Home Opini Pajak Ala Pemerintah: Gak Bantu, Malah Nambah Beban? Katanya Baik, Nyatanya Ngeselin.

Pajak Ala Pemerintah: Gak Bantu, Malah Nambah Beban? Katanya Baik, Nyatanya Ngeselin.

277
0
SHARE
Pajak Ala Pemerintah: Gak Bantu, Malah Nambah Beban? Katanya Baik, Nyatanya Ngeselin.

Oleh : Fadia Nur Baiti
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta


RENCANA - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% telah ditetapkan dan akan berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan pendapatan negara sebanyak 6,4%. Kenaikan PPN ini mengundang perhatian masyarakat karena dinilai berdampak pada daya beli, kondisi ekonomi, dan secara langsung membebani masyarakat. PPN sendiri merupakan salah satu jenis pajak yang dibayarkan dalam transaksi barang dan jasa, terkhusus pada barang mewah atau objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Apakah kenyatannya barang mewah saja yang mengalami dampak kenaikan pajak? Bagaimana pengaruh kenaikan pajak terhadap kondisi masyarakat? Lalu, solusi apa yang harus diterapkan dalam meningkatkan ekonomi negara? 

Barang mewah yang dikenakan pajak, meliputi kelompok hunian mewah, kelompok pesawat udara, kelompok senjata api, dan kelompok kapal pesiar mewah. Realisasi kenaikan PPN ini akan berdampak pada barang konsumsi lainnya, termasuk kebutuhan pokok yang telah mengalami inflasi. Kenaikan ini menyebabkan daya beli masyarakat menurun dan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah adalah yang paling rentan terhadap kenaikan ini yang dapat memperburuk kesenjangan ekonomi.

Sering kali, anggaran pajak yang ditarik dari masyarakat hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, selaku pejabat. Anggaran yang digunakan pun tidak transparan dan pengeluaran yang digunakan terkesan seperti pemborosan serta tidak berpihak. Dana APBN sendiri pada tahun 2025 akan digunakan untuk pembayaran hutang sebesar 45%, dimana masih banyak fasilitas dan pelayanan umum yang belum memadai, terutama untuk masyarakat kecil. Fasilitas mewah hanya diberikan kepada para pejabat, mulai dari mobil mewah, rumah dinas, dan anggaran lainnya dengan jumlah yang fantastis yang hanya bisa dinikmati oleh keluarga inti pejabat saja.

Dalam sistem ekonomi islam, sumber kekayaan alam ditetapkan sebagai kepemilikan umum yang dikelola oleh negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat sesuai syariat. Pengelolaan sumber daya alam ini merupakan salah satu sumber pendapatan negara dengan jumlah yang sangat besar. Pajak sendiri merupakan alternatif terakhir pemasukan negara yang dipungut dikarenakan kas negara kosong.

Pajak atau dharibah dalam ekonomi islam didefinisikan sebagai harta yang diwajibkan oleh Allah untuk menunaikan belanja kebutuhan kaum muslim ketika tidak ada harta di Baitul Maal. Belanja tersebut digunakan untuk jihad fi sabilillah, industri militer dan industri yang mendukung jihad fi sabilillah, santunan fakir, miskin, dan ibnu sabil, untuk gaji tentara, guru, hakim, pegawai negara, dan orang-orang yang memberikan pelayanan kepada kaum muslim, kebutuhan pelayanan umum seperti infrastruktur jalan, sekolah, rumah sakit, serta penanganan bencana alam. Pajak hanya dipungut ketika sumber-sumber penerimaan negara, seperti zakat, kharaj, jizyah, dan pendapatan harta milik umum tidak mencukupi untuk kebutuhan kaum muslim. Pajak dipungut dari laki-laki muslim yang mampu (setelah memenuhi kebutuhan pokok dan sekundernya). Jumlah pajak yang ditarik dalam islam hanya dibatasi berdasarkan jumlah yang dibutuhkan untuk membiayai belanja yang wajib ditanggung oleh kaum muslim.


Kenaikan pajak harus dipandang sebagai upaya terakhir untuk menjaga stabilitas negara. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap harta yang dikumpulkan dari rakyat benar-benar digunakan untuk kemaslahatan umum, termasuk pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan kualitas layanan publik, sehingga mencerminkan keadilan sosial yang diperintahkan oleh syariat. Umat dan negara ini harus kembali pada syari’at Islam dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam mengelola perekonomian.