Keterangan Gambar : Farouk Abdullah Alwyni (Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development [CISFED]/Alumnus Program MA in Economics, New York University, Amerika Serikat)
Belajar dari Kasus Demo Besar George Floyd di Amerika Serikat
Oleh: Farouk Abdullah Alwyni
(Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development [CISFED]/Alumnus Program MA in Economics, New York University, Amerika Serikat) & Kamal Abdullah Alwyni (Praktisi Bisnis Property Management di Los Angeles, Amerika Serikat/Mantan Aktivis Mahasiswa/Pengamat Sosial).
Baru-baru ini kita semua menyaksikan sebuah hal yang dramatis yang berlangsung dibanyak kota-kota di Amerika Serikat (AS). Demonstrasi yang berlangsung mulai dari kota-kota besar di AS seperti Minneapolis, Washington, New York, Los Angeles, Las Vegas, Michigan, sampai dengan kota-kota besar dunia lainnya seperti London, Paris, Sydney, Melbourne, Berlin, Lisbon, bahkan Tokyo dan masih banyak lagi. Berdasarkan temuan para peneliti, protes yang ada sekarang merupakan yang terluas dalam sejarah AS, telah menyebar dilebih dari 650 kota di 50 negara bagian (the Washington Post, 7 Juni 2020).
Demo-demo ini pada dipicu oleh kematian seorang warga kulit hitam, George Floyd akibat perlakuan kekerasan polisi kulit putih, beserta tiga rekan polisi lainnya. Kematian George Floyd ini memancing amarah publik setelah sebuah video viral yang menunjukkan bagaimana sang polisi menekan dengkulnya secara dingin selama sembilan menit, mengabaikan permohonan sang warga kulit hitam yang mengeluh berkali-kali bahwa yang bersangkutan tidak bisa bernafas (I can’t breathe).
Spontan, segera setelah video itu viral beredar di media-media sosial dan berbagai media mainstream di Amerika Serikat seperti New York Times, Los Angeles Times, Washington Post, NBC News, dan lain sebagainya. Banyak masyarakat Amerika Serikat dari berbagai latar belakang dan warna kulit diberbagai kota besar di Amerika Serikat turun kejalan meminta keadilan untuk George Floyd dan mendesak agar otoritas memecat, mengadili, dan menghukum sang pelaku dan ketiga kawannya. Sejauh ini tuntutan para demonstran mulai membuahkan hasil. Sang pelaku utama telah dipecat, dan sekarang mulai diproses untuk diadili dengan tuntutan “Second Degree Murder.” Ketiga kawannya yang pada awalnya belum dipecat, akhirnya juga menyusul dipecat dan juga ikut diproses sebagai bagian dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembunuhan tersebut.
Dampak yang tidak terelakkan dari demo besar-besaran dibanyak kota di Amerika Serikat adalah terjadinya looting dan rioting dari berbagai pihak yang ingin mengambil manfaat dari kejadian ini, yang bahkan, yang sebelumnya tidak pernah terjadi, masuk ke daerah-daerah elite di Los Angeles, seperti Beverly Hills, Santa Monica, dan West Los Angeles. Motif dari berbagai tindakan destruktif tersebut memang berbagai macam, mulai dari kemarahan yang tidak terkontrol, kriminalitas murni, dan bahkan dari sekelompok far right/White Supremacy yang ingin memicu lebih jauh konflik rasial di Amerika Serikat.
Tetapi dampak negatif tersebut perlu dilihat secara proporsional sebagai bagian kecil (yang menumpang) dari gelombang besar demo damai yang awalnya menuntut keadilan untuk George Floyd, menjadi sebuah bentuk perlawanan rakyat terhadap kekerasan polisi, khususnya kelompok minoritas kulit hitam, dan apa yang dianggap sebagai ketidakadilan dalam proses penegakan hukum kepada para polisi pelaku-pelaku kekerasan sebelumnya. Demo-demo ini pada dasarnya menyatukan sebuah keterpanggilan untuk menciptakan AS yang lebih adil untuk semua. Black Lives Matter menjadi satu slogan penting pergerakan tersebut. Banyak para purnawirawan jenderal di AS termasuk Mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Purn. Jenderal James Mattis mengkritik respon yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap demo-demo yang ada karena dianggap membatasi hak-hak kebebasan sipil yang tercantum dalam Bill of Rights, dan merupakan pelecehan terhadap konstitusi. Mattis bahkan menuding bahwa Trump adalah seorang Presiden yang memecah Amerika Serikat dan melihat bahwa ini adalah akibat tiga tahun kepemimpinan yang tidak matang.
Kemarahan banyak elite (dan para mantan elite) politik dan pemerintahan Amerika Serikat diantaranya dipicu oleh sikap Presiden Trump yang dianggap tidak sensitif ketika yang bersangkutan berjalan dari White House ke sebuah gereja historis (St. John’s Episcopal Church), satu blok dari White House, di Washington untuk akhirnya hanya berfoto dengan para pembantunya dan juga berfoto sendiri dengan memegang Bible. Persoalannya adalah proses sampainya Trump ke lokasi Gereja tersebut adalah dengan cara polisi membubarkan secara paksa demo damai diseputaran White House. Hal ini dilihat sebagai sebuah pelanggaran hukum dari seorang Presiden Amerika Serikat terhadap hak konstitusional warga AS untuk berdemo secara damai. Trump dilihat sebagai seorang Presiden yang sudah melecehkan hukum dan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri.
Sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini di AS merupakan akumulasi kekesalan publik terhadap kekerasan polisi, khususnya kepada orang hitam, dan kecenderungan bahwa kekerasan tersebut tidak selalu mendapatkan hukuman yang memadai, mengingat di beberapa kejadian sebelumnya, proses hukum panjang yang ada tidak selalu memberikan hukuman yang setimpal kepada polisi yang melakukan kekerasan. Apalagi selama demo-demo anti kekerasan yang berlangsung ini banyak sikap kekerasan polisi yang tertangkap kamera. Kondisi ini akhirnya menyatukan banyak elemen masyarakat AS lepas dari ras dan warna kulit yang melihat perlunya reformasi institusi kepolisian dan juga keterpanggilan terhadap sistim keadilan yang lebih baik. Magnitude demo yang sekarang ini terjadi, yang menunjukkan sebuah perlawan rakyat secara masif, nampaknya mulai mendorong kembali refleksi dasar untuk mereformasi kepolisian (police reform) yang ada. Banyak para tokoh di Amerika Serikat seperti mantan Presiden Barack Obama, Bill Clinton, Gerorge Bush, dan bahkan Jimmy Carter. Juga para senator dan congressman, serta para walikota dan gubernur. Pada dasarnya semua memberikan pernyataan terkait kebutuhan urgen untuk menciptakan institusi keadilan yang lebih baik. Bahkan survey terakhir dari Reuters/Ipsos (ipsos.com) menemukan bahwa mayoritas warga AS (73% mendukung demo-demo damai yang ada).
Terakhir seorang senator juga sedang menyiapkan usulan hukum untuk menghilangkan imunitas polisi dari hukuman jika yang bersangkutan dianggap telah melakukan penyalahgunaan hukum dalam proses penegakan hukum kepada para warga yang seharusnya dilayani dan dilindungi oleh polisi. Tidak kurang evaluasi akademik mulai dilakukan untuk melihat kembali proses panjang peradilan untuk menghukum polisi yang salah yang seharusnya tidak memakan waktu yang lama, khususnya ketika polisi tersebut terbukti melakukan kesewenang-wenangan terhadap warga dengan penggunaan excessive force. Sistim Kepolisian secara menyeluruh mulai disorot, walaupun juga diakui bahwa pada kenyataannya tidaklah semua polisi yang ada buruk, banyak juga yang baik, yang ditunjukkan juga selama demo-demo yang ada ini dimana sebagian polisi mulai dari yang berada di New York, Michigan, Los Angeles, dan kota-kota lainnya menunjukkan solidaritas dan berbaur dengan para demonstran, ikut merunduk meletakkan satu dengkulnya untuk menunjukkan duka dan solidaritas terhadap apa yang menimpa seorang George Floyd. Perdebatan terjadi apakah persoalan kekerasan polisi yang ada terkait sistim kepolisian, yang kemudian akan perlu direformasi, atau diakibatkan hanya oleh the bad apples.
Dari apa yang terjadi di Amerika Serikat sekarang ini tentunya banyak pelajaran yang bisa kita ambil jika kita juga melihat beberapa kasus kekerasan polisi terhadap masyarakat. Kejadian yang mungkin masih segar diingat adalah apa yang dilakukan oknum aparat kepolisian pada tanggal 21-23 Mei 2019, menyusul demo di depan KPU, dimana pihak kepolisian dianggap telah melakukan excessive force. Amnesti Internasional Indonesia pada waktu itu membuat pernyataan bahwa Korps Brigade Mobil (Brigade Mobil) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga tak berdaya saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, usai kerusuhan 22 Mei. Sejauh ini kita tidak pernah mendengar sejauh mana para oknum polisi yang melakukan excessive force tersebut telah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal.
Di Amerika Serikat dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dalam kasus-kasus demo yang ada sekarang ini, paling tidak kita melihat bahwa jika ada persoalan yang menjadi viral dan diketahui secara luas, maka otoritas yang ada segera mengambil tindakan optimal. Mulai dari penonaktifan, pemecatan, bahkan melakukan proses hukum. Disinilah dari apa yang terjadi di AS, kita perlu mengambil pelajaran terkait kebutuhan untuk menciptakan mekanisme akuntabilitas untuk segenap aparat kepolisian. Jika sebuah negara seperti Amerika Serikat dengan sistim hukum dan peradilan yang dianggap jauh lebih baik dari kita dalam perspektif internasional masih terus dikritisi dan selalu melakukan instropeksi dan evaluasi untuk terus memperbaiki sistim yang ada, tentunya ini adalah sebuah panggilan untuk kita semua di Indonesia juga untuk tidak segan-segan mengevaluasi dan memperbaiki sistim kepolisian yang ada khususnya yang terkait dengan isu-isu politik dan penanganan demo-demo damai, jangan sampai sekelompok oknum kepolisian yang ada melakukan excessive force dengan seenaknya kepada segenap anggota masyarakat tanpa ada konsekuensi dan hukuman setimpal yang diberikan kepada para polisi pelanggar hukum.
Kita di Indonesia hendaknya tidak harus menunggu demo besar-besaran terjadi di Republik ini untuk selalu memperbaiki kondisi yang ada, khususnya yang terkait dengan sistim penegakan hukum & keadilan kepada segenap pihak yang bertugas sebagai penegak hukum itu sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Gubernur New York –Andrew Cuomo- bahwa polisi harus menegakkan –bukan menyalahgunakan- hukum (“Police officers must enforce –NOT ABUSE- the law”).
Sebagai sebuah negara mayoritas Muslim, banyak contoh-contoh imparsialitas hukum dan teladan penegakan keadilan luar biasa yang ditunjukkan dalam sejarah Islam sebagai sumber inspirasi bagi kita semua, mulai dari pernyataan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa jika Fatimah mencuri maka beliau sendirilah yang akan memotong tangannya, yang menunjukkan bahwa penegakan keadilan tidak akan melihat siapa yang melakukan pelanggaran keadilan tersebut. Juga contoh bagaimana seorang Khalifah Ali Bin Abu Thalib bisa dikalahkan dalam persidangan oleh seorang rakyat Yahudi biasa. Ada lagi kasus pada masa Khalifah Umar Bin Khatab, dimana beliau mengecam keras sikap Gubernur Mesir Amr Bin Al-Ash yang ingin menggusur rumah seorang wanita tua Yahudi karena tidak mau tanahnya dibebaskan untuk pembangunan Masjid, atau hukuman yang diberikan oleh beliau kepada anak Amr Bin Al-Ash karena sang anak gubernur tersebut telah bersikap sewenang-wenang kepada seorang anak Kristen Koptik yang mengalahkannya dalam pacuan kuda.
Akhirnya, kebesaran suatu bangsa akan ditentukan juga dengan sejauh mana keadilan dapat tegak dinegara tersebut. Dan ini adalah sebuah proses yang harus terus berlangsung (keep improving) seperti yang kita lihat sekarang ini di AS. Akhirnya menarik untuk menyimak kata-kata seorang Nelson Mandela yang menyatakan bahwa a nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones.(*)
LEAVE A REPLY