Home Opini Energi Bukan Dagangan, Energi Hak Rakyat

Energi Bukan Dagangan, Energi Hak Rakyat

237
0
SHARE
Energi Bukan Dagangan, Energi Hak Rakyat

Oleh: Siti Sri Fitriani
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

BELANGKANGAN - Publik disuguhi berbagai berita yang seakan tidak berhenti. Salah satunya terkait impor BBM hanya bisa melalui Pertamina dengan alasan “satu pintu” untuk menjaga ketahanan energi. Pemerintah berdalih, skema ini bukan monopoli karena kuota swasta juga ditambah. 

Memang, saat ini pemerintah lebih sibuk dengan solusi jangka pendek (impor via Pertamina) alih-alih membangun kilang dan kemandirian energi (mengurangi impor BBM). Padahal Indonesia negara kaya akan sumber daya alam (SDA) khususnya minyak bumi. Namun, nyatanya kekayaan SDA ini tidak mampu mewujudkan swasembada. 

Pasalnya, sebagian tambang minyak Indonesia di kelola BUMN (Pertamina) tetapi hasilnya justru dijual ke pasar luar negeri (di ekspor), tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, demi memperoleh keuntungan (devisa) karena jenis minyak mentah Indonesia berkualitas tinggi sehingga harganya mahal dan sangat menguntungkan jika di ekspor. Kemudian menetapkan kebijakan “satu pintu” yang akan merusak persaingan sehat, berpotensi menekan swasta, yang merugikan rakyat juga. 

Akhirnya, suara kritik mengalir deras. Akademisi, lembaga konsumen, hingga partai politik menilai kebijakan ini rawan melanggengkan monopoli terselubung dan merugikan konsumen. Ironisnya, pada saat yang sama, Direktur Utama Pertamina sendiri mengakui kasus korupsi telah menggerus kepercayaan publik terhadap BBM Pertamina. Kasus korupsi ini menandakan lemahnya pengawasan. 


Tidak heran, polling media menunjukkan mayoritas konsumen lebih memilih BBM swasta meskipun harganya lebih mahal. Fakta rakyat rela membayar lebih di SPBU swasta adalah tamparan keras, negara gagal memberi layanan yang baik pada hajat hidup rakyat. Benang merahnya jelas, ketergantungan impor yang kronis, tata kelola yang rapuh, dan krisis kepercayaan rakyat terhadap pengelola energi negeri. 

Energi dalam Pandangan Islam, Milik Umum, Bukan Komoditas 

Dalam Islam, minyak, gas, listrik — seluruh energi — termasuk milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Rasulullah ? bersabda:  “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang, dan api” (HR Abu Dawud). 

“Api” di sini dipahami sebagai energi. Artinya, energi bukan barang dagangan untuk mencari untung, melainkan hak rakyat yang harus dikelola negara bagi kepentingan umat. Ketika energi diperlakukan sebagai komoditas kapitalistik, lahirlah praktik seperti hari ini yakni impor permanen, monopoli distribusi, korupsi berjamaah, dan rakyat yang kehilangan kepercayaan. 

Oleh karena itu, Islam menawarkan solusi yang tegas dan kokoh yakni negara wajib membangun kilang sendiri, tidak menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta atau asing, kuasai teknologi dan maksimalkan potensi energi domestik. Seluruh hasil pengelolaan masuk baitul mal, dipakai untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Audit publik independen, dashboard keterbukaan harga dan impor, serta pengawasan rakyat wajib ditegakkan.  

Tak hanya itu, hukum berat pelaku korupsi, tidak boleh ada perlindungan elit, amanah umat tidak boleh dikhianati. Ditambah harga terjangkau dan pelayanan bermartabat. Pasalnya, energi bukan hanya tersedia, tapi harus adil, bermutu, dan bisa dinikmati rakyat tanpa diskriminasi. Maka, masalah energi Indonesia hari ini bukan sekadar siapa yang impor atau siapa yang monopoli, tapi lebih dalam yakni energi diperlakukan sebagai barang dagang, bukan sebagai hak rakyat. 


Oleh karena itu, Islam menuntut energi dikelola negara dengan amanah, transparan, dan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Tanpa perubahan paradigma ini, negeri akan terus terjebak dalam krisis: impor yang menjerat, korupsi yang merusak, dan rakyat yang kecewa.[]