Oleh : Yudhie Haryono
Presidium Forum Negarawan
TAK - Ada negara miskin. Yang ada hanya pemerintahan yang memiskinkan rakyatnya. Inilah pameo terbesar yang bisa kita baca dalam kurikulum ilmu politik. Terlebih Indonesia yang sangat kaya sumber daya energi. Baik energi purba, maupun terbarukan: keduanya melimpah ruah.
Tetapi, mengapa rakyat Indonesia belum mendapati energi murah? Mengapa energi kita yang melimpah itu tak membuat rakyatnya makmur dan berdaulat? Mengapa epitema energi kita justru paradok? Mengapa kita belum mandiri dan berdaulat?
Pertama, tentu saja karena kita tak punya big data. Adanya peta data purba yang tak mengalami modernisasi. Kedua, peta jalan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan energi tak diperbaharui. Padahal, ketahanan energi adalah terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri.
Selanjutnya, kemandirian energi adalah kemampuan negara memastikan harga murah dan terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Sedangkan kedaulatan energi adalah hak seluruh rakyat, bangsa dan negara untuk menetapkan kebijakan energi yang adil dan beradab tanpa campur tangan negara lain maupun jaringan bisnis global yang rakus dan dominan.
Ketiga, birokrasi bisnis Indonesia lebih banyak mentradidikan kebijakan ekonomi ekstraktif (pemerasan dan anti lingkungan) yang membuat rakyatnya makin miskin, bodoh, timpang dan ilutif. Keempat, lingkaran oligarki rakus yang sangat kuat serta menguasai struktur politik. Kelima, pemerintahan yang lemah pada kaum kaya dan sebaliknya, kejam pada kaum miskin.
Keenam, banjirnya agensi neoliberal di semua struktur negara. Mereka itu para sarjana produk luar dan dalam yang disemai untuk memastikan neokolonial tidak berhenti di mana saja. So, Indonesia harus terus ikut dan beriman pada skema global. Saat bersamaan, mereka memastikan selalu menguasai Indonesia tanpa perang bersenjata, melainkan dengan utang dan krisis yang dibuat berulang.
Tentu, mereka kumpulan manusia "kimunajat" (khianat, munafik, bejat) untuk menyempurnakan kehancuran republik pancasila. Mereka menyebar di sembilan lembaga: Partai, Ormas, Kampus, TNI-POLRI, BI/Perbangkan, Bapenas, Kadin, OJK dan Kemenkeu. Agenda pinggirannnya: menghabisi kelas menengah, memperbanyak pemimpin boneka dan mendesain negara swasta.
Melihat berbagai problem di atas, kita harus merekapitalisasi 8 energi yang ada: energi kinetik; energi potensial; energi panas, energi kimia; energi nuklir; energi listrik; energi mekanik dan energi cahaya. Selanjutnya melakukan reindustrialisasi secara serius, fokus, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Tetapi, proses rekapitalisasi dan reindustrialisasi energi ini harus berbasis pada Pancasila karena nilai-nilai Pancasila memiliki makna sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, sumber nilai, dan pedoman hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Terlebih, pancasila juga pandangan hidup, dasar negara dan ajaran yang dipengaruhi oleh kondisi bangsa, alam, potensi, dan cita-cita masyarakat.
Dus, dua proses itu harus berkeadilan sosial, melukiskan hidup berkonsensus, menciptakan persatuan, menghadirkan kemanusiaan abadi, serta berketuhanan yang menyemesta (lestari alam raya).
Singkatnya, kedaulatan energi itu penting bagi kedaulatan negara sepanjang adil bagi semua, seimbang, setara di semua aspek kehidupan. Kita semua harus bersikap adil antarsesama tanpa memandang ras, agama, jabatan, fisik, dan hal lain yang membedakan. Sebab, pada dasarnya manusia yang menghargai dan dihargai baru bisa memahami arti kata adil.
Kedaulatan energi juga harus beradab karena memiliki etika, sopan santun, akhlak serta moral yang baik. Kita hidup berdampingan sehingga harus menerapkan budi pekerti sebagai adab yang utama. Jika setiap kita menerapkan adab yang simultan, akan tercipta lingkungan yang harmonis, peradaban atlantis, negeri pancasilais dan bumi sorgawi.(*)
LEAVE A REPLY