Home Opini Netizen Menuju Sosial Media Demokrasi dan Semangat Sekali di Udara Tetap di Udara

Netizen Menuju Sosial Media Demokrasi dan Semangat Sekali di Udara Tetap di Udara

822
0
SHARE
Netizen Menuju Sosial Media Demokrasi dan Semangat Sekali di Udara Tetap di Udara

Oleh: Agusto Sulistio
Pendiri The Activist Cyber.

SEKEJAP - Pikiran kita teringat pada Radio Republik Indonesia (RRI) ketika membaca atau mendengar istilah "Sekali di Udara Tetap di Udara". Bagi Anda yang lahir di era 1990an keatas tentu tak asing dengan slogan itu.

Dibalik slogan itu terdapat peristiwa dari suatu perjalanan yang panjang ketika revolusi kemerdekaan Indonesia 1948 berkecamuk. Ancaman agresi militer Belanda untuk mempertahankan kolonialnya saat itu telah memaksa studio RRI Solo dibawah pimpinan R. Maladi pindah ke  Karanganyar. 

Radio saat itu merupakan media satu-satunya yang kita miliki untuk menerapkan demokrasi, menyampaikan semangat ide, gagasan, meraih kemerdekaan. Peristiwa pembungkaman kebebasan berpendapat oleh Belanda kala itu tak menjadi alasan bangsa ini berdiam diri dan menyambut kembali kedalam belenggu penjajahan. Dengan semangat "Sekali Merdeka Tetap Merdeka" dan "Sekali di Udara Tetap di Udara" serta tumpah darah dan nyawa para tokoh dan relawan pemuda-pemudi demokrasi, mampu berhasil mempertahankan dan keluar dari upaya kembali ke alam penindasan.

Slogan ini tidak hanya menjadi semangat bagi para penyiar dan kru RRI Solo, tetapi juga mencerminkan tekad dan keberanian dalam mempertahankan hak atas kebebasan berbicara melalui media. Saat itu, radio menjadi salah satu alat vital untuk menyuarakan semangat perjuangan dan menyatukan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.

Dunia sudah berubah, kemajuan teknologi informasi tak bisa dihindari. Seiring berjalannya waktu, slogan ini tidak hanya menggema di udara radio seperti awal kemerdekaan Indonesia, tetapi juga merambah ke media sosial dan saluran umum lainnya. Kehadirannya yang menginspirasi terus membara, menjadi simbol keberlanjutan semangat perjuangan dan kemerdekaan. Semestinya di era kemajuan informatika Tekhnologi dewasa ini slogan ini harus menjadi inspirasi penyemangat yang harus dihidupkan ditengah situasi politik nasional yang tidak menentu ini.

Dengan demikian, slogan "Sekali Di Udara Tetap di Udara" bukan hanya sekadar rangkaian kata-kata, melainkan warisan berharga dari masa revolusi kemerdekaan yang terus dijunjung tinggi sebagai bagian integral dari perjalanan panjang demokrasi Indonesia.

Ditengah derasnya informasi berbasis internet semesti netizen merawat slogan ini  sebagai isyarat verbal bahwa fungsi media sosial saat ini harus dijadikan bagian dari proses ’revolusi sosial media’ seperti halnya media Radio diawal revolusi kemerdekaan mendorong mundur penjajah keluar perbatasan RI.

Meski  sosial politik dan sistem media telah berubah, namun slogan "Sekali Di Udara Tetap di Udara" harus terus dijaga, netizen sosial media harus memiliki  komitmen untuk menjadi bagian integral dari evolusi media pasca kemerdekaan yang disebut sebagai 'revolusi udara slogan ini tetap relevan dan penuh makna.

Slogan ini menjadi sumber inspirasi, karena mampu bertahan dan melewati berbagai periode politik dan evolusi sistem media di Indonesia. Para netizen diberbagai saluran media sosial harus melihat fakta sejarah bahwa saluran informasi masa lalu kita yakni media Radio tidak hanya menjadi saksi sejarah perubahan dalam negeri, tetapi juga menjadi kendali utama dalam menyebarkan informasi, mendukung keberagaman budaya, dan menjaga semangat persatuan dalam masyarakat. Sehingga, slogan tersebut tidak hanya menjadi semboyan, tetapi juga representasi dari kontribusi berkelanjutan media publik dalam perkembangan media dalam mempertahankan dan menumbuhkembangkan kehidupan demokrasi Indonesia. 

Media Aspirasi Publik Harus Dipertahankan

Memasuki era modern dengan segala kecanggihan informatika, kini media informasi menjadi sarana kebebasan berpendapat publik. Khususnya menjelang pemilihan presiden 2024, media sosial dan berbagai saluran informasi lainnya harus tetap menjadi sumber kritik dan otokritik rakyat terhadap berbagai kebijakan dan layanan pemerintah. Slogan 'Sekali di Udara Tetap di Udara' harus tetap menjadi semangat seluruh elemen bangsa untuk mewujudkan bangsa negara sesuai konstitusi negara tanpa menghambat proses demokrasi dan Hak Asasi Manusia yang berdasarkan Pancasila.

Lembaga Negara yang terkait penyiaran dan media aspirasi publik jangan lagi mengembalikan sarana informasi ke periode ketiga tentang kebijakan penyiaran Indonesia (1945-1970) yang dalam perkembangannya menjelma kedalam UU ITEE. Penulis menilai corak dasar aturannya kembali kemasa lalu yang monopolistik, di mana otoritas politik Indonesia hanya memiliki satu jenis media, yaitu radio pemerintah, radio siaran di luar pemerintah dianggap illegal. Fakta yang terjadi bahwa media informasi telah berkembang pesat dengan segala kemudahan dan kecanggihannya, publik dapat memilih untuk mengakses ke berbagai jaringan informasi publik.

Model monopolistik ini jamak terjadi di negara lain termasuk di Inggris di mana sejak berdiri tahun 1927 hingga 1970-an, BBC menjadi pemain tunggal. Perbedaannya, BBC sejak awal menjadi media publik berbasis kebudayaan publik, sedang RRI saat itu lahir dengan semangat menjadi radio politik, mendukung pemerintah pasca kemerdekaan, bukan kebudayaan.

Oleh karenanya Pemerintah dalam perkembangan informasi digital harus tetap mengedepankan publik dalam hal ini memberikan ruang berbagai saluran informasi media sosial sebagai kontrol / check and balance sebagai bentuk komitmen penegakan demokrasi, kepastian hukum (rule of law), penguatan civil society, independensi jurnalistik dan aparatur negara yang profesional menuju cita-cita mulia bersama terwujudnya Pemerintah yang bersih dari KKN dan Masyarakat Adil dan Makmur.

Orientasi penyiaran yang bersifat politis ini mengalami perubahan sebagai koreksi di periode tahun 1970-1995-an. Keluarnya PP No. 55/1970 yang mengakui radio swasta mengakhiri era dominasi tunggal pemerintah dalam dunia penyiaran. Regulasi ini mempromosikan media informasi yang saat itu satu radio sebagai institusi budaya, berbasis kreatifitas masyarakat dengan tujuan sosial-komersial. Sayangnya, hasrat pemerintah mengkooptasi dunia penyiaran masih kuat sehingga periode 1970-1985 bisa dianggap sebagai sejarah paling buruk bagi dunia media informasi Indonesia yang seharusnya melayani warga negara.

Periode ketiga (1995-2020) adalah periode paling dinamis yang ditandai oleh lahirnya UU Penyiaran No. 32/2002 mengkoreksi kebijakan dualisme: radio pemerintah dan radio swasta menjadi kebijakan pluralistik terbatas. Pemerintah pada tahun 2000 memposisikan  media informasi milik negara selaras dengan semangat demokratisasi media. Namun hingga tahun 2020 nampak kegalauan pemerintah untuk menjaga aliansi mesra dengan otoritas politik, bukan beraliansi dengan publik yang lebih progresif.

Semangat untuk menjaga aliansi yang erat dengan otoritas politik mungkin terlihat lebih dominan dibandingkan dengan komitmen untuk bersekutu dengan publik. Hal ini terjadi diberbagai lembaga negara lainnya, khususnya jelang pemilihan presiden 2024, KPU dan Bawaslu sebagai garda terdepan penentu pemimpin dan sekaligus arah masa depan bangsa negara.

Para pemangku kebijakan nampaknya masih merasa bimbang di antara merawat warisan sejarah dan menciptakan arah baru untuk masa depan. Pertanyaan mendasar mengenai identitas dan peran media informasi publik dalam konteks penyiaran pluralistik menciptakan dilema yang perlu dihadapi oleh para pemangku kepentingan.

Pemahaman akan makna sejarah ini memberikan gambaran tentang dinamika internal pemerintahan Jokowi dan perubahan dalam lingkungan media yang terus berkembang. Dalam konteks ini, mencapai keseimbangan antara memelihara nilai-nilai tradisional dan berinovasi menuju masa depan menjadi tantangan kritis bagi pemerintah Jokowi yang tercermin pada lembaga penyiaran pemerintah. 

Kesimpulan

Merujuk pada beberapa peringatan MALARI dan HUT Indonesia Democracy Monitor (InDemo) tahun 2020-2022, penulis menyimpulkan apa yang disampaikan dr. Hariman Siregar didepan para aktivis lintas generasi dan idiologi yang menyoroti perjalanan demokrasi Indonesia, salah satunya demokrasi ditengah derasnya informasi dunia berbasis internet tidak semakin memberi ruang publik dalam konteks pelaksanaan demokrasi.

Dalam 15 tahun terakhir, karakteristik budaya jurnalisme khususnya lembaga informasi negara mencerminkan apa yang dijelaskan oleh Robert McChesney (1999) sebagai "rich media poor democracy" – jumlah media yang melimpah, informasi yang tersebar luas, tetapi minim kualitas yang dapat menjaga kesehatan demokrasi.

Lembaga informasi negara melewatkan peluang untuk menjadi bagian utama sebagai pemberi saluran informasi yang tajam dan berkualitas. Slogan "Sekali Di Udara Tetap di Udara" semakin kehilangan makna dan semangat perubahan, menunjukkan kemandegan dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. 

Komitmen pemerintah beradaptasi dengan keinginan dan kebutuhan informasi publik menjadi penting karena hanya dengan memperoleh loyalitas tulus dari rakyat maka pemerintah dalam hal penyiaran dapat tetap relevan dan berkontribusi secara signifikan dalam mengawal kualitas demokrasi. Dengan demikian, pemahaman makna sejarah ini menyoroti tantangan yang dihadapi lembaga informatika negara dalam menemukan keseimbangan antara mempertahankan nilai-nilai tradisional dan berinovasi untuk memenuhi harapan publik di era demokrasi media yang terus berkembang.

Masjid Arief Rahman Hakim Universitas Indonesia, 24 Desember 2023, 13:09 Wib.