Home Opini Toleransi: Sekadar Saling Menghargai atau Menghilangkan Jati Diri?

Toleransi: Sekadar Saling Menghargai atau Menghilangkan Jati Diri?

202
0
SHARE
Toleransi: Sekadar Saling Menghargai atau Menghilangkan Jati Diri?

Oleh : Syiria Sholikhah 
Mahsiswi Universitas Indonesia (UI)


APA - Sebenarnya yang kita pahami tentang toleransi? Mengapa toleransi selalu menjadi perdebatan tak berujung yang terus memicu diskusi panas di masyarakat? Setiap waktu, kita mendengar tuntutan, “Toleransi dong!” Misalnya, tentang mengucapkan “Selamat Natal” yang dianggap sekadar ungkapan sopan santun. Atau keluhan, “Tolong kalau ngaji jangan pakai speaker masjid karena mengganggu orang,” dengan tambahan bahwa mendengar adzan lima kali sehari saja sudah cukup, terutama di waktu subuh. Terdengar familiar, bukan? Baru-baru ini, muncul kontroversi seorang muslimah yang mengucapkan “salam toleransi” saat menghadiri acara di gereja, yang langsung ramai diperdebatkan di media sosial.

Pertanyaannya, apakah untuk menghindari label intoleran kita perlu turut serta dalam ibadah umat lain? Haruskah kita berpakaian atau bergaya seperti mereka hingga akhirnya kita kehilangan identitas sebagai seorang muslim? Dan, apakah jika kita tidak turut mengindahkan peribadahan mereka, kita langsung dicap intoleran? Apakah kita dianggap tidak menghargai hanya karena kita tidak ikut serta dalam perayaan mereka? Mungkin, perlu dipertanyakan kembali: Apa sebenarnya arti toleransi? Apakah cukup sekadar saling menghargai perbedaan, atau justru melibatkan pengorbanan identitas diri? Di tengah keragaman yang ada, penting kiranya bagi kita untuk menemukan keseimbangan antara menghargai keyakinan orang lain tanpa harus mengorbankan jati diri atau melanggar batas keyakinan kita sendiri. 


Sebelum lebih mendalam membahas toleransi, mari mengenal terlebih dahulu konsep hadlarah dan madaniyah. Mungkin kita bertanya-tanya, apa hubungannya hadlarah dan madaniyah dengan toleransi? Meski terkesan asing, kedua istilah ini memiliki kaitan erat dalam pemahaman kita mengenai toleransi, sehingga penting untuk mengupasnya. Hadlarah adalah kumpulan ide atau pemahaman yang dianut oleh individu atau masyarakat dan mencerminkan pandangan mereka tentang kehidupan. Sementara itu, madaniyah merujuk pada bentuk fisik dari benda-benda yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Madaniyah ini terbagi menjadi dua, yaitu madaniyah yang bersifat umum yang dapat digunakan oleh siapa pun dari berbagai latar belakang agama dan madaniyah yang bersifat khusus. Bagi umat Islam, madaniyah yang bersifat khusus sebaiknya diambil sesuai dengan ajaran Islam.

Pemahaman yang berasal dari luar Islam sering kali memiliki prinsip yang bertentangan dengan Islam, di mana Islam tidak memisahkan agama dari kehidupan, sedangkan paham lainnya sering menganggap agama hanya relevan dalam konteks ibadah ritual saja. Di sinilah pentingnya memahami madaniyah khas, karena sering kali konsep ini disalahartikan. Madaniyah khas cenderung mengandung unsur hadlarah tertentu, yang bagi umat Islam perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Dalam konteks toleransi, setiap umat beragama memiliki keunikan madaniyah mereka masing-masing. Kita tidak perlu mengenakan pakaian khas agama lain, begitu pula mereka tidak diharuskan berpakaian layaknya umat Islam. Bagi umat Islam, mengenakan busana yang menutup aurat, seperti gamis dan kerudung, merupakan bagian dari identitas yang tidak perlu dicampuradukkan. Toleransi terletak pada kemampuan untuk saling menghormati tanpa memaksakan madaniyah dari agama lain. Setiap agama memiliki nilai dan identitas yang unik, dan toleransi adalah menghargai perbedaan tersebut tanpa perlu melampaui batas keyakinan kita masing-masing.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi berarti sikap menghargai dan membiarkan orang lain dengan keyakinan mereka masing-masing. Artinya, toleransi bukanlah mengikuti atau turut serta dalam kepercayaan atau ibadah orang lain, baik dalam hal madaniyah khas maupun dalam aspek hadlarah serta ibadah. Bukan bergabung atau menyatu dalam ritual mereka, melainkan memberi ruang agar mereka bisa menjalankan keyakinan mereka tanpa gangguan. Dengan demikian, toleransi adalah tentang membiarkan dan menghormati keyakinan orang lain tanpa merusak iman sendiri.

Islam sebagai agama yang sering kali dianggap intoleran, pernyataan di atas jelas tidak berdasar. Islam justru mengajarkan toleransi yang terbaik. Dalam Al-Quran, Allah sendiri menegaskan pentingnya toleransi, misalnya dalam Surah Al-An’am ayat 108, di mana Allah melarang umat Islam mencela sesembahan orang-orang yang tidak seiman. Larangan tersebut merupakan perintah yang wajib dilaksanakan. Selain itu, Surah Al-Kafirun juga memperjelas posisi toleransi dalam Islam dengan pesan yang tersurat dalam ayat terakhir: "Lakum diinukum wa liya diin" (untukmu agamamu, dan untukku agamaku). Ayat ini menegaskan prinsip Islam untuk menghormati perbedaan keyakinan tanpa mencampuradukkan iman.

Islam mengajarkan bahwa toleransi harus didasari pada syariat, bukan sekadar perasaan atau penilaian pribadi yang terbatas pada logika. Logika memang penting, tetapi dalam Islam ia harus dibatasi oleh syariat, agar tidak melenceng dan membahayakan iman. Islam tidak memisahkan antara akal dan perasaan, melainkan menempatkan keduanya sesuai dengan perannya masing-masing: akal sebagai pemimpin, dengan perasaan sebagai penggeraknya. Namun, di tengah semua ajaran ini, mengapa justru  Islam seringkali dianggap intoleran, bahkan di negara yang mayoritas berpenduduk Muslim? Mengapa umat Islam yang menjalankan syariat agamanya, seperti memakai cadar atau berjilbab, sering kali dipandang miring?


Fenomena ini menunjukkan bahwa sering kali umat Islam menjadi target diskriminasi atas nama toleransi. Ironisnya, yang paling vokal bicara soal toleransi justru kerap bersikap intoleran terhadap Islam. Sistem kehidupan hari ini terasa kurang mencerminkan nilai-nilai Islam dalam banyak aspek, sehingga membuat umat Muslim sering kali "dikebiri" bahkan di lingkungan mayoritas. Maka, tidakkah kita merindukan hadirnya seorang pemimpin dan pelindung bagi umat Islam yang dapat menegakkan toleransi sejati sesuai prinsip agama? (*)