijaga dengan kebijakan berkelanjutan, pengelolaan lingkungan yang bijak, serta pemberdayaan masyarakat lokal agar menjadi tuan di tanah sendiri.

Romantis Menutupi Ketimpangan

Istilah “tersembunyi” merupakan frasa yang sering kali mengandung makna ganda. Di satu sisi menandakan pesona alam serta budaya yang belum banyak dikenal dunia. Namun, di sisi lain, istilah itu juga mencerminkan realitas yang lebih getir bahwa banyak wilayah indah di Indonesia justru tersembunyi karena terpinggirkan dari arus pembangunan.

Daerah-daerah yang disebut “surga” sering kali berada di wilayah terpencil, jauh dari akses infrastruktur memadai. Masyarakatnya hidup dalam keterbatasan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Ironisnya, ketika pariwisata mulai dikembangkan, warga lokal tidak selalu menjadi penerima manfaat utama. Banyak yang hanya menjadi pekerja kasar di industri wisata yang didominasi investor besar. Akibatnya, keindahan alam yang semestinya menjadi sumber kesejahteraan justru melahirkan wajah baru dari ketimpangan ekonomi.

Keindahan yang Diekpolitasi

Romantisisasi “surga” juga sering menutupi kenyataan pahit bahwa keindahan itu kian terancam oleh eksploitasi alam. Di berbagai daerah, pengembangan pariwisata dilakukan tanpa kajian lingkungan yang matang. Pembangunan hotel, resor, dan akses transportasi kerap mengorbankan hutan, mangrove, dan kawasan pesisir yang menjadi penopang ekosistem.

Contohnya, beberapa kawasan wisata di Labuan Bajo dan Lombok kini menghadapi tekanan lingkungan akibat pembangunan besar-besaran yang tidak selalu berpihak pada prinsip keberlanjutan. Peningkatan jumlah wisatawan memang mendatangkan devisa, tetapi juga menghasilkan tumpukan sampah, limbah plastik, dan degradasi ekosistem laut. Ironisnya, di saat pemerintah gencar mempromosikan “Wonderful Indonesia”, banyak daerah wisata alami justru kehilangan keaslian dan keseimbangannya.

Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut para sosiolog sebagai “paradoks pariwisata” di mana upaya untuk memperkenalkan keindahan alam justru mengarah pada penghancurannya. Jika “surga” terus dijadikan komoditas tanpa regulasi ketat, maka keindahan yang kita banggakan hari ini hanya akan menjadi nostalgia dalam bingkai angan-angan.

Nasionalisme Ekologis yang Belum Terwujud

Kebanggaan terhadap keindahan Indonesia seharusnya diiringi dengan kesadaran ekologis. Sayangnya, nasionalisme kita sering kali berhenti pada tataran slogan. Kita bangga menyebut Indonesia sebagai negeri yang indah, tetapi masih abai terhadap sampah, pembalakan liar, dan pencemaran lingkungan. Bahkan di banyak destinasi wisata populer, perilaku wisatawan dan pengelola masih jauh dari prinsip eco-tourism yang berkelanjutan.

Di titik ini, kita perlu mengubah cara pandang terhadap “Indonesia Surga Tersembunyi.” Kebanggaan terhadap keindahan alam tidak boleh hanya menjadi alat promosi, tetapi juga tanggung jawab moral. Pemerintah, masyarakat, dan pelaku industri wisata harus bekerja sama menjaga keseimbangan antara eksplorasi dan konservasi. Tanpa kesadaran ekologis, narasi “surga” hanya akan menjadi mitos kosong.

Pada akhirnya, Indonesia memang surga namun bukan sekadar surga yang tersembunyi, melainkan surga yang harus dijaga, dirawat, dan diungkap dengan tanggung jawab. Jika tidak, maka keindahan yang kita banggakan hari ini hanya akan menjadi kenangan di hari esok. (*)