Home Opini Politik Halal Di Partai Masyumi

Politik Halal Di Partai Masyumi

1,145
0
SHARE
Politik Halal Di Partai Masyumi

Oleh : SYAHRIR,
REFERENSI POLITIK KAUM PROLETAR 

The legend party, adalah Masyumi. Korelasinya, sebagai basis politik peradaban Islam, dan bersingkron pada suara demokrasi mayoritas umat Islam di Indonesia. Sinergisnya, terlihat pada Pemilu tahun 1955, Partai Masyumi, peraih kursi terbanyak di Parlemen. Resonansi suara dan kursi diparlemen tersebut tak bertahan lama, akibat tergerus oleh kekuatan politik pemerintah berkuasa, dan Partai Masyumi pun dihilangkan dari sistim pemilu nasional, berikut sejumlah basis pendukung bermigrasi. 

Rangkaian resiko berikutnya ketika Partai Masyumi dilepaskan dari pemilu, imbasnya, umat Islam di Indonesia berkategori, “Mayoritas tapi minor di suara parlemen.” Seperti disebutkan akademisi Belanda, Willem Frederik Wartheim, tentang umat Islam di Indonesia, “Majority with minority mentality” (mayoritas dengan mentalitas minoritas), atau tertindas secara politik dan terpinggirkan secara ekonomi. Konsennya, posisi umat Islam di panggung politik, pemilih terbesar tapi kalah dalam meraih suara terbanyak. 

Aktualnya, pemilu tahun 2024 lalu, sejumlah partai berbasis Islam, tidak lolos dalam penetapan hitungan nilai ambang batas kursi diparlemen. Fakta tersebut, berkategori rasional, umat Muslim di Indonesia cenderung memilih partai berideologi nasionalis. Antara lain, pengaruh lain mengemuka, Indonesia sebagai penduduk muslim termayoritas, akan tetapi dasar negaranya berbasis sosialis, dan berhaluan “kapitalis - komunis” atau dalam kurung, dasar negara, bukan Alquran dan hadits. Kategorinya, Umat Islam di Indonesia terisolasi, atau terlampau menjauh dari ungkapan ilmuan Islam Siauddin Sardar, “umat Islam harus melewati lokalitas ideologi, wilayah serta pertarungan paradigma. 

Tesis itu, melahirkan sejumlah tafsir, dan jika ditarik masuk keruang politik umat Islam di Indonesia, merekomendasi pemikiran untuk mendorong umat Islam mewujudkan kemajuan dan berkesejahteraan, dan terdepan dalam kepemimpinan politik. Lalu mengapa momen tersebut terhambat dan tidak tercapai, prediksinya, karena umat Islam di Indonesia, terpecah dan gagal bersatu, kecenderungan berikutnya, umat Islam terjebak di pemahaman konvensional, politik bukan bagian dari perintah agama, bahkan aktivitas politik dan juga profesi politisi bergumul dengan dosa, seperti politisi mudah berbohong, rekayasa, tak jujur, suliti dipercaya serta tidak amanah. Hampir seluruh respon politik berkategori percepatan jalan masuk neraka. 

Artikulasi simbolik, bagi umat Islam di Indonesia, super sulit menemukan tokoh atau pemimpin untuk di jadikan “Kiyai (dalam) Politik”. Asumsinya, melalui gerakan dan aktivitas politik, mereka dapat tegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Justru terjadi sebaliknya, sebelum terlebel sebagai politisi, syariat agamanya baik, bergelar ustad dan kiyai, akan tetapi di saat berpredikat politisi, hampir seluruh larangan agama di “halalkan”. Level tertingginya, “halal bisa jadi haram dan haram berubah jadi halal.” 

Sejumlah referensi tersebut, adalah kembali merasionalisasi keteladanan politik Islam seperti Imam Bonjol, Diponegoro, Cut Nyak Dien, Rohana Quddus. Mereka terbilang sukses berpolitik berbasis syariat agama Islam, pada momen perlawanan terhadap penjajah.

Interaksi gerakan perjuangan politik para tokoh tokoh Islam terdahulu, seperti tokoh Partai Masyumi, Moh. Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, direspon sebagai bagian dalam meluruskan persefsi, sehingga umat Islam di arena politik, tak menjauh dari koridor syariat agama dan juga para politisi Islam, tak banyak berisiko. 

Rangkaiannya, ketika seluruh sumberitas perlawanan untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan umat serta masyarakat dapat disuguhkan dalam arena poitik di Partai Politik, termasuk Partai Masyumi, maka tersimpulkan politik adalah tempat halal untuk berjuang meluruskan keadilan dan berkesejahteraan sesuai syariat Islam (*)

Dari Hutan Kaki Gunung, Di Timur Indonesia