Home Opini Pancasila dan Pajak Progresif

Pancasila dan Pajak Progresif

271
0
SHARE
Pancasila dan Pajak Progresif

Oleh : Yudhie Haryono
Presidium Forum Negarawan

APA - Yang harus dilakukan presiden terpilih Prabowo Subianto dan teamnya untuk mengatasi stabilnya tingkat kemiskinan, meningkatnya pengangguran dan melebarnya ketimpangan di Indonesia? Para ekonom pancasila menjawab tegas: hadirkan negara pancasila dan lakukan pajak super progresif.

Ini sesungguhnya amanat Pancasila (sila ke-5) serta UUD 1945 pasal 33. Negara Pancasila yang progresif memandang bahwa negara dan isi serta potensinya itu untuk semua warganya. Jadi, semuanya untuk membahagiakan warga negara.

Dus, negara pancasila yang progresif hadir untuk mengabdi, membela dan melindungi kepentingan semua warganya terutama yang cacat, bodoh, miskin dan terpinggirkan. Ini tesis serius. Tentu, bukan negara bimbang di mana SDA dan SDM untuk pribadi dan golongan saja, juga bukan warga negara untuk pasar.

Di negara pancasila yang progresif, pajaknya beroperasi dengan super progresif (super progresive tax rate structure). Artinya adalah tarif pungutan pajak dengan persentase yang makin naik secara signifikan dengan semakin besarnya jumlah kekayaan. Tentu saja, kenaikan persentase pajak untuk setiap jumlah harta yang dimiliki sebanding dengan prinsip pemerataan dalam arsitektur negara progresif yang mematrialisasikan pemerataan.

Rumusnya ditetapkan setelah harta pertama dengan pengkalian setengah harga dan seterusnya. Artinya, setiap warga negara yang memiliki harta kedua (rumah, mobil, tanah, pabrik, deposito dll) ia diwajibkan membayar pajak separo dari harganya. Jika punya yang ketiga, ia wajib bayar pajak seharga barang tersebut. Jika yang keempat, ia wajib bayar pajak satu setengah harga barang tersebut dst.

Kita sadar bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi tak maksimal. Mestinya 11%. Tetapi yang terjadi hanya 5.01%. Itupun hanya dinikmati oleh segelintir orang. Jumlah penduduk miskin juga stabil, 28.77 (11.64%) juta orang per Maret 2024. Mestinya tinggal 7 juta saja. Gini rasio juga stabil, 0.393. Mestinya sudah 0.203. Angka-angka ini menunjukkan bahwa kinerja team ekonomi makro-mikro yang lama kurang maksimal. Mereka kurang dentuman. Tanpa ide dan gagasan yang super progresif.

Pemerintah sesungguhnya relatif serius memecahkan problem kemiskinan ini. Misalnya dengan program strategis nasional yang berisi kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan industri (KI), serta kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN).

Semuanya adalah program penciptaan kawasan dengan batas tertentu yang tercangkup dalam daerah atau wilayah untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Tentu ini program sangat besar dan serius.

KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional.

Pada dasarnya KEK dibentuk untuk membuat lingkungan kondusif bagi akitivitas investasi, ekspor, dan perdagangan guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi serta sebagai katalis reformasi ekonomi.

Problemnya, ketiga program itu dimiliki swasta dan konglomerasi yang mendapat kemudahan dan tax amnesty. Akibatnya, warga negara teralienasi; negara tak dapat pajak berarti.

Sebagai pilot projek, kita bisa buat aktifitas pajak super progresif ini via kepemilikan di atas 500 miliyar dengan pajak 10%. Artinya, siapapun (perorangan, badan, lembaga, perusahaan) harus bayar ke negara sebesar 10% dari nilai tabungan yang dimilikinya di bank.

Tanpa kesadaran praktik negara progresif; di mana mengharuskan hadirnya presiden jenius; kesadaran penguasaan SDA dan SDM plus industrinya; penguasaan iptek; perealisasian pajak super progresif (empat hal terpenting dalam berbangsa dan bernegara) maka sesungguhnya kita sedang bunuh diri masal dengan cara mengkhianati konstitusi sambil menternak kemiskinan akut, pengangguran sekolah dan ketimpangan seluruh sektor. Semoga tidak. (*)