Home Opini Potret Remaja FOMO, Buah dari Sistem Sekuler

Potret Remaja FOMO, Buah dari Sistem Sekuler

561
0
SHARE
Potret Remaja FOMO, Buah dari Sistem Sekuler

Keterangan Gambar : Rizka Dara Afifah (sumber foto : dok.pribadi/pp)

Oleh: Rizka Dara Afifah
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Fenomena Fear of Missing Out atau FOMO mulai viral dan mewabah di kalangan remaja saat ini. Tak henti-hentinya semakin berkembangnya zaman semakin pula banyak hal-hal yang menarik dan menjadi tren di tengah banyaknya isu tentang saudara Muslim di Palestina, Gaza yang tak kunjung usai. Maka tak ubahnya remaja kembali dialihkan dengan hal-hal yang viral dan menarik di sekitarnya.

Berawal dari penggunaan teknologi yang katanya akan memudahkan remaja saat ini untuk bertransaksi via online/belanja online. Salah satunya ada sebanyak 78% masyarakat generasi milenial dan gen Z telah menggunakan aplikasi fintech setiap harinya, termasuk dompet digital, layanan pinjaman, dan pembayaran digital.

FOMO, YOLO (you only live once) dan FOPO (fear of other people’s ppinion) menjadi sebuah gaya hidup yang tren saat ini di kalangan remaja yang gaul dan tergerus akan teknologi. Menurut Public & Government Relation Manager 360Kredi, Habriyanto Rosyidi S, gaya hidup ketiganya menjadi salah satu faktor bagi permasalahan finansial anak muda hari ini jika tidak dapat dikelola dengan baik dan bijak. Ketika memaksakan sesuatu secara berlebihan tanpa perhitungan matang dan dana yang cukup, akan membawa ketergantungan terhadap utang yang tidak produktif. Itulah salah satu dampak negatif yang terjadi saat ini (Kompas.com, 10/11/2024).

Dampak negatif FOMO lainnya diungkapkan oleh Sosiolog Sunyoto Usman, bahwa FOMO dapat membuat seseorang menjadi narsistik (Kompas, 24/10/2024).

Itulah salah satu dampak negatifnya, dan masih banyak dampak negatif lainnya yang dihasilkan jika FOMO tidak diatur dengan baik secara individu, masyarakat sebagai pengamat dan pelaku serta peran negara dalam menyelesaikan masalah ini. Karena semakin lama akan semakin besar dampak yang kita rasakan bahkan sampai melanggar hukum negara dan merugikan banyak orang.

Jika dilihat, munculnya gaya hidup FOMO buah dari sistem sekuler yang salah satunya mengakibatkan gen Z bergaya hidup bebas, hedonistik dan konsumerisme. Konsumerisme mendorong individu untuk mengidentifikasi diri melalui barang yang dibeli. Produk-produk konsumer dapat menjadi simbol status dan tren yang memberikan nilai tambah bagi pemiliknya salah satunya fenomena tren boneka Labubu yang digemari gen Z karena ada nilai eksistensi dan life style yang terbaru.

Sungguh miris keadaan dan kondisi masyarakat saat ini khususnya gen Z. Mereka sedang menjadi target pasar bagi para konsumen di era kapitalis saat ini. Padahal mereka seharusnya fokus belajar dan meraih prestasi namun faktanya malah disibukkan dengan hal-hal yang kurang dan tidak bermanfaat bahkan hanya sekedar hiburan semata. Semua kesenangan dunia sesaat mendominasi dan menjadi prioritas utama.

Adanya pengabaian potensi gen Z untuk berprestasi dan berkarya yang lebih baik, juga menghalangi potensinya sebagai agen perubahan menuju kebaikan.  Terdapat dalil yang menjelaskan bahwa, Allah Ta'ala berfirman: "Maka berlomba-lombalah engkau sekalian untuk mengerjakan berbagai kebaikan,” (al-Baqarah: 148).

Telah jelas bahwa kita sebagai seorang Muslim diminta oleh Allah SWT untuk senantiasa berlomba-lomba dalam mengejar amal kebaikan selama di dunia bukan sebaliknya. Hal yang juga tak kalah menyedihkan, faktanya sistem hari ini tidak memberikan perlindungan bagi Gen Z justru menjerumuskan mereka dalam lingkaran matererialistik melalui media sosial yang menciptakan gaya hidup FOMO.

Islam memandang bahwa generasi merupakan potensi besar dan kekuatan yang dibutuhkan umat sebagai agen perubahan. Berada pada usia produktif menjadikan para generasi memegang peranan penting dalam menciptakan model masyarakat yang tidak hanya sibuk dengan perkara duniawi saja namun juga disibukkan dalam perkara akhirat. Berbagai kegiatan yang islami tentu akan banyak diadakan dan dilakukan dalam lingkup sistem Islam.

Bukan seperti sistem saat ini yang seolah memberikan pemakluman bahwa usia muda adalah usia yang tak bisa terulang kembali jadi lakukan hal dengan penuh rasa kebebasan dengan melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat terutama norma Islam sebagai seorang Muslim. Seharusnya negara memahami betul perannya yang penting untuk menumbuhkan cita-cita untuk membangun dan melanjutkan peradaban.

Pemahaman generasi mengenai tujuan hidup semata untuk beribadah kepada Allah, akan menuntun mereka untuk melakukan perbuatan berlandaskan ridha Allah. Hal ini tentu sangat penting ditanamkan bukan hanya saat di usia muda saja namun sejak baligh agar dia mengetahui mana hal yang boleh dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Negara juga berperan sebagai perisai generasi, yang melindungi mereka dari berbagai upaya yang mengalihkan potensi besar yang mereka miliki.[]