Oleh : Nanda Nabila Rahmadiyanti
Alumnus Universitas Indonesia (UI)
BERITA - Terkait kondisi muslim Rohingya saat ini tenggelam oleh hiruk pikuk pemerintahan baru dan pemberitaan peperangan yang terjadi di Gaza. Berharap dapat perlindungan di Indonesia, sebanyak 146 pengungsi Rohingya terdampar di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada Kamis (24/10/2024). Meskipun awalnya mendapatkan penolakan dari warga setempat, para pengungsi yang telah berlayar selama 17 hari ini akhirnya mendapatkan izin untuk mendarat.
Menurut salah satu pengungsi Rohingya, M. Sufaid (24), mereka awalnya mengungsi di Bangladesh, karena adanya konflik di Myanmar, tempat asal para pengungsi Rohingya. Dan alasan mereka memilih Indonesia untuk dijadikan tempat singgah adalah karena mereka tahu di Indonesia banyak saudara muslim mereka.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, meski tak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, Indonesia memiliki banyak aturan terkait perlindungan HAM. Jadi, menurutnya, pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas orang-orang yang menjadi pengungsi. Seperti asas non-refoulement, yang berprinsip seseorang tidak boleh dikembalikan secara paksa ke wilayah di mana nyawa atau kebebasannya akan terancam, yang ditekankan dalam Konvensi Menentang Penyiksaan atau Konvensi Anti-Penyiksaan yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1998.
Namun, Kantor Imigrasi Kota Lhokseumawe, Aceh, mengingatkan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Indonesia untuk segera mencari lokasi penampungan baru bagi ratusan pengungsi Rohingya. Hal ini dikarenakan gedung yang saat ini dipakai sebagai tempat penampungan mengalami kerusakan sekitar 60 persen.
Dari sini dapat terlihat bahwa Indonesia tidak siap untuk menampung para pengungsi Rohingya. Padahal mereka berharap besar kepada Indonesia, dengan mayoritas penduduk muslim, yang merupakan saudara mereka untuk membantu mereka untuk bertahan hidup.
Mengapa hal ini terjadi?
Kondisi muslim Rohingya ini terjadi karena sekat nasionalisme yang membuat negara-negara muslim tidak tergerak untuk menolong saudaranya sesama muslim. Ikatan akidah yang seharusnya kukuh menyatukan muslim sedunia tanpa memandang asal wilayah dan suku bangsanya juga hilang karena nasionalisme.
Para pengungsi Rohingya hanya dipandang sebagai orang asing sehingga tidak ada rasa tanggung jawab negara untuk menolong orang asing, dan justru menganggap genosida terhadap Rohingya adalah masalah negara mereka, tidak ada kaitannya dengan Indonesia.
Selain nasionalisme, negara dengan pandangan sekuler liberal kapitalistik, membuat kebijakan pemerintah terhadap muslim Rohingya berdasarkan asas untung rugi. Pemerintah memandang bahwa menolong muslim Rohingya akan merugikan Indonesia secara materi sehingga hanya membantu seadanya saja.
Bagaimana sikap negara seharusnya?
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh dll.)
Muslim Rohingya tidak sekadar butuh penampungan sementara. Mereka butuh institusi yang benar-benar mengurus mereka, melindungi mereka, dari kelaparan, pengusiran, sampai dengan kejahatan genosida. Negara seperti ini hanya akan ada jika menerapkan Aqidah islam. Negara dengan Aqidah islam, yang dipimpin oleh Khalifah, akan memandang Rohingya sebagai saudara sesama muslim, yang sedang mengalami ancaman di tempat asalnya, sehingga wajib untuk ditolong dan dilindungi dengan kekuasaanya.
Negara dengan Aqidah islam akan melindungi mereka dengan cara menerima pengungsi dengan tangan terbuka, kemudian mengurus pengungsi sebagaimana warga negara lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, hak politik, zakat, dan lainnya. Memberikan pekerjaan yang layak bagi para laki-laki dewasa sehingga mereka memiliki sumber nafkah untuk keluarganya. Khalifah juga akan mengirimkan militer untuk membebaskan muslim Rohingya yang ada di Myanmar, sehingga muslim Myanmar bisa hidup aman tanpa ancaman dari kaum kafir penjajah.(*)
LEAVE A REPLY