Home Opini PUTARAN PERADABAN DUNIA, INDONESIA, DAN ISLAM

PUTARAN PERADABAN DUNIA, INDONESIA, DAN ISLAM

1,037
0
SHARE
PUTARAN PERADABAN DUNIA, INDONESIA, DAN ISLAM

Oleh: H. J. Faisal *)


Putaran Peradaban

Ungkapan bahwa sejarah bukan ditulis oleh pahlawan, tetapi sejarah akan ditulis oleh pemenang, sepertinya memang benar adanya. Jika pada awal tahun 1900-an negara-negara barat adikuasa dari Eropa dan Amerika mampu menguasai dunia dalam segala bidang kehidupan, maka otomatis mereka dengan leluasa ‘berhak’ untuk menuliskan sejarah peradaban dunia menurut versi mereka. 

Segala macam teori ilmu pengetahuan pun menjadikan negara-negara barat sebagai kiblatnya. Hal ini pun masih terus berlangsung hingga sekarang. Untuk mengungkapkan sebuah kebenaran yang terkandung di dalam sebuah ilmu pengetahuan, rasanya belum sah jika belum menukil pendapat atau teori-teori yang berasal dari ilmuwan barat. 

Tetapi dunia memang selalu ‘berputar’, karena ternyata pada saat ini justru negara-negara dari belahan timur dunialah yang terus bangkit, dan terus mengalahkan hegemoni negara-negara barat tersebut secara perlahan. China, Jepang, Singapura,  Korea Selatan, dan Turki (yang mewakili kebangkitan kembali peradaban Islam), adalah contoh nyata dari negara-negara yang sedang mengalami kebangkitan tersebut.  Artinya, negara-negara timur dunia tersebut saat ini memang sedang menulis sejarah kemenangan mereka, sejarah yang akan dilihat dan dipelajari oleh generasi yang akan datang.

Hal ini pun diaminkan dan dibenarkan oleh ahli sejarah Amerika Samuel Huntington dalam buku masterpiecenya The Clash of Civilization, yang terbit pertamakali pada tahun 1996, di mana ia mengungkapkan bahwa jika dibandingkan pada tahun 1920-an, Barat termasuk Amerika Serikat jauh mengalami kemerosotan. Faktanya yang terjadi pun memang demikian, negeri-negeri seperti China, Korea Selatan, dan beberapa Negara Islam belakangan ini mampu merepotkan negara-negara adidaya tersebut.

Huntington akhirnya sampai kepada kesimpulan, bahwa jika Amerika Serikat dan Barat ingin tetap menjadi pemimpin peradaban-peradaban dunia, maka solusinya adalah dengan menghentikan laju dan gerak peradaban yang sedang tumbuh seperti peradaban Islam dan China, dengan cara apa pun.

Dari pandangan yang dikemukakan oleh Samuel Huntington tersebut, jelaslah bahwa ada persaingan yang sangat massive dalam segala bidang, yang sedang dilakukan oleh Amerika Serikat sebagai perwakilan dunia dari negara-negara barat, dan China sebagai perwakilan kebangkitan negara-negara timur dunia, dimana negara-negara Islam juga ikut ‘terlibat’ di dalamnya.  Ini artinya ada ‘pertarungan segitiga’ antara Barat, Timur, dan Islam untuk dapat saling menguasai antara satu dengan yang lainnya. 

Mengapa ‘pertarungan segitiga’ ini dapat terjadi saat ini? Menurut Prof. Dr. Mohammad Moniruzzaman, seorang Profesor di Departemen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM), ada argumen kuat yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.. Pertama, karena ‘kehausan’ negara-negara barat dan  China yang tak terpuaskan akan energi sehingga mendorong mereka untuk menjangkau negara-negara Islam/muslim yang kaya minyak di sekitarnya. Terlepas dari kesepakatan perdagangan negara-negara Barat dan  China yang terus meningkat, mereka memang sangat bergantung pada gas dan minyak bumi di negara-negara Muslim di Semenanjung Arab, Iran, Asia Tengah, dan juga Asia Tenggara.

Kedua, Negara-negara Muslim Asia Selatan dan Tenggara yang juga merupakan pemasok bahan mentah yang sangat besar, serta pasar untuk produk-produk industri dari  China, pada khususnya. Adapun ketergantungan pada negara-negara ini akhirnya diimbangi dengan meningkatnya investasi China di negara-negara muslim tersebut, tidak terkecuali di Indonesia.  

Posisi Indonesia

Jika demikian, dimanakah posisi Indonesia di dalam ‘pertarungan’ segitiga yang sedang terjadi saat ini? Tidak dapat dipungkiri, ternyata saat ini Indonesia sedang mengalami  kekalahan di dalam ‘pertarungan’ ini. Lemahnya daya saing  Indonesia yang notabene berpenduduk muslim terbesar di dunia,  dalam menghadapi persaingan ekonomi, pendidikan, dan teknologi yang sedang terjadi merupakan faktor utama kekalahan bangsa ini.   

Adapun sudah menjadi sebuah rahasia umum yang berlaku di dalam  wacana publik, bahwa negara yang ‘mengalahkan’ Indonesia dalam persaingan global saat ini adalah negara China dan sekutunya. 

Dengan tawaran investasi yang menggiurkan, ditambah lagi dengan kuatnya mental korupsi para oknum pejabat negara ini, dan juga gaya hidup hedonis dan materialistik warga negara Indonesia  yang semakin menjadi, maka menumpuklah hutang luar negeri Indonesia kepada negara-negara ‘pendonor’ seperti China, Singapura, dan Hong Kong, yang artinya secara ‘resmi’ dimulailah sudah ‘penjajahan’ gaya baru yang modern dari negara China dan negara-negara sekutunya terhadap bangsa dan negara Indonesia.   

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per akhir Maret 2021, konon tercatatlah posisi utang pemerintah Indonesia yang mencapai Rp6.445,07 triliun atau setara dengan 41,64 persen dari PDB Indonesia. (Sumber: Bisnis.com). 

Dan untuk ‘menghibur’ rakyat Indonesia agar tidak terlalu merasa khawatir, gelisah, galau, dan merana dengan kondisi negara yang hutangnya sudah segunung, maka pemerintah melalui corong kemenkeu beralasan bahwa peningkatan utang tersebut tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga oleh hampir seluruh negara di dunia karena kebutuhan belanja yang cukup besar untuk memberikan stimulus pemulihan ekonomi dan penyediaan vaksinasi Covid-19 gratis. 

Seperti yang telah kita pahami bersama, bahwa dalam menjajah sebuah negara dengan gaya modern di jaman teknologi canggih seperti sekarang ini memang tidak perlu dengan cara menyerang fisik lawannya, seperti yang dilakukan pada penjajahan konvensional di waktu lalu. 

‘Penjajahan’ di jaman modern seperti sekarang ini dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat lembut, yang biasanya didahului dari bidang ekonomi. Para ‘penjajah’ modern tersebut memang biasanya berkedok sebagai negara pendonor permodalan, atau pemberi hutang.  

Negara yang terperangkap ke dalam jebakan hutang tersebut, akan dipastikan sulit untuk keluar, dan selamanya akan menjadi negara penghutang yang abadi. Dengan kata lain negara debitur atau negara penghutang resmi menjadi negara yang tersandera dan terjajah bagi negara krediturnya. Dan ketika sudah tersandera dan terjajah, maka negara tersebut harus ‘rela’ untuk diatur kehidupannya oleh negara penjajahnya, termasuk mengatur hukum dan ideologi negara jajahannya. Selebihnya, bisa dipahami dan dirasakan sendiri oleh kita sebagai bangsa. Tidak perlu logika yang terlalu sulit untuk memahami hal ini. 

Nasib Pendidikan Nasional

Jika kita melebarkan masalah ini sedikit kepada permasalahan pendidikan nasional yang sedang terjadi, maka bukanlah menjadi sebuah keanehan, jika sistem maupun isi dari pendidikan sebuah negara yang terjajah tidak akan pernah menjadi sebuah sistem pendidkan yang independent. Semuanya pasti  akan didikte pula oleh negara yang menjajahnya. 

Maka tidaklah mengherankan jika isi dari pendidikan nasional saat ini,  banyak dipengaruhi oleh paham-paham negara China, yaitu paham komunisme. Apalagi memang kebetulan juga jika Indonesia dalam sejarah kelamnya hampir pernah dikuasai oleh paham komunisme dari poros yang sama dengan poros komunisme saat ini, yaitu poros Beijing di tahun 1965.  Sehingga akan menjadi tidak aneh pula, jika saat ini, para tokoh-tokoh komunisme yang lebih banyak  diperkenalkan kepada peserta didik, daripada tokoh-tokoh pahlawan nasional, apalagi tokoh pahlawan-pahlawan muslim, yang notabene juga turut serta dalam memerdekakan bangsa ini dari penjajahan. 

Selain paham komunisme, sebenarnya masih banyak juga paham-paham lain yang memang sangat mempengaruhi isi pendidikan bangsa ini, yaitu seperti paham kapitalisme, liberalisme, sekularisme, feminisme, isu persamaan gender,  dan ‘isme-isme’ negatif lainnya, yang pastinya membawa pengaruh buruk bagi cara berpikir masyarakat Indonesia yang mayoritas masih memegang teguh nilai-nilai agama dan ke-Tuhan-an, dan juga bagi dunia pendidikan nasional.

Semua pemikiran ‘isme-isme’ buatan manusia tersebut pada dasanya mempunyai sebuah tujuan yang sama, yaitu mempengaruhi masyarakat untuk meninggalkan agama sebagai the way of life, menghilangkan Tuhan dari kehidupan manusia, dan menggantinya dengan menuhankan pemikirannya sendiri, menuhankan materialisme, dan menuhankan nafsu-nafsu hewaniyahnya. 

Agama dan Tuhan pastinya  diposisikan sebagai musuh oleh paham komunisme, liberalisme, feminisme, sekularisme, yang memang tentunya dapat menghalangi kebebasan berpikir mereka yang naif, dan juga dianggap dapat mengekang kebebasan nafsu hewaniyah dan nafsu syaitoniah mereka.

Pandangan Islam dan Solusi

Menurut Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan Islam dalam bidang sosial,  meyakini bahwa sumber kerusakan moral serta kehancuran peradaban berawal dari kesombongan, bermewah-mewahan dan bermegah-megahan. Tidak ada satupun peradaban yang selamat dari ‘penyakit’ semacam ini, tak terkecuali peradaban Islam di masa belakangan. Negara lain akan dengan sangat mudah menjajah dan menguasai sebuah negara, dimana mental masyarakat negara tersebut telah jatuh kepada nafsu duniawi, sebuah kondisi mental manusia yang paling rendah nilainya.   

Dalam hal ini, Ibnu Khaldun memberikan sebuah solusi logis yang sifatnya transendensial, yaitu sebuah peradaban yang bernama peradaban hadharah Peradaban 'hadharah' adalah sebuah peradaban yang memiliki ciri peradaban yang khas yang berbeda dengan corak peradaban yang lain.  Peradaban yang dilandasi syariah Allah Subhannahu wata’alla, secara terus-menerus, dan komprehensif, adalah merupakan ciri khas peradaban hadharah Islam. Adapun  pandangan peradaban menurut Ibnu Khaldun ini, pastinya berujung kepada keharusan sebuah bangsa untuk lebih bermoral dan beradab. 

Oleh sebab itu jika ada suara-suara dari sebagian intelektual yang menganggap Ibnu Khaldun adalah sejarawan sekuler Muslim, maka hal tersebut tidaklah benar. Dalam perjalanan sejarah berbagai peradaban besar, pendapat Ibnu Khaldun memang sulit untuk dibantah, karena peradaban-peradaban besar yang merosot dan jatuh, sebab utamanya karena kecongkakan, bermegah-megahan dan bermewahan. Bahkan sebagian sejarawan dan pakar dunia Barat seperti Spengler dan Huntington sendiri mempercayai bahwa peradaban yang seperti itu sesungguhnya telah berada dalam kemerosotan dan kejatuhannya.

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassalam, yaitu: "Jika kalian telah sibuk dengan dirham dan dinar, berjual beli ‘inah (mengandung riba), mengikut ekor sapi (sibuk bertani), dan meninggalkan jihad, Allah akan memasukan kalian ke dalam kehinaan, Dia tak akan memperdulikan kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Sabda lain Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassalam, yaitu: “kalian dihinggapi penyakit Al-Wahn, yaitu kecintaan pada dunia dan takut mati (dalam memperjuangkan Islam)” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Nampaknya hadits ini membuat kita percaya bahwa teori perihal kemerosotan dan kejatuhan sebuah peradaban atau sebuah Negara (termasuk peradaban negara-negara Islam) dari Ibnu Khaldun adalah benar.

Semoga negara Indonesia dan seluruh negara muslim dunia lainnya, dapat secepatnya menjalankan  peradaban 'hadharah' Islam ini, karena harapan kembali kepada peradaban Islam yang gemilang akan selalu tumbuh di dalam dada setiap muslim. 

Kebangkitan peradaban Islam ini juga diyakini oleh Prof. Dr. Mohammad Moniruzzaman, yang juga sebagai seorang peneliti senior kehormatan di Pusat Penelitian Dunia Muslim (MWRC). Beliau mengatakan bahwa tercermin secara retrospektif, pergeseran ini membuat kita percaya bahwa siklus peradaban kembali ke awal 2.500 tahun yang lalu ke China, Timur. Jika siklus peradaban dua setengah milenium terakhir ini berulang, maka logis bahwa calon peradaban berikutnya adalah Islam atau dunia Muslim.

Wallahu’allam bisshowab.

Jakarta, 1 Juni 2021/ 20 Syawal 1442H

*) Penulis adalah Pemerhati Pendidikan/ Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIKA, Bogor.