
Ubud Village Jazz Festival (UVJF) 2025 dengan gemilang berlangsung di Sthala, a Tribute Portfolio Hotel by Marriott, Lod Tunduh, Ubud, Bali. Inilah satu-satunya festival jazz di Pulau Dewata. Memasuki gelaran ke-12, UVJF masih konsisten dengan titik tumpu pada Bali, yang bukan hanyan memukau wisatawan karena keindahan alam atau seni tradisinya yang kuat, namun juga tumbuhnya keberadaan beragam kesenian di pedesaan, dengan kedalaman nuansa mistis magis yang melestari hingga kini, mempertautkan nilai kultural yang terbuka pada bentuk seni kolaboratif.
Dalam festival jazz ini, para musisi lintas budaya dan lintas generasi, terlibat dalam komposisi musik, menjelajahi improvisasi dan beragam bentuk-bentuk ekspresi. Beberapa tampil dengan formasi mereka sendiri, ada juga yang berkolaborasi dengan musisi lain. Di dua panggung utama, Giri Stage dan Subak Stage. Di lembah rimbun hutan tropis dan aliran Sungai Wos. Alhasil rancangan arsitektur festival oleh Diana Surya dan Putu Klick Swantara dari Archimetriz Architect, menghadirkan desain ruang yang menyatu dengan suasana alam dan alur musikal.
“Untuk festival kali ini, narasi arsitektural mengambil inspirasi dari udara terbuka dan ritme kontemplatif dalam musik jazz. Tema desain tahun ini, “Ruang Udara: The Space We Breathe” dan “The Space Between Sounds”, yang mencerminkan dua sisi dari esensi jazz, kehadiran dan hening, nafas dan jeda,” kata Putu Klick.
Dari kerja kuratorial yang selektif, telah menapis 16 band yang tampil selama dua harmal, Jumat dan Sabtu (1-2 Agustus 2025) yang lalu. Antara lain, East West European Jazz Orchestra, Soukma x Astrid x Doni, SILK (Jerman), The New-Centropezn Jazz Quartet (Rusia), Makoto Kuriya (Jepang), Dian Pratiwi, ROUGE (Prancis), dan Galaxy Big Band.
“Pertumbuhan festival ini adalah hasil dari lebih dari satu dekade dedikasi dan kepercayaan yang telah terbangun dengan komunitas lokal maupun internasional,” ujar Yuri Mahatma, co-founder UVJF.
Di bawah langit biru yang dihiasi layang-layang, pembukaan festival menampilkan East West European Jazz Orchestra (EWEJO) yang menggetarkan panggung utama Giri Stage, dengan alat tiup memacu swing yang membahana. Alunan big-band menapak tilas jejak jazz di Harlem tahun 40-an, lalu membelok ke kawasan Balkan. Dian Pratiwi, vokalis jazz Tanah Air yang baru saja pulang dari perantauannya di Eropa. Dia memberi energi kepada kerumunan yang mulai menari.
Grup SILK dari Dortmund, Jerman, membawakan alunan funk, fusion, dan soul yang energetik. Memadukan jazz, pop, dan komposisi orisinal, mereka mendapatkan inspirasi dari berbagai seniman, mulai dari Al Jarreau hingga Cory Wong. Band yang dinamis ini, dengan dominasi bagian terompetnya, mengaburkan batasan antara funk, jazz, dan pop, menjelajahi jalur baru yang menghadirkan pengalaman mendengarkan yang unik bagi penonton.
Penampilan pianis dinamis asal Kobe, Jepang, Makoto Kuriya bersama Indra Gupta (Double Bass) dan Gustu Brahmanta (drum). Trio yang hebat membawakan komposisi orisinal Makoto Kuriya, dengan interpretasi dan ekspresi luar biasa. Pianis jazz-fusion kenamaan ini, setelah satu dekade di Amerika, tampil bersama legenda seperti peraih Grammy Chuck Mangione,membuatnya meraih pengakuan global di Asia, Eropa, dan sekitarnya. Makoto salah satu dari sedikit seniman Jepang yang mencoba memberi jejak budaya mereka sendiri pada music. Dia berusaha mengautentikasi jazz Jepang dan mempertahankan identitas budaya yang khas, serta mengangkat lokalitas jazz Jepang. Ia tidak mau sekadar mengekor pada Barat.
Sedangkan Rouge, yang terdiri dari Madeleine Cazenave (piano & komposer), Sylvain Didou (kontrabas), dan Boris Louvet (drum) telah tiga bulan menyemarakan panggung jazz di Tanah Air.
“Ini malam terakhir kami sebelum pulang. Senang sekali bisa tampil di festival jazz di Bali,” ujar Madeleine dalam bahasa Indonesia yang baik meski masih terbata-bata. Dalam lawatan yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Prancis dan Institut français d’Indonésie (IFI), Rouge menggelar pertunjukan dan lokakarya jazz di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Gunung Bromo.
Trio ini merupakan gelombang baru dalam khazanah jazz Perancis. Bernuansa klasik modern kontemporer, warna pop-folk sinematik dan kekuatan bercerita secara musikal. Madeleine mendedahkan komposisi dari Vermeilles, mereka menghadirkan suasana musikal yang tenang namun menggugah. Perpaduan denting piano, getaran kontrabas, dan ritme elektronik membawa penonton larut dalam narasi musikal yang sinematik dan reflektif.
Disamping itu komposisi bertajuk Wolf, yang berlatar sebuah hutan raya yang dijaga para srigala. Musiknya atmosferik, puitis, dan emosional. Membawa kita pada pengembaraan kromatik, menciptakan suasana musikal yang tenang tetapi menggugah, dengan tekstur nada yang kaya dan dinamis. Setiap nada piano, dentuman kontrabas, dan ritme elektronik yang subtil membawa penonton larut dalam dunia musikal yang reflektif.
Dari Vietnam, duo Jazz Steps yang terdiri atas Quy?n Thi?n ??c (saksofon) dan ?ào Minh Pha (double bass), tampil di Subak Stage. Mereka menyajikan tujuh lagu dengan pendekatan jazz modern dan improvisasi bebas yang dipadukan ritme musik rakyat Vietnam.
New Centropezn Quartet dari Rusia menyuguhkan enam komposisi di Giri Stage. Grup ini memadukan elemen soul, gaya New Orleans, dan jazz kontemporer.Sedangkan pianis Astrid Sulaiman bersama Soukma dan Doni Wirandana di Subak Stage menampilkan enam karya orisinal yang menggambarkan interpretasi kreatif dalam genre jazz.
Dari Serbia, Bojan Cvetkovi? Quartet tampil dengan lima komposisi di Giri Stage. Dipimpin oleh pianis Bojan Cvetkovi?, kuartet ini memainkan jazz modern berpadu ritme khas Balkan. Mereka tampil bersama Marc Doffey (tenor saksofon), Niklas Jaunich (drum), dan Johannes Otto (bass).
Lebih dari satu dasawarsa menggeluti jazz, baru kali ini Gayatri Quartet mendapatkan kesempatan tampil di festival jazz. Membawakan enam lagu, Diah Gayatri sebagai vokalis utama didukung formasi drum, keyboard dan gitar, menghadirkan nuansa lembut, dengan sentuhan swing, bossa nova, dan cool jazz.
Satu hal yang menggembirakan dari festival jazz tahun ini, munculnya generasi baru. Mahanada Putra Yapari, dan Jiyestha. Dikenal sebagai Mahanada, seotrang vokalis dan pianis jazz yang dikenal karenba musikalitasnya yang mendalam dan improvisasinya yang menyentuh hati, menghadirkan pengalaman yang kaya.
Suara merdu Jiyestha, putra dedengkot jazz I Wayan Balawan, turut memberi warna tersendiri pada penampilan Balawan Quartet, dari Desa Batuan, yang dinamis memadukan jazz, rock, blues dan gamelan Bali. Desa Batuan sendiri sejak zaman kerajaan telah dikenal sebagai salah satu pusat peradaban telah melahirkan banyak seniman mumpuni dalam berbagai bidang seni, seperti lukis, patung, tari, topeng.
Menurut Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, festival berdampak positif terhadap sektor pariwisata dan lingkungan. UVJF telah masuk dalam sepuluh gelaran berskala nasional pilihan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dengan kehadiran 3.400 pengunjung, mencerminkan peningkatan 20% dari tahun sebelumnya. Seluruh kamar hotel tempat festival digelar telah terisi penuh, menandakan antusiasme tinggi dari pengunjung lokal maupun internasional. Disamping itu, festival memberi dampak positif pada para pedagang. Lebih dari 30 lapak makanan, minuman dan cinderamata, yang dikurasi dari pelaku UMKM lokal, memperluas makna festival menjadi ajang pemberdayaan dan perayaan budaya Bali secara menyeluruh.***
*Penulis adalah Pegiat Kesenian, tinggal di Bali
LEAVE A REPLY