Home Nusantara CISDI Soroti Tata Kelola dan Regulasi Program MBG

CISDI Soroti Tata Kelola dan Regulasi Program MBG

309
0
SHARE
CISDI Soroti Tata Kelola dan Regulasi Program MBG

JAKARTA - Parahyangan Post - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyoroti tata kelola dan regulasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan serentak di 26 provinsi sejak 6 Januari, 2025.

Persoalan pada program MBG yang belakangan kerap muncul di publik ditengarai berakar dari lemahnya tata kelola.

“Belum jelasnya kerangka regulasi dan tata kelola berdampak signifikan terhadap operasionalisasi MBG di lapangan, baik di tingkat pusat maupun daerah,” kata Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih, dalam peluncuran Seri Kedua Kajian Makan Bergizi Gratis di-Hub Coworking Space, Jakarta Pusat, Kamis, (06/02/2025). 

Lewat kajian ini, CISDI memberikan catatan kritis terhadap program unggulan Presiden Prabowo Subianto ini. Dokumen ini merupakan kelanjutan kajian seri pertama yang terbit pada 14 Agustus 2024 ketika program MBG masih dalam tahap uji coba di beberapa daerah. 

Pada seri kedua, CISDI menyoroti sejumlah isu tata kelola, termasuk ketersediaan payung regulasi dan petunjuk teknis, hingga alur koordinasi lintas sektor dalam program MBG.  

Kajian disusun menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan mengkombinasikan pemantauan media selama 6-17 Januari 2025, tinjauan pustaka, dan diskusi kelompok terpumpun bersama panel ahli. 

Diah mengatakan hingga saat ini proses penyusunan kebijakan/program berbasis bukti dalam perencanaan MBG belum dilakukan secara menyeluruh. 

“Ini dicirikan dengan tidak terbukanya akses terhadap studi mengenai penilaian dampak awal dan analisis biaya manfaat dari titik uji coba MBG sepanjang 2024, tidak transparannya informasi mengenai metode penghitungan kelompok sasaran, serta minimnya pelibatan masyarakat sipil,” ujar Diah. 

Berdasarkan telaah CISDI, satu-satunya regulasi yang tersedia untuk program MBG adalah Surat Keputusan Deputi Bidang Penyaluran Badan Gizi Nasional (BGN) Nomor 2 Tahun 2024 perihal petunjuk teknis (juknis) operasional MBG. Sayangnya, dokumen tersebut tidak diunggah pada kanal resmi BGN selaku koordinator program MBG. 

“Penggunaan surat keputusan kedeputian lembaga tentu tidak memiliki kekuatan mengikat dan lebih bersifat operasional. Padahal, program MBG semestinya diatur dengan regulasi setingkat peraturan presiden untuk mengatur aspek tata kelola dan kerja-kerja lintas kementerian/lembaga serta hubungan pusat-daerah,” kata Diah. 

Sebagai perbandingan, program Percepatan Penurunan Stunting (PPS) memiliki kerangka regulasi lebih kuat. Program yang berjalan sejak 2018 ini memiliki payung regulasi setingkat peraturan presiden, yang implementasinya didukung peraturan setingkat menteri, serta petunjuk teknis sebagai acuan pemerintah daerah menyusun kebijakan dan implementasi program. 

Regulasi yang kuat juga dijumpai di negara-negara percontohan program free school meals yang menjadi rujukan pemerintah mengembangkan program MBG. Di India, Brasil, dan Jepang, misalnya, tata kelola program free school meals bahkan didukung infrastruktur regulasi setingkat undang-undang. 

Selain persoalan regulasi, Diah menuturkan, belum jelasnya kewenangan kementerian/lembaga lain, alur koordinasi antar-lembaga, dan kerja sama lintas sektor vertikal maupun horizontal masih ditemukan selama 30 hari pelaksanaan program MBG. 

“Program ini tidak dijalankan oleh BGN sendirian dan harus diperkuat dengan berbagai intervensi yang sebenarnya sudah ada dari program stunting maupun program-program kesehatan lainnya. Infrastruktur yang sudah tersedia dapat dioptimalkan, dan peran Kementerian Kesehatan dalam program MBG perlu lebih ditingkatkan,” kata Diah. 

Dari aspek pemenuhan gizi, analisis CISDI terhadap 29 sampel menu makanan di beberapa lokasi menunjukkan hanya 17 persen di antaranya yang memenuhi target 30-35 persen Angka Kecukupan Gizi (AKG) energi harian. Data tersebut dihitung berdasarkan perhitungan jumlah energi dengan estimasi menu yang disajikan adalah per dua satuan penukar sumber karbohidrat. 

Padahal, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019, yang menjadi rujukan petunjuk teknis MBG, satu porsi makan siang ditujukan untuk dapat memenuhi kecukupan kalori sebesar 30-35 persen AKG energi harian dan kebutuhan protein sebesar 33-36,4 persen bagi peserta didik di jenjang SD kelas 4-6, SMP, dan SMA sederajat. 

“Apabila konsumsi menu dengan rendah kalori terjadi secara terus-menerus, penurunan performa akademik dapat terjadi karena kurangnya energi untuk beraktivitas,” ujar Diah, mengutip hasil riset Handini et al, 2022. 

Di sisi lain, dari 29 menu makanan yang dianalisis CISDI, 45 persen di antaranya masih menambahkan pangan ultra-proses berupa produk susu kemasan berperisa yang tinggi gula.  

Ketersediaan produk pangan ultra-proses yang mengandung kadar gula, lemak, dan garam (GGL) berlebih merupakan salah satu penyebab utama dari tren obesitas, hipertensi, dan penyakit tidak menular lainnya. 

Pemerintah Indonesia bisa belajar dari Brasil yang mewajibkan penggunaan 85 persen anggaran makan gratis di sekolah (free school meals) untuk pangan segar. 

Pemerintah Brasil juga membatasi belanja produk pangan olahan maksimal 15 persen dari total anggaran dan melarang belanja produk pangan ultra-proses untuk program makan gratis di sekolah.

(Retno/pp)