Home Opini UKT Mahal, Golden Generation Hanya Mimpi

UKT Mahal, Golden Generation Hanya Mimpi

834
0
SHARE
UKT Mahal, Golden Generation Hanya Mimpi

Keterangan Gambar : ilustrasi UKT Mahal (sumber foto : ist/pp)

Oleh: Syiria Sholikhah,
Mahasiswi Universitas Indonesia (UI)


AKHIR - Akhir ini kita mendengar dan membaca berita yang cukup menarik simpati, yaitu naiknya biaya UKT atau Uang Kuliah Tunggal. UKT ini ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi negeri sesuai dengan kebijakan masing-masing kampus, kenaikannya tentu mengikuti kebijakan yang dibuat oleh Kemendikbud RI.

Dilansir dari CNN Indonesia, (29/5/24), menurut presiden Joko Widodo, kenaikan UKT kemungkinan akan dievaluasi dulu, kemudian kenaikan setiap universitas akan dikaji dan dikalkulasi sehingga kemungkinan, masih kemungkinan dan kebijakan di Mendikbud, akan dimulai kenaikannya tahun depan. Ia pun menyebutkan bahwa kenaikan UKT ini tidak boleh secara mendadak dan harus ada persiapan hingga UKT resmi diberlakukan.

Dari pernyataan tersebut tampak jelas tidak ada pembatalan kenaikan UKT melainkan hanya penundaan sementara sebagai respons dari protes oleh berbagai kalangan. Namun, polemik ini telah menimbulkan banyak protes dari berbagai pihak termasuk dari mahasiswa yang keberatan dengan kenaikan tarif UKT ini dan beberapa yang batal untuk masuk ke perguruan tinggi karena tidak mampu dengan mahalnya UKT di universitas yang menjadi tujuannya.

Sedangkan, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matra mengatakan pangkal masalah dari UKT mahal adalah status perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) yang mempersilahkan kampus-kampus negeri mencari pembiayaan sendiri termasuk dengan menaikkan tarif UKT. Dia juga menyebutkan bahwa anggaran pendidikan di APBN sebetulnya mampu memberikan subsidi biaya kuliah. Hal ini terjadi akibat adanya liberalisasi pendidikan dalam demokrasi pada sistem kapitalis yang menjadikan pendidikan sebagai aspek bisnis dan pro pasar industri sehingga negara lepas tangan dari tanggung jawabnya.

Perguruan tinggi negeri menjadi incaran beberapa mahasiswa karena biaya yang lebih terjangkau dibanding dengan biaya yang harus dikeluarkan jika kuliah di perguruan tinggi swasta. Namun, sejak beredarnya berita kenaikan UKT ini menyebabkan beberapa calon mahasiswa putus asa dengan mimpinya memperoleh pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Tidak sedikit calon mahasiswa yang mengundurkan diri setelah pengumuman kelulusan hasil ujian SBNMPTN, padahal untuk melalui ujian tersebut tidaklah mudah dan membutuhkan perjuangan belajar yang tidak biasa, namun apalah daya jika pemerintah hendak membatasi pendidikan hanya untuk kalangan kelas atas saja sehingga mereka yang tidak mampu harus mengurungkan mimpinya itu, seakan seperti itulah yang dikehendaki pemerintah.

Bahkan beberapa mahasiswa menyebutkan bahwa biaya pendidikan di beberapa universitas swasta lebih murah dibanding dengan perguruan tinggi negeri. Negara mana yang hendak membunuh generasi dan membawa mereka kepada generasi terpuruk lagi bodoh? Atau kita sebut ‘Dark Generation’? Tidakkah malu bagi negara, peran dan tanggung jawab tersebut diambil oleh swasta yang hendak mendonasikan kekayaan miliknya untuk memberikan fasilitas pendidikan terbaik dengan harga sangat tidak masuk akal murahnya.

Padahal seharusnya negara memiliki kekayaan yang lebih dari swasta jika kita melihat semua sumber daya alam yang ada. Kita bisa melihat betapa lemahnya dan buruknya sistem kapitalis ini tidak mampu memberikan sesuatu yang seharusnya mudah hingga perannya diambil alih oleh individu rakyat, sungguh memalukan!

Jika kita melihat sedikit ke sejarah ‘Golden Generation’ atau generasi emas yang mampu menciptakan ilmuan-ilmuan yang ilmunya kita gunakan sekarang, apakah mereka mendapatkannya begitu saja? Bukan hanya satu atau dua orang saja sehingga mereka disebut generasi emas, melainkan bagaimana pemerintah kala itu mendukung pendidikan guna mencetak generasi emas. Sepintar apa pun orang jika tidak diasah maka apa gunanya? Kita lihat generasi emas ada pada masa kekhilafahan Islam yang menciptakan banyak ilmuan dan mereka mampu untuk menemukan penemuan-penemuan yang ilmunya sangat bermanfaat bagi masa berikutnya dan dikembangkan kembali dan lagi hingga bisa kita pelajari dan kita gunakan hasilnya saat ini.

Kapitalis tidak memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar setiap rakyat, sangat berbeda dengan Islam yang memandang bahwa pendidikan adalah salah satu kebutuhan dasar pokok rakyat yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya. Sistem Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar pokok, sehingga di dalam sistem Islam, negara akan menyediakan sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi berkualitas dengan biaya murah bahkan gratis bagi masyarakat yang memiliki kemampuan dalam hal berpikir (otak) cerdas.

Sistem Islam memiliki sumber keuangan yang sangat melimpah, tanpa harus merampok masyarakat dengan pajak dan lainnya. Melainkan dari Sumber Daya Alam (SDA) seperti tambang emas, nikel, tembaga, batu bara, dan lainnya yang merupakan kekayaan negara, yang dikelola dengan baik dan keuntungannya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, selain itu juga dari ganimah jika berperang, kharaj, fa’i, jizyah, dan yang lainnya. Semua sumber tersebut masuk ke baitul mal guna membiayai semua kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, bahkan bahan pokok murah dan gaji para pegawai negara termasuk guru atau dosen di perguruan tinggi milik pemerintah yang dikhususkan untuk melayani rakyat sehingga mereka bisa fokus mengurus rakyat.

Sistem kapitalis telah banyak merenggut dan menghancurkan mimpi para pemuda pemudi yang ingin menjadi bahkan ingin menciptakan ‘Golden Generation’. Mereka hanya peduli tentang perut dan nafsu para oligarki semata, tidak peduli dengan rakyat masa kini maupun masa depan.

Terlihat jelas bahwa sistem kapitalis dan demokrasi ini merusak lini-lini kehidupan baik saat ini maupun masa depan, tidak ada sistem yang memperhatikan secara detail setiap kebutuhan hidup dasar masyarakat selain dari sistem Islam yang menjadikannya tanggung jawab yang harus dipenuhi. Tidakkah kita rindu untuk hidup di bawah kepemimpinan Islam?