Keterangan Gambar : Perubahan tidak akan pernah terjadi jika tidak pernah dimulai. (sumber foto : Yayasan Amirah/pp)
JAKARTA II Parahyangan Post — Dian Safitri, ibu rumah tangga dengan disabilitas Tuli asal Jakarta Timur, belakangan semakin rutin mengunggah video aksi lingkungan di Instagram dengan bahasa isyarat. Videonya dilengkapi teks dan menampilkan aktifitas sehari-hari sebagai wujud aksi melawan perubahan iklim. Mulai dari aksi kecil seperti membersihkan selokan hingga mengubah sampah plastik menjadi kerajinan. Bagi Dian dan puluhan peserta CLIMATEABILITY: From Marginal to Frontline, suara komunitas marjinal baik itu, pemuda, perempuan, dan penyandang disabilitas bukan lagi sekadar didengar, tetapi menjadi penggerak nyata dalam menghadapi krisis iklim.
Penutupan program pada 29 Oktober 2025 di Hotel Sofyan, Cikini, menandai keberhasilan enam bulan CLIMATEABILITY mengubah pengetahuan menjadi aksi inklusif, kreatif, dan berdampak langsung di lingkungan komunitas. Kegiatan yang menghadirkan diskusi panel dan sesi focus group discussion ini menekankan kepemimpinan iklim berbasis pengalaman hidup komunitas dan inklusivitas.
Program CLIMATEABILITY sendiri merupakan inisiatif Yayasan Amirah yang didukung Formula E melalui hibah Better Futures Fund. Sejak diluncurkan pada Juni 2025, program ini telah melibatkan puluhan peserta dari berbagai latar belakang sosial dan disabilitas melalui serangkaian pelatihan, advokasi kebijakan, serta kampanye digital berbasis narasi komunitas. Tujuannya adalah mendorong partisipasi bermakna kelompok marjinal dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak dan tidak merata.
Koordinator Project CLIMATEABILITY, Rahmatul Furqan, menekankan bahwa keberhasilan program ini terletak pada bagaimana peserta mengubah pengetahuan menjadi aksi nyata. “Kami melihat bagaimana peserta bukan hanya belajar, tetapi juga mengambil peran aktif sebagai agen perubahan di lingkungannya. Dari aksi daur ulang dan penghijauan kota hingga kampanye digital yang inklusif, semua menunjukkan bahwa suara dari pinggiran dapat menjadi kekuatan utama dalam mendorong ketahanan iklim,” ujarnya.
Pelatihan inklusif ini memberdayakan peserta untuk berbagi pengalaman, memperjuangkan kepentingan komunitas, dan berkontribusi pada strategi ketahanan iklim lokal. Salah satu peserta tunanetra menceritakan bagaimana banjir membatasi mobilitasnya dan bagaimana kebutuhan penyandang disabilitas sering diabaikan oleh pemimpin lokal, menegaskan sifat eksklusif wacana iklim saat ini. Diskusi terbuka seperti ini membuat peserta menyadari bahwa isu iklim bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan politik.
Dampak program juga terlihat dari keterlibatan digital pasca-workshop. Tidak hanya Dian, sebagian besar peserta lainnya juga mulai aktif memposting konten advokasi iklim di Instagram, menerjemahkan pengetahuan menjadi aksi berbasis komunitas yang kreatif dan inklusif. Fenomena ini disebut sebagai pembangunan “literasi iklim yang inklusif”.
“Hal yang berkesan, ternyata kegiatan kecil yang kita lakukan sehari-hari tanpa kita sadari bisa menjadi cara mencegah atau meminimalisir dampak negatif dari perubahan iklim, begitu juga sebaliknya justru bisa menjadi pemicu perubahan iklim.” Kata Dian.
Melalui kegiatan penutupan ini, Yayasan Amirah berharap CLIMATEABILITY tidak berhenti sebagai proyek, tetapi terus berkembang menjadi gerakan kolaboratif lintas komunitas dan sektor yang memperjuangkan keadilan iklim berbasis inklusivitas, empati, dan solidaritas. Program ini juga mendorong peserta untuk terus melakukan aksi nyata di lingkungan masingmasing dan mengembangkan jaringan advokasi yang lebih luas. - (rd/pp)







LEAVE A REPLY