Home Seni Budaya Ransomware Malware dan Puisi :Jalinan Tak Terduga antara Ancaman Digital dan Kreativitas Sastra

Ransomware Malware dan Puisi :Jalinan Tak Terduga antara Ancaman Digital dan Kreativitas Sastra

647
0
SHARE
Ransomware Malware dan Puisi :Jalinan Tak Terduga antara Ancaman Digital dan Kreativitas Sastra

Oleh : Rissa Churria
 Pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) *)

Beberapa bulan terakhir, saya mendapat kesempatan untuk menjadi staf dari Bang Riri Satria, seorang pakar teknologi digital dan siber. Pengalaman ini membuka mata saya akan betapa rumit dan dinamisnya dunia teknologi informasi, terutama dalam menangani ancaman digital seperti ransomware. 

Banyak pelajaran berharga yang saya petik, mulai dari bagaimana ancaman ini berkembang hingga cara kerja mereka yang rumit namun terstruktur. Saya mulai menyadari bahwa di balik kode-kode malware, ada "cerita" tersendiri yang diceritakan melalui manipulasi data dan enkripsi yang dilakukan oleh para peretas. Dari sinilah inspirasi saya untuk melihat hubungan tak terduga antara ransomware, yang dikenal sebagai ancaman, dengan puisi, yang merupakan wujud ekspresi kreatif. Ilmu baru yang saya peroleh memicu ide-ide baru tentang bagaimana sesuatu yang tampak berlawanan, seperti ancaman digital dan seni, bisa dihubungkan melalui cara kerjanya yang serupa namun berbeda dalam tujuannya.

Dalam dunia teknologi informasi, ransomware adalah jenis malware yang mengenkripsi data pada perangkat korban dan menuntut pembayaran untuk memulihkan aksesnya. Di sisi lain, puisi adalah bentuk seni yang memanfaatkan kata-kata untuk menciptakan makna, emosi, dan pengalaman estetis. Pada pandangan pertama, kedua konsep ini tampak tidak berkaitan, namun ketika kita menggali lebih dalam, kita dapat menemukan benang merah antara cara ransomware bekerja dan proses penciptaan puisi, terutama dalam hal diksi, kebebasan ekspresi (licentia poetica), dan inovasi bahasa.

Ransomware Manipulasi dan Pembatasan Informasi

Ransomware adalah bentuk manipulasi digital yang merampas kendali atas data, menyandera informasi penting dan meminta tebusan sebagai syarat pelepasan. Dalam proses ini, ada sebuah kekuatan tersembunyi yang bermain dengan informasi, merestrukturisasi, dan mengaburkan akses dengan cara yang canggih. Ransomware memaksa korban untuk memahami pesan tersembunyi yang dikirim oleh peretas melalui kode enkripsi, menjadikan komunikasi ini sebagai medan pertempuran antara si pencipta malware dan korban.

Puisi Manipulasi Bahasa dan Kebebasan Kreatif

Puisi, di sisi lain, adalah alat bagi penyair untuk "memanipulasi" bahasa guna menyampaikan ide, emosi, atau gambaran tertentu. Sama seperti ransomware yang merusak atau mengubah informasi, penyair juga "memodifikasi" bahasa, baik dengan menciptakan diksi baru maupun menggunakan kebebasan kreatif, atau licentia poetica, untuk melanggar aturan bahasa yang konvensional. Licentia poetica memungkinkan penyair untuk membelokkan tata bahasa, membentuk kata-kata baru, atau menggunakan struktur kalimat yang tidak lazim demi efek artistik.

Di dalam dunia puisi, licentia poetica tidak hanya mengizinkan tetapi juga mendorong penciptaan bahasa baru dan pengungkapan ide-ide yang mungkin tidak sesuai dengan norma-norma linguistik yang ada. Ini sangat mirip dengan cara ransomware "menyandera" dan mengubah struktur data, meskipun dengan tujuan yang sangat berbeda.

Diksi: Inovasi dan Ekspresi dalam Puisi dan Malware

Diksi, atau pilihan kata, adalah elemen penting dalam penciptaan puisi. Setiap kata dipilih dengan hati-hati untuk menciptakan makna, ritme, dan suasana yang diinginkan. Dalam proses ini, penyair sering kali harus bekerja di dalam batasan-batasan tertentu, seperti struktur sajak atau meter, tetapi dengan kebebasan yang diberikan oleh licentia poetica, batasan-batasan ini dapat dilanggar atau dibengkokkan untuk menghasilkan efek yang lebih kuat.

Dalam konteks ransomware, peretas juga harus memilih "diksi" yang tepat ketika menulis kode malware. Setiap baris kode harus tepat dan efektif untuk mencapai tujuan, yakni mengunci data korban. Sama seperti penyair yang harus memilih kata-kata dengan cermat untuk menciptakan puisi yang kuat, peretas harus memastikan bahwa setiap instruksi dalam kode ransomware bekerja dengan baik dalam meretas sistem dan mengenkripsi data. Meski satu berada di ranah kreatif dan yang lain di ranah kriminal, keduanya melibatkan seni dalam penggunaan bahasa, baik itu bahasa alami atau bahasa pemrograman.

Inovasi Bahasa Ransomware dan Licentia Poetica

Sebagaimana penyair menciptakan diksi baru untuk menyampaikan makna yang belum pernah terucap, pencipta ransomware juga terus berinovasi dengan menciptakan varian malware yang lebih sulit dideteksi dan diberantas. Mereka "menggubah" kode seperti seorang penyair yang menggubah puisi, memanfaatkan celah dan kelemahan sistem untuk menghasilkan hasil yang berbeda setiap kali. Seperti dalam puisi, di mana satu kata baru dapat mengubah keseluruhan makna sebuah karya, dalam ransomware, satu baris kode baru dapat mengubah cara malware itu bekerja, menciptakan tantangan baru bagi mereka yang mencoba menyingkirkan ancaman tersebut.

Simfoni dari Manipulasi Puisi dan Ransomware sebagai Ekspresi Kompleks

Keduanya, ransomware dan puisi, mengungkapkan cara manusia berinteraksi dengan bahasa dan struktur: yang satu untuk tujuan jahat, dan yang lain untuk tujuan estetika. Di balik penciptaan puisi, ada semangat kebebasan, inovasi, dan eksplorasi yang dapat mengubah persepsi kita terhadap dunia. Dalam ransomware, ada eksplorasi manipulatif terhadap sistem yang merongrong kepercayaan kita pada keamanan digital.

Namun, keduanya menunjukkan bahwa manipulasi bahasa, baik itu dalam bentuk puisi atau kode, dapat memiliki dampak yang signifikan, baik dalam menyandera pikiran atau data. Licentia poetica memberikan penyair kebebasan untuk bermain dengan kata-kata, menciptakan pengalaman baru bagi pembaca, sama seperti ransomware yang bermain dengan kode untuk menciptakan tantangan baru bagi korbannya.

Akhirnya meskipun berasal dari dunia yang sangat berbeda, ransomware dan puisi berbagi hubungan dalam hal bagaimana keduanya menggunakan bahasa dan struktur untuk mencapai tujuan mereka. Di satu sisi, mereka menunjukkan kekuatan dan potensi bahasa, baik untuk menyakiti maupun untuk memperkaya kehidupan kita. Sebagai manusia, kita perlu memahami kedua sisi dari mata koin ini: satu sisi adalah ancaman yang dibawa oleh teknologi seperti ransomware, sisi yang lain kekuatan penyembuhan yang ditawarkan oleh puisi dan seni. Melalui pemahaman ini, kita dapat menghargai kompleksitas bahasa dan bagaimana ia membentuk dunia di sekitar kita agar lebih menyala.
---------------------------------------- 
*) Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber. (*)