Home Opini Waspada Neokolonialisme dalam Program Sister City Depok-Tianjin

Waspada Neokolonialisme dalam Program Sister City Depok-Tianjin

197
0
SHARE
Waspada Neokolonialisme dalam Program Sister City Depok-Tianjin

Oleh: Fatmah Ramadhani Ginting S.K.M.,
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

DPRD Kota Depok menerima kunjungan Pemerintah Tianjin, Cina dalam upaya memperkuat hubungan internasional, Kamis (31/10/24). Kunjungan ini membahas kerja sama di berbagai sektor, seperti perdagangan, teknologi, pendidikan, dan pengembangan kota (klikwarta.com, 05/11/24).

Dengan latar belakang yang mirip satu sama lain (sama-sama sebagai penyangga ibu kota), salah satu rencana kerja sama Tianjin dan Depok adalah dalam pembangunan kota pintar. Selain itu, dengan banyaknya universitas di Depok yang berfokus pada teknologi serta kian bertumbuhnya komunitas startup, kolaborasi dua kota beda negara ini digadang-gadang berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi digital dan perdagangan internasional.


Pemkot Depok sendiri membuka kesempatan bekerja sama bagi kota-kota lain di dunia untuk mewujudkan visi Kota Depok yang maju, berbudaya, dan sejahtera (antaranews.com, 5/09/22). Untuk itu, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Depok telah lama memiliki program Sister City dan saat ini masih dalam masa penjajakan ke negara-negara luar untuk mencari partner.

Sister City adalah sebuah konsep, ketika dua daerah atau kota yang secara geografis, administratif, dan politik berbeda, berpasangan untuk menjalin hubungan sosial antarmasyarakat dan budaya (bangda.kemendagri.go.id, 21/10/2014). Pada 2022, Pemkot Depok pernah berkolaborasi dengan Kota Jeonju mengadakan acara Depok Pop dengan tema “Road To Sister City Kota Depok dan Kota Jeonju Korea Selatan.”

Jebakan Utang

Sebelum membahas program Sister City lebih jauh, menarik untuk kita cermati situasi saat ini dengan belasan negara miskin menghadapi ketidakstabilan ekonomi dan bahkan terpuruk akibat beban pinjaman luar negeri senilai ratusan miliar dolar.

Dengan segala kepentingannya, Cina belakangan muncul sebagai 'matahari baru' dalam perpolitikan global. Cina diketahui telah meminjamkan dana dalam jumlah besar kepada negara-negara berkembang melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI). BRI merupakan kebijakan luar negeri andalan Presiden Xi Jinping yang dikeluarkan pada 2013. Program BRI telah membiayai pembangunan pelabuhan, kereta api, dan infrastruktur darat di seluruh dunia.

Konsekuensi dari pinjaman dana atau utang yang digelontorkan Cina ke sebagian besar negara di Asia dan Afrika ini membuat negara-negara tersebut terjerembab utang dengan bunga tinggi. Negara yang terjerat utang dipastikan manut pada berbagai arahan Cina. Bukan hanya posisi tawar negara pengutang yang menjadi lemah, tetapi kedaulatannya juga akan tergadai.

Sebagai contoh Sri Lanka, negara yang meminjam uang ke Cina ini dilaporkan gagal membayar utang pada Mei 2022. Mengutip Times of India, total utang Sri Lanka ke Cina mencapai US$ 8 miliar. Negara yang dijuluki sebagai ‘mutiara Samudra Hindia’ ini harus merelakan salah satu pelabuhan strategisnya akibat gagal bayar utang yang jatuh tempo. Masih ada Uganda, Kenya, Maladewa, Pakistan, Laos, dan lain-lain yang juga dilanda krisis setelah kesulitan membayar utang pada Cina.

Bukan tidak mungkin Depok yang berencana bekerja sama dengan Tianjin Cina untuk membangun Sister City juga akan bernasib sama bila program ini terlaksana.


Waspada Neokolonialisme di Balik Sister City

Program Sister City di bawah Bappeda ini dapat menjadi pintu masuk penjajahan gaya baru atau neokolonialisme ke kota yang dikenal sebagai penghasil Belimbing Dewa. Kolonialisme identik dengan imperialisme (penjajahan). Dahulu sejumlah negara seperti Inggris, AS, Prancis, Spanyol, Portugal, dan Belanda pernah menjadi imperialis.

Negeri kita salah satu di antara yang pernah merasakan penderitaan di bawah kolonialisme Barat selama ratusan tahun sebelum akhirnya merdeka pada 1945. Namun tanpa banyak disadari, kemerdekaan pada 1945 sesungguhnya telah menjadi awal mula neokolonialisme di negeri ini.

Neokolonialisme atau penjajahan gaya baru adalah upaya negara-negara maju untuk melakukan kontrol terhadap negara-negara bekas jajahan, meskipun mereka telah memproklamirkan kemerdekaan. Neokolonialisme tidak lagi dilakukan dengan kekuatan militer, tetapi melalui dominasi ekonomi, politik, budaya, dan ideologi.

Melalui dominasi ekonomi, salah satunya dengan menciptakan ketergantungan pada utang luar negeri. Kita menyaksikan bagaimana Indonesia memiliki utang luar negeri mencapai ribuan triliun, baik kepada Amerika Serikat, Cina, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Australia, dan lain-lain, maupun ke lembaga-lembaga internasional, seperti IMF dan Bank Dunia.

Pinjaman tersebut sering datang dengan syarat-syarat yang dapat mempengaruhi kebijakan dalam negeri. Di antaranya memberi tekanan politik serta tekanan ekonomi seperti keharusan liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor publik seperti tambang, energi, migas, dan lain-lain.

Bukan tidak mungkin program Sister City ini nantinya didominasi Cina, mengingat mereka lebih kuat dari sisi modal dan teknologi. Cina terbukti telah menjerat negara-negara miskin dan berkembang dalam jebakan gagal bayar utang.


Khatimah

Pemerintah dalam hal ini Pemkot Depok sudah selayaknya belajar dari Sri Lanka, Uganda, juga Kenya sebelum menjalin kerja sama di berbagai sektor dengan Tianjin Cina. Jangan sampai program Sister City yang bertujuan untuk pembangunan kota pintar dan perdagangan internasional, malah membuat terjatuh pada utang berikut bunga yang membengkak, apalagi sampai harus merelakan aset strategis.

Jujur sebenarnya kita tidak kekurangan sumber daya yang kapabel untuk melakukan membangun Depok menjadi kota pintar. Hanya saja tidak dapat dipungkiri, di tengah posisi wilayah yang strategis dan sumber daya manusia yang potensial, kita masih lemah dalam visi politik mengelola negara. Mentalitas pejabat yang korup dan mengabaikan nilai-nilai moral membuat negeri kian sengsara.

Dalam pandangan Islam sebagai agama dan tuntunan hidup, memberi pinjaman merupakan bagian dari aktivitas saling tolong menolong. Syariat Islam juga mengatur dalam aktivitas pinjam-meminjam atau utang ini tidak boleh disertai tambahan berupa bunga atau tambahan lainnya.


Maka agar lepas atau terhindar dari neokolonialisme, Indonesia dan Kota Depok pada khususnya perlu mengambil langkah-langkah strategis yang berakar pada prinsip-prinsip syariat Islam, tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Namun agaknya hal ini baru bisa kita wujudkan dengan kembali pada ideologi Islam secara utuh, menerapkan syariat Islam secara kâfah di semua aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ini berarti kita harus meninggalkan ideologi dan sistem asing, seperti kapitalisme dan sekularisme yang jelas-jelas menciptakan neokolonialisme.[]