Home Opini Fenomena Rumah Ambruk

Fenomena Rumah Ambruk

564
0
SHARE
Fenomena Rumah Ambruk

Keterangan Gambar : Foto Ilutrasi (sumber foto : ist/net/pp)

Oleh: Fatmah Ramadhani
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Sore hari tepatnya Rabu, 20 Agustus 2025 lalu, Kota Depok tempat penulis bermukim dilanda hujan deras disertai petir dan angin kencang. Cukup kencang hingga atap rumah tetangga yang sudah sepuh di depan kediaman penulis mengalami kerusakan.

Si Mbah empunya rumah terpaksa harus merenovasi keseluruhan genting dan plafon rumahnya yang sudah tua dimakan usia. Bersyukur rumahnya tidak rubuh, karena selang beberapa jam kemudian terjadi lagi fenomena alam yang berbeda, gempa dengan getaran yang cukup kuat. Cukup kuat untuk membuat orang-orang segera keluar rumah mencari perlindungan.


Sebenarnya, peristiwa rumah lapuk hingga ambruk bukan hal baru di sekitar kita. Bahkan di pusat kota besar Jakarta, rumah salah satu warga ambruk saat hujan deras pada Selasa malam (16-9-2025). Kejadian naas yang berlokasi di Gang Portis, Jalan Rawajati Timur II, Pancoran, Jakarta Selatan ini mengakibatkan seorang penghuninya tertimpa tembok, bersyukur ia masih bisa diselamatkan (kompas.com, 17/9/2025).

Masih kejadian yang sama, kali ini tidak jauh dari Kota Jakarta. Tepatnya di wilayah Mauk, Tangerang Jawa Barat. Pada Kamis malam (25-9-2025) hujan deras disertai angin kencang membuat rumah milik nenek Marsiti berusia 73 tahun ambruk (bantenekspres.co.id, 26/9/2025).

Masih dengan rumah milik seorang lansia. Di Dusun Ketapang Lampu, Desa Pengembengan, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali; pada Kamis (25/9/2025) sebuah rumah ambruk akibat kayu dan material bangunan yang sudah lapuk. Karena kejadian tersebut, nek Katinah (65) pemilik rumah mengalami kerugian materiel sekitar Rp 20 juta berikut sejumlah perabotan yang rusak tertimpa reruntuhan, termasuk tempat tidur, lemari, juga peralatan dapur (bpbd.jembranakab.go.id, 26/9/2025).

Sejenak penulis menghela napas mengumpulkan kekuatan membaca berita yang berseliweran. Tidak dipungkiri, rumah yang ambruk tersebut kebanyakan sudah tua dan lapuk. Ini tidak bisa dianggap sepele, sebab menyangkut tempat bernaung bahkan menyangkut nyawa manusia. Bila dibiarkan, khawatirnya menjadi fenomena yang merebak di berbagai daerah tak terkecuali di kota-kota besar.

Pemerintah sendiri sudah lama mengeluarkan kriteria rumah dengan kategori layak atau tidak layak huni. Menurut pemerintah, rumah tidak layak huni (RTLH) memiliki ciri dan karakteristik yang tidak sesuai dengan persyaratan dan standar sebagaimana tercantum dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan PP No. 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Dengan dibentuknya pengkategorian rumah oleh pemerintah, hal yang wajar bila kita berharap pemerintah memberikan perhatian dan upaya-upaya mencegah terjadinya bahaya yang akan menimpa penghuni rumah. Baik bahaya berupa rumah ambruk, dilanda banjir, atau bahaya lainnya. Apalagi BPS sudah merilis data 2024, disebutkan masih ada 34,75% rumah tangga di Indonesia yang menghuni RTLH.

Namun ironisnya, alih-alih memberi perhatian, pemerintah malah bertindak lambat. Mereka baru hadir setelah terjadi peristiwa rumah ambruk, bahkan setelah ada kerugian materiel dan korban jiwa. Ditambah lagi bantuan kepada korban hanya diberikan ala kadarnya.

Seharusnya, sebelum peristiwa rumah ambruk terjadi, pemerintah bisa bertindak cepat dengan memberikan penanganan pada rumah masyarakat yang tidak layak huni berdasarkan data RTLH yang mereka miliki. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ketulusan pemerintah dalam membantu dan menolong korban rumah ambruk masih menjadi pertanyaan besar.

Belum berhenti sampai di situ, berbagai program seperti Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) milik pemerintah atau program bedah rumah untuk membantu perbaikan rumah agar layak huni, tidak lantas menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. Kenyataannya, masih banyak rumah tidak layak huni yang tidak tertangani hingga ambruk.

Kita hanya perlu berjalan ke pinggiran kota atau melihat ke pemukiman kumuh, sangat mudah menemukan rumah masyarakat miskin beratap daun rumbia, genting yang bocor, tiang-tiang rumah dari kayu yang sudah lapuk, dan sebagainya. Fakta di lapangan mengungkap banyak masyarakat telah berusaha melapor kepada pemerintah dan meminta bantuan untuk perbaikan rumahnya melalui program BSPS atau bedah rumah, tetapi tidak ada tanggapan dari pemerintah hingga rumahnya ambruk.

Sebagai masyarakat biasa, kita hanya bisa berlapang dada sambil menguatkan rasa sabar. Sulit benar rasanya mengharap pelayanan dan pengurusan yang layak dari negara. Keberadaan pemerintah seakan ada dan tiada tersebab kehilangan visi untuk mengurus rakyat. Para pemangku kekuasaan di negeri ini tidak becus dan selalu berlindung di balik jargon 'jangan tanyakan apa yang diberikan negara pada mu, tapi tanyakan apa yang sudah kau berikan pada negara'.

Kondisi bahaya rumah ambruk tentunya tidak akan terjadi ketika negara memiliki visi riayah. Negara dengan visi riayah akan bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, tidak membuat atau membiarkan rakyat hidup dalam susah apalagi dalam bahaya.

Bisa saja memang negara bervisi riayah itu lahir dari rahim sekuler demokrasi, seperti negara-negara maju di Barat yang rakyatnya kebanyakan hidup layak. Tapi kita juga bisa melihat dengan jelas, di balik negara sekuler Barat sana, ada harga mahal yang harus dibayar rakyatnya pada setiap pelayanan publik yang ada. Sebab dalam benak negara kapitalis sekuler, hubungan negara untuk mengatur urusan rakyat adalah hubungan dagang, alias jual beli.

Di mana kah negara bervisi riayah yang tulus dan murni bisa kita temukan? Apakah ada negara dengan visi riayah yang bertanggung jawab seutuhnya atas urusan rakyat dan tidak membiarkan rakyat hidup dalam kesusahan?

Jawabnya ada, negara itu pernah ada. Itulah negara yang menerapkan syariat Islam kafah yang dengan penuh kesadaran menjalankan sabda Nabi SAW. yang berbunyi, ‘Pemimpin (khalifah) itu laksana penggembala dan hanya ia yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.’

Negara bervisi riayah sesuai arahan Nabi SAW. ini tidak akan membiarkan rakyatnya mengalami bahaya (dharar). Karena Rasul SAW telah memberikan tuntunan bagi para pemangku kekuasaan sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadis Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Daraquthni, “Tidak ada dharar (bahaya) dan tidak ada membahayakan (baik diri sendiri maupun orang lain).”

Negara yang menerapkan syari'at Islam dan menjalankan pemerintahan sesuai Sunnah Nabi SAW tidak membiarkan ada rumah tidak layak huni di tengah masyarakat, apalagi sampai ambruk. Sebab negara memiliki data akurat mengenai kondisi perumahan masyarakat yang harus dilayakkan, bertindak cepat menanganinya sebelum masyarakat melapor. Bukan hanya untuk masyarakat di perkotaan, tapi juga di pelosok.

Dengan mekanisme sederhana sesuai syariat, negara akan membantu segera penanganan rumah yang harus dilayakkan. Negara akan menelusuri orang-orang yang menjadi penanggung jawab penyediaan rumah dalam keluarga yang rumahnya harus dilayakkan. Jika mereka semua tidak memiliki kemampuan finansial alias miskin, negara akan segera memberikan bantuan untuk merenovasi rumah yang tidak layak huni menjadi layak huni agar dharar dapat dicegah, tanpa syarat apa pun yang memberatkan masyarakat, apalagi birokrasi yang rumit berbelit.


Dengan dana berbasis baitulmal, negara memiliki kemampuan finansial untuk membantu rakyat yang sangat membutuhkan, khususnya untuk membangun rumah layak huni. Dengan demikian, tidak ada lagi masyarakat yang tinggal di rumah tidak layak huni, bahkan hingga ambruk. Kemampuan ini, hanya dimiliki oleh negara yang memiliki visi riayah, yaitu negara Khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kafah. Wallahu'alam. []