
Bencana demi bencana yang menimpa tanah air membuat nurani kita seakan tidak peka lagi melihat mayat-mayat bergelimpangan. Mayat-mayat yang tertimbun puing, tertimbun lumpur dan terhimpit tumpukan sampah, kemudian hanyut dibawa arus air laut yang ganas.
Bau busuk mayat yang berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan belum terjamah tangan kemanusiaan untuk disemayamkan secara layak, atau untuk ‘diselenggarakan dengan tatacara keagamaan yang pantas’, tak membuat hidung kita ‘sengak’ . Seolah bau busuk itu sama dengan bau bangkai makhluk hidup ciptaan Tuhan lainnya, yang tak perlu diupacarai kematiannya.
Lombok, Palu-Donggala, Selat Sunda… dan entah negeri mana lagi. Semua daerah hunian penduduk yang indah dan padat seakan antri menunggu giliran digegerkan, diratakan dengan tanah dan bahkan dihilangkan dari peta bumi bulat.
Ibarat gerbong kereta api, setelah yang satu datang yang lain pun tiba. Bahkan terkadang saling menyusul.
Kita hanya terhenti sejenak di depan layar kaca menyaksikan kedahsyatan bencana tersebut, kemudian beraktivitas kembali. Dan dari alam bawah sadar, seakan yakin, akan ada bencana susulan yang lebih hebat. Bahkan kita ingin melihat ‘yang jauh lebih dashyat lagi’.
*
Berbagai penafsiran dan pendapat tentang ‘amuk alam’ itu pun menyesak, diperbincangkan, dianalisis, bahkan ‘digoreng’ di layar kaca maupun dalam kotbah-kotbah keagamaan.
Orang agama yang saleh menyatakan bahwa bencana itu adalah kutukan Tuhan, dan men justice, korban adalah umat yang telah menyimpang dari ajaran-Nya. Kemudian dengan bersemangat mengajak kembali ke jalan yang benar.
Orang geologi dan ahli kebencanaan menyatakan itu adalah akibat dari pergeseran bawah bumi, karena tanah air kita berada di atas dua lempengan Asia dan lempengan Australia yang selalu bergerak. Bahkan mereka memasang alat-alat mendeteksi tsunami, semacam buoy di tengah laut untuk mendeteksi.
Orang kaya dan filantropis melihat bencana itu sebagai lahan amal, untuk menyalurkan sebagian harta dan kekayaannya yang melimpah ruah.
Apa pun pendapat mereka, tidak ada yang salah. Semuanya benar! Namun satu hal yang pasti adalah, mereka tidak bisa menghentikan musibah dan tidak dapat memastikan kapan dan di mana lagi bencana akan tiba.
Karena peristiwa yang akan datang adalah rahasia Tuhan. Hanya Tuhan lah yang tahu. Tuhan dalam firman Nya mengatakan, “Tidaklah gugur selembar daun pun, kecuali telah tertulis di - Lauh Mahfudz”-. Kitab yang tebal!
*
Namun bagi sebagian orang, bencana bukanlah akhir dari siklus kehidupan yang mengerikan. Selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk mengais rezeki untuk kepentingan pribadi. Tidak peduli, apakah caranya benar atau salah, beradat atau bukan. Halal atau haram. Yang penting ada peluang! Sikat!
Misalnya, yang dilakukan anak-anak muda harapan bangsa. Mereka bergerombol di tengah jalan yang macet, meminta sumbangan yang katanya untuk disalurkan. Mereka dengan bangga, bahkan dengan angkuh, memakai seragam organisasinya, logo yayasannya, atau bahkan seragam almamaternya untuk ‘mengemis’ .
Bahkan di satu ruas jalan utama yang padat, gerombolan mereka hampir dijumpai dalam setiap 100 meter. Sungguh bikin sesak! Dan ketika ditegur mereka malah lebih galak.
Kasus ini pernah terjadi di Depok, seorang anggota kepolisian yang tidak berpakaian dinas menertibkan gerombolan peminta sumbangan itu untuk menghindari kemacetan. Namun apa yang terjadi? Mereka malah mengeroyok ‘anggota’ tersebut.
Contoh lain, bantuan negara untuk perbaikan sarana umum yang rusak akibat bencana Palu-Donggala malah dikorupsi oleh pejabat-pejabat di Kementerian PUPR dan pengusaha bejat. Para pejabat dan pengusaha yang mengkorup dana ‘darah berlumpur nanah ’ itu, kini dibui KPK.
Alangkah menyedihkan kenyataan ini. Dana bencana dikorup, anak-anak muda yang seharusnya kreatif malah menjadi pengemis dan penggarong untuk menyatakan simpatinya.
Duh, gusti! Bencana moral kemanusiaan ini, sepertinya, jauh lebih sadis ketimbang bencana alam yang sesungguhnya.***
LEAVE A REPLY