Keterangan Gambar : Baik Bekasi maupun Depok di kompetisi musik klasik pertama kalinya dalam sejarah itu berhasil menarik lebih dari 60 peserta di masing-masing kota, itu pun karena pendaftaran harus ditutup karena membludaknya peminat dan mereka hanya mengalokasikan satu hari penuh.
Oleh : Hans Yogo
SETELAH - Suksesnya penyelenggaraan Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN+ ) di Bekasi dan Depok Oktober ini, penulis tergerak untuk mempelajari fenomena ketertarikan generasi muda Indonesia, terutama di kota-kota yang tadinya "terpinggirkan" oleh musik klasik di kota-kota yang baru pertama kalinya menyelenggarakan kompetisi musik klasik seperti.
Baik Bekasi maupun Depok di kompetisi musik klasik pertama kalinya dalam sejarah itu berhasil menarik lebih dari 60 peserta di masing-masing kota, itu pun karena pendaftaran harus ditutup karena membludaknya peminat dan mereka hanya mengalokasikan satu hari penuh. Palembang, yang akan menyusul tanggal 26 Oktober nanti dan diselenggarakan oleh Primavera Production, memecahkan rekor dengan 120 peserta. Sementara itu di banyak negara lain, kecemasan yang terus ada adalah bahwa musik klasik sedang 'sekarat' (walaupun kenyataannya tidak demikian) dan bahwa musik klasik perlu menarik perhatian audiens yang lebih muda. Angkat topi setinggi-tingginya untuk para penyelenggara, sekolah musik Signature Music Academy (Bekasi), Volare Music (Tangerang) atau KITA Anak Negeri (Depok) dan kita mendoakan kelancaran acara di Palembang oleh Primavera Production hari Sabtu ini.
Seperti kita tahu, Bekasi dan Depok tahun ini telah menggeser kota Surabaya dan Bandung dalam kedudukan lima besar atau 5 kota terbesar di Indonesia. Tapi eksistensi musik klasik Bekasi dan Depok masih jauh daripada Surabaya dan Bandung yang warganya telah banyak memenangkan kompetisi bahkan melanjutkan kuliah musik ke luar negeri. Bahkan dari jumlah sekolah musik pun dua kota besar baru ini masih jauh ketinggalan.
Meskipun demikian, Ananda Sukarlan akan mengadakan masterclasses untuk pertama kalinya di Depok akhir bulan November ini (juga diadakan oleh KITA Anak Negeri), dan minat calon peserta sudah sangat tinggi hingga ada kemungkinan akan diadakan dua hari. Saat ini, Piano and Co. di Jakarta (sekolah musik yang didirikan pianis Angelica Liviana) juga baru membuka pendaftaran untuk masterclasses tanggal 1 Desember nanti.
Mengajak orang untuk mendengarkan bahkan akhirnya aktif ikut memainkan musik klasik bukanlah sesuatu hal yang mudah di Indonesia yang tidak memiliki tradisi musik klasik. Ini harus merupakan perhatian berkelanjutan bagi para musisi, promotor konser, pengelola tempat dll.
Tentu sosok Ananda Sukarlan tidak bisa lepas dari fenomena di kota-kota ini, serta Indonesia pada umumnya. Pandangannya yang cukup "out of the box" tentang musik klasik telah menarik banyak minat orang tua untuk mendidik anaknya di bidang ini (terutama piano), dan Ananda pun bisa menarik gen Z dan gen Alpha ke berbagai event-nya, bukan hanya konser tapi juga talkshows. Untuk Kompetisi Piano Nusantara Plus di berbagai kota ini pun Ananda mengajak pianis-pianis muda tapi sudah sangat mapan untuk menjadi juri bersamanya, seperti Dr. Edith Widayani, Randy Ryan, Gwynn Elizabeth Sutanto, Dr. Pinkcheer Shintai Tamio, Yohanes Siem, Akina Selena dll yang semua adalah lulusan perguruan tinggi terkemuka di Eropa dan Amerika Serikat.
Ananda pernah menjelaskan melalui pembicaraannya di TedX sebagai berikut:
What is the Function of Classical Music In Our Society? | Ananda Sukarlan | TEDxYouth@SPH
Menariknya, selama tahun pandemi, terjadi peningkatan yang nyata dalam jumlah peminat, terutama kaum muda, yang terlibat dengan musik klasik melalui siaran daring yang mudah diakses dan konser streaming langsung. Pendengar baru ini ternyata menjadi penonton yang sebenarnya, yang hadir secara fisik ketika tempat konser dan gedung pertunjukan dibuka kembali sepenuhnya, dan hal ini tentu menggembirakan.
Di masa pandemi, Ananda Sukarlan bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan RI telah membuat berbagai video konser dari lokasi-lokasi yang bersejarah di Indonesia, seperti situs Sriwijaya, Majapahit (Trowulan), Candi Prambanan dan tempat pembuangan Soekarno di Ende. Konser-konser yang ditayangkan di kanal "Budaya Saya" tersebut ditonton langsung oleh ribuan orang dari dalam dan luar negeri (Ananda membawakannya dalam bahasa Inggris), dan kemudian jumlah viewers naik sampai belasan dan puluhan ribu hingga saat ini.
Hal ini juga menunjukkan bahwa audiens yang lebih muda ini mungkin lebih suka mengakses musik klasik melalui saluran yang paling mereka kenal – platform daring seperti YouTube, Vimeo, Vidio.com dan layanan video/streaming langsung lainnya. Mengkonsumsi musik klasik melalui platform ini juga membebaskan pendengar dari 'etika' dan formalitas konser klasik yang nyata atau yang dibayangkan: banyak orang enggan untuk menghadiri konser musik klasik dalam suasana tradisionalnya di gedung konser karena takut tidak berperilaku dengan benar – tidak tahu apa yang harus dikenakan, kapan harus bertepuk tangan, dll. – dan dengan demikian tampak canggung bagi para penonton konser yang lebih berpengalaman.
Mencintai musik klasik dapat dimulai dengan mendengarkan "Classical Hits" – karya-karya seperti Clair de Lune karya Claude Debussy, Moonlight Sonata karya Ludwig van Beethoven, The Four Seasons karya Vivaldi atau 1812 Overture karya Tchaikovsky, The Lark Ascending karya Vaughan Williams atau Canon karya Johann Pachelbel.
Karya-karya ini terkadang disebut sebagai karya klasik ‘pop’, tetapi ada alasan mengapa karya-karya ini begitu populer – karena karya-karya ini memang sangat indah dan tidak terlalu kompleks. Karya-karya ini adalah ‘musik pop’ pada masanya dan fakta bahwa karya-karya ini tetap populer hingga saat ini merupakan indikasi seberapa baik karya-karya ini bertahan dalam ujian waktu.
Tidak ada yang salah dalam menyukai karya-karya populer: banyak dari kita yang pertama kali diperkenalkan dan mulai menghargai musik klasik dengan mendengarkan karya-karya klasik ‘pop’ ini dalam film atau soundtrack tv atau iklan, misalnya. (Dua pianis ternama, dari Cina yaitu Lang Lang dan pianis kita Ananda Sukarlan mengakui bahwa mereka mulai mengenal musik klasik setelah mendengar Hungarian Rhapsody No. 2 karya Liszt dalam kartun Tom and Jerry di televisi.)
Setelah itu, bisa mencoba dengan karya-karya yang berdasarkan lagu-lagu populer yang sudah kita kenal, seperti berbagai nomor Rapsodia Nusantara karya komponis kita sendiri, Ananda Sukarlan, yang juga telah membuat berbagai variasi dari lagu-lagu Natal yang populer, misalnya. Bahkan karya Ananda Sukarlan tahun ini yang berupa soundtrack untuk film dokumenter "Rainha Boki Raja" ikut membantu film yang dinarasikan oleh Christine Hakim berdasarkan naskah dari Linda Christanty ini meraih nominasi Festival Film Indonesia yang pengumuman pemenangnya akan diselenggarakan akhir November 2024 ini.
Nah, setelah kita mendengarkan cuplikan karya-karya populer, kita bisa memperkenalkan karya tersebut secara utuh. Misalnya, jika seseorang menyukai karya Debussy yaitu Clair de Lune, mungkin sarankan mereka untuk mendengarkan seluruh Suite Bergamasque, yang akan memperkenalkan mereka pada berbagai karya Debussy lainnya. Karya klasik 'pop' tidak boleh diabaikan – karya-karya itu adalah gerbang yang luar biasa untuk mendengarkan dan menghargai musik klasik secara lebih luas. Tapi hal itu jangan membatasi kita untuk mendengarkan -- dan memainkan -- karya yang itu lagi, itu lagi. Fenomena di Indonesia adalah seperti itu: misalnya, dari 32 Sonata oleh Beethoven, hanya sekitar 3 atau 4 yang populer : Moonlight, Appassionata, dan beberapa lainnya. Nocturnes, Mazurka dan Waltzes dari Chopin? Kita hanya dengar yang itu lagi, itu lagi. Belum lagi karya komponis yang besar namanya, tapi hampir tidak pernah dimainkan di Indonesia : Alexander Borodin, Toru Takemitsu, Alexander Scriabin, Michael Tippett dan ratusan lainnya. Tidak usah jauh-jauh, Rapsodia Nusantara-nya Ananda Sukarlan yang kini berjumlah 40 lebih .... apakah kita pernah mendengar lebih dari 10 nomor? Atau bahkan hanya 5? Dunia musik klasik itu sangat luas, bro! Tahun depan, Ananda Sukarlan Award akan diselenggarakan lagi, dan seperti biasanya, akan ada kebebasan seluas-luasnya untuk memilih repertoire. Akankah kita dengarkan karya yang itu lagi, itu lagi? Semoga jangan .....
LEAVE A REPLY