
Keterangan Gambar : Festival ini digelar pada Rabu, 5 November 2025, pukul 15.00 hingga 20.00 WIB, di PPSB Kisam Djiun, Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
JAKARTA II Parahyangan Post — Di bawah langit senja Pondok Kelapa, Jakarta Timur, denting musik, tawa anak-anak muda, dan lantunan puisi berpadu dalam semangat yang sama: mencintai kebudayaan.
Festival Komunitas 2025 bertajuk “Purnama dari Timur: Cinta dan Perdamaian” menjadi ruang pertemuan antara pemerintah, seniman, dan komunitas budaya, di mana ide dan kolaborasi tumbuh seperti cahaya purnama — lembut namun menghidupkan.
Festival ini digelar pada Rabu, 5 November 2025, pukul 15.00 hingga 20.00 WIB, di PPSB Kisam Djiun, Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama antara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Simpul Seni, dan Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Timur, dengan dukungan puluhan komunitas seni.
Beragam penampilan mengisi sore hingga malam hari — mulai dari diskusi budaya, musikalisis puisi, teaterikal, parade puisi, dongeng, mural, tari, hingga pertunjukan angklung dan perkusi — yang seluruhnya menegaskan semangat cinta dan perdamaian.
Komunitas-komunitas yang turut berpartisipasi antara lain Komunitas Sastra Jakarta Timur, Forum TBM Aksara Timur, Teater Al Kautsar, Teater Moksa, Komunitas Mural Jakarta Timur, Rumah Baca Ceria, Komunitas Kampung Dongeng, Forum TBM Jakarta Timur, serta Angklung yang menambah warna kebersamaan.
Menghidupkan Ekosistem dari Timur
Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Timur, Bapak Barkah Sadaya, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas semangat kolaborasi antara komunitas dan pemerintah dalam menghidupkan ruang budaya.
“Kami sangat senang gedung dan fasilitas yang kami kelola dimanfaatkan oleh komunitas. Pemerintah berusaha memfasilitasi, bukan hanya menunggu karya besar, tapi mendukung setiap langkah kecil yang nyata. Di Jakarta Timur ada lebih dari 300 komunitas seni yang menjadi denyut kehidupan kebudayaan kita,” ujarnya.
Sejak 2023, Sudin Kebudayaan Jakarta Timur telah melakukan peremajaan fasilitas pendukung seperti listrik, toilet umum, dan sistem tata suara. Tahun 2025 menjadi tonggak penting dengan alokasi anggaran Rp200 juta untuk memperbarui sound system dan pencahayaan agar para seniman dapat berkarya dengan lebih layak dan nyaman.
Diskusi Budaya: Komunitas sebagai Jantung Kebudayaan
Salah satu bagian menarik dari festival ini adalah Diskusi Budaya bertajuk “Peran Komunitas dalam Mempertahankan dan Mengembangkan Budaya”.
Diskusi dipandu oleh Rissa Churria, dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif dan menggugah, menghadirkan dua narasumber inspiratif: Arif Akbar dan Mita Katoyo.
Arif menekankan pentingnya komunitas sebagai penopang kehidupan budaya lokal dan penjaga akar tradisi di tengah modernisasi, sementara Mita membahas bagaimana komunitas beradaptasi di era digital, menjembatani generasi muda agar tetap dekat dengan seni dan budaya.
Suasana diskusi berlangsung cair dan hangat, menegaskan bahwa budaya tidak lahir dari ruang hampa, melainkan tumbuh dari cinta, gotong royong, dan ruang-ruang kecil tempat manusia berbagi cerita dan ide.
Pidato Kebudayaan: Merawat Akar, Menumbuhkan Sayap
Dalam kesempatan yang sama, Ihsan Risfandi menyampaikan Pidato Kebudayaan berjudul “Merawat Akar, Menumbuhkan Sayap.”
Dia mengingatkan bahwa budaya harus dirawat agar tidak tercerabut dari akarnya, sekaligus diberi ruang untuk terbang mengikuti zaman.
“Budaya adalah ingatan kolektif yang membentuk jati diri bangsa. Dia tumbuh dari cinta, bertahan dari solidaritas, dan hidup dari semangat berbagi,” ujarnya.
Pidato tersebut menjadi pengingat bahwa merawat kebudayaan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga kerja bersama para pelaku seni dan komunitas yang menyalakan cahaya di setiap sudut kota.
Seni sebagai Ruang Perdamaian
Perwakilan Simpul Seni DKJ, Aquino Hayunta, menambahkan bahwa seni tidak selalu harus tampil megah di panggung besar.
“Kadang yang paling bermakna adalah pertemuan kecil, diskusi, atau latihan bersama. Melalui seni, anak-anak muda bisa berintegrasi dengan masyarakat dan menjauh dari kekerasan. Dengan seni, mereka belajar cinta dan kedamaian,” ujarnya.
Pesan tersebut menggema di seluruh rangkaian acara, menjadi roh dari festival: menjadikan seni sebagai jembatan kemanusiaan dan perdamaian.
Jakarta Timur, Rumah Kreativitas yang Tumbuh
Festival Komunitas “Purnama dari Timur” menjadi bukti bahwa Jakarta Timur bukan sekadar wilayah pemukiman dan industri, melainkan pusat kreativitas rakyat. Di sinilah komunitas tumbuh sebagai penyangga utama kebudayaan — dari teater kecil, ruang baca, hingga panggung-panggung sederhana yang setiap hari hidup dengan latihan dan tawa. Seperti purnama yang bersinar dari timur, festival ini menandai kebangkitan budaya yang berpijar dari komunitas untuk Indonesia yang lebih damai dan berdaya. (rsc/pp)







LEAVE A REPLY