Home Opini Pantaskah Tunjangan Anggota DPR Naik Pantastis di Tengah Hidup Rakyat Makin Sulit?

Pantaskah Tunjangan Anggota DPR Naik Pantastis di Tengah Hidup Rakyat Makin Sulit?

323
0
SHARE
Pantaskah Tunjangan Anggota DPR Naik Pantastis di Tengah Hidup Rakyat Makin Sulit?

Oleh: Cutiyanti
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

MIRIS! Di tengah berbagai gejolak ekonomi rakyat yang kian hari semakin sulit, ternyata pendapatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setiap bulannya total mencapai 100 juta per bulan. Tentu saja hal itu dinilai menyakiti perasaan rakyat. Pantaskah  tunjangan anggota DPR naik pantastis di tengah hidup rakyat makin sulit? 

Tentunya hal tersebut menjadi sebuah tanda tanya. Banyak pakar juga menilai itu semua bisa melukai rakyat. Sebagaimana yang diungka Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Ahmad Nur Hidayat di laman Berisatu tv, (20/8/2025), menurutnya, kenaikan pendapatan DPR sampai menjadi RP 100 juta per bulan ini menyakiti perasaan masyarakat secara umum. Kenaikan pendapatan tersebut, lanjuntnya tidak sensitif pada kondisi ekonomi masyarakat yang sedang terpukul, masyarakat tengah dihadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, hingga lonjakan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) di sejumlah daerah di indonesia apalagi berbagai pukulan tersebut datang akibat kebijakan pemerintah melakukan efisiensi anggaran sehingga membuat efek domino pada masyarakat.  

Inilah yang terjadi dalam sistem demokrasi kapitalisme, sangat jelas terlihat bagaimana saat ini semakin lebar jurang pemisah antara si kaya, pejabat dengan si miskin,  rakyat.  Di sudut lain, politik transaksional yang mendahulukan siapa saja yang mempunyai uang dan manfaat bisa menduduki kursi jabatan bukan dengan kemampuan yang mumpuni dalam bidangnya sehingga bisa memecahkan masalah rakyat namun karena tujuan hanya materi maka merekalah yang menentukan anggaran untuk kepentingan sendiri.

Dalam sistem demokrasi kapitalisme sudah menjadi hal yang lumrah jika jabatan dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri. Para anggota pemerintahan hanya sibuk membahas bagaimana caranya membuat kebjakan untuk bisa mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan dampak yang akan dirasakan rakyatnya. Itu semua terjadi karena hilangnya rasa empati pada hati mereka yang sudah dipenuhi rasa tamak sehingga abai akan tugas yang sebenarnya yaitu amanah yang rakyat percayakan pada mereka.

Tentu saja berbeda dengan sistem Islam. Tugas penguasa menjaga amanah sebaik-baiknya dengan menjalankan tugas semaksimal mungkin dan menjadikan jabatan sebagai jalan mendapatkan ridha Allah semata. Sehinga para pengemban amanah selalu berfokus pada kesejahterahan rakyatnya bukan pada keuntungan untuk kepentingan pribadi.

Pejabat dalam Islam adalah perangkat untuk menerapkan hukum syara bukan pekerja yang digaji apalagi mendapatkan banyak tunjangan. Maka, dalam Islam pejabat akan menerapkan asas Islam dalam setiap kebijakan. Dengan demikian syariat adalah pedoman bagi setiap pengambilan kebijakan bukan melalui akal manusia yang terbatas.


Para pejabat dalam sistem Islam akan dibekali dengan keimanan yang mendalam sehingga mereka bisa mengerti setiap jabatan yang mereka emban akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Keimanan mereka juga akan menuntun untuk selalu terikat pada aturan syariat yang sudah Allah tetapkan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah sehingga memungkinkan pada setiap Muslim untuk memiliki kepribadian Islam termasuk anggota majelis umat yang fungsinya sebagai pengontrol kebijakan khalifah (penguasa, pemimpin) agar selalu berjalan sesuai dengan hukum syara akan selalu semangat fastabikul khairat dalam menjalankan amanahnya. []