Oleh : Fathur Rohman
Pengurus Nasional Karang Taruna “Bidang Tangap Bencana”
Setiap bencana adalah ujian bukan hanya bagi alam yang mengguncang manusia, tetapi juga bagi manusia yang diuji oleh keadaan. Gempa, banjir, tanah longsor, atau kebakaran hutan selalu datang tanpa mengetuk. Namun cara kita meresponsnya selalu meninggalkan pertanyaan: apakah kita benar-benar tanggap, atau hanya bereaksi ketika semuanya sudah telambat?
Namun sering kali, respons bencana di negeri ini lebih tampak seperti rutinitas yang diulang-ulang misalnya laporan cepat dibuat, rapat darurat diadakan, rompi harus dibagikan, serta kamera yang bergulir di mana-mana. Tetapi di balik semua itu, korban di lapangan masih menunggu hal sederhana informasi akurat, akses evakuasi, dan bantuan nyata yang bukan hanya tiba, tetapi tiba tepat waktu.
Setiap kali bencana datang, jargon-jargon yang sama selalu bersileweran dimana-mana: “Kami bergerak cepat!” Tapi sering kali yang terlihat justru gerak ramai, bukan gerak berarti. Realitasnya jalanan penuh kendaraan berstiker bantuan, rompi oranye berseliweran, konferensi pers di mana-mana namun korban di lapangan masih menunggu selimut kering dan segelas air bersih ini adalah sebuah fakta yang tidak bisa dielakan.
Klaim bahwa semua bergerak cepat ironisnya yang bergerak cepat justru mikrofon, kamera, dan rombongan pejabat yang datang lebih dulu daripada bantuan yang dibutuhkan warga.
Seharusnya gerak cepat mengalir seperti refleks: tepat, senyap, tanpa drama. Tapi yang sering kita lihat justru gerak sibuk yang penuh koreografi: rapat darurat yang lebih panjang dari napas korban yang menunggu pertolongan, postingan “siaga bencana” yang lebih rapi dari koordinasi tim lapangan, hingga rombongan mobil bantuan yang menghabiskan bahan bakar lebih banyak daripada logistik yang seharusnya dibawa.
Fenomena ini membuat publik bertanya-tanya: apakah semua ini benar-benar respons cepat, atau sekadar respons sibuk?
Harusnya Gerak cepat itu sunyi tapi terasa. Bantuan tiba sebelum kamera. Koordinasi rapi tanpa perlu spanduk besar. Data akurat, kebutuhan korban terlayani, dan ego ditinggalkan. Sebaliknya, gerak sibuk itu bising tapi tak berdampak. Semua terlihat sibuk, tapi tak ada yang benar-benar selesai. Kadang yang lebih dulu tiba justru postingan media sosial, bukan logistik.
Ironisnya, di era serba visual, pencitraan kadang bergerak lebih cepat daripada pertolongan. Padahal, dalam bencana, yang dibutuhkan bukan siapa yang paling dulu pasang logo, tapi siapa yang paling cepat pulihkan harapan. Akhirnya, tanggap bencana seharusnya bukan soal siapa yang terlihat bekerja, melainkan siapa yang benar-benar bekerja. Karena korban tak butuh keramaian, tapi butuh kepastian.
Gerak sibuk itu mudah dikenali: ribut di permukaan, kosong di hasil. Banyak jargon, minim tindakan. Banyak dokumentasi, tapi korban masih menunggu evakuasi. Sementara gerak cepat tidak butuh publikasi; tapi membuktikan lewat nyawa yang terselamatkan.
Kita harus mengerti bahwa bencana tidak pernah butuh pahlawan panggung, yang dibutuhkan adalah pekerja lapangan yang tidak sibuk memoles citra. Karena di balik reruntuhan, korban tidak menanyakan siapa yang tampil di berita, mereka hanya berharap ada yang benar-benar datang untuk membantu membawa harapan baru untuk kembali pulih seperti semula .
Di lain sisi dalam setiap bencana, manusia selalu dihadapkan pada dua ujian yakni alam yang mengguncang tubuh, dan para pengambil keputusan yang mengguncang kesabaran. Di tengah reruntuhan, kita sering melihat dua jenis gerakan, satu yang lahir dari ketulusan, dan satu lagi yang lahir dari kebutuhan untuk terlihat.
Secara filosofis, bencana adalah cermin besar yang memantulkan siapa sebenarnya kita. Tidak hanya menyingkap kelemahan infrastruktur, tetapi juga ketelanjangan niat. Ada yang datang membawa pertolongan, ada juga yang datang membawa rombongan dokumentasi. Ada yang memeluk korban, dan ada juga yang memeluk kamera.
Gerak cepat sejatinya tak butuh tepuk tangan. Ia bekerja dalam diam seperti akar pohon yang menjaga tanah tetap berdiri. Kita jarang melihatnya, namun kita merasakan manfaatnya. Namun sayangnya, yang sering dominan justru gerak yang gaduh, rapat demi rapat yang seperti labirin, laporan yang indah untuk dibaca namun kosong dalam pelaksanaan, serta kunjungan lapangan yang lebih mirip tur singkat lengkap dengan pengawalan dan lensa.
Di titik ini, publik mulai bertanya, apakah kesibukan itu benar-benar demi korban, atau demi memastikan tak ada peluang citra yang terlewat?
Karena bencana adalah ruang hening bagi penderitaan, namun sering berubah menjadi panggung hingar-bingar bagi mereka yang ingin terlihat bekerja.Ironinya, semakin ramai panggung itu, semakin sunyi rasa aman yang seharusnya diterima korban. Karena itu dukungan pemerintah sangat penting untuk memastikan kesalamat korban selama di evakuasi.
Dukungan terhadap pemerintah bukan berarti menutup mata terhadap kekurangan. Tapi, dukungan yang sehat dengan mendorong perbaikan, menuntut transparansi, dan memastikan bahwa setiap keputusan benar-benar berpihak pada korban yang harus dilakukan adalah:
Pertama mematuhi arahan resmi ketika evakuasi diperlukan, mendengar instruksi pemerintah bisa menyelamatkan nyawa. Kepatuhan ini menjadi bentuk nyata dukungan. Kedua menyebarkan informasi akurat di era media sosial, informasi yang salah bisa menyulitkan penanganan bencana. Warga yang membantu menyebarkan informasi resmi meringankan beban pemerintah.
Ketiga berpartisipasi dalam mitigasi. Dukungan tidak selalu berupa bantuan finansial; keterlibatan aktif dalam simulasi bencana, pelatihan tanggap darurat, atau gotong royong adalah cara konkret membantu masyarkat bekerja lebih efektif. Keempat memberikan kritik konstruktif dengan menyoroti kelemahan atau kekurangan penanganan.
Pemerintah memang berperan sebagai ujung tombak, tetapi bencana adalah tanggung jawab bersama. Dukungan warga yang kritis dan cerdas akan membuat pemerintah tidak hanya bergerak cepat, tetapi juga bergerak tepat sasaran dan berarti bagi semua korban.
Karena, pada akhirnya, keberhasilan tanggap bencana bukan hanya ditentukan oleh siapa yang memimpin, tetapi oleh bagaimana pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk memastikan korban bukan pihak terakhir yang menerima kepastian.(*)







LEAVE A REPLY