
JAKARTA,
Parahyangan-Post.com – Menyelesaikan persoalan transportasi di Jakarta
tidak bisa secara parsial, tetapi harus terintegrasi dan menyeluruh. Hal ini
dikemukakan oleh Pieter Abdullah, peniliti dan ekonom dari Bank Indonesia (BI),
pada acara diskusi yang digagas JakPas dan Barisan Nusantara di bilangan
Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (28/07). Selain Piter Abdullah, pembicara
lainya Ahmad Izzul Waro, Sekjen Institut Studi Transportasi.
Lebih lanjut menurut Pieter Abdullah, bahwa biaya
transportasi untuk warga kota-kota besar seperti Jakarta, merupakan point pengeluaran yang cukup besar
dalam kebutuhan hidup warga. Hal yang sangat mendesak dan perlu diperhatikan
menurut Pieter perlunya integrasi dari angkutan publik seperti Comuter Line dan
Trans Jakarta, sehingga pemakai angkutan publik bisa sampai ketempat tujuan,
tanpa mengeluarkan biaya tambahan lagi hanya dengn satu kartu yang dimilikinya.
Pieter Abdullah mengilustrasikan, bahwa dirinya tinggal di
bilangan Pasar Minggu,menggunakan transportasi Comuter Line, menuju tempat
kerjanya Bank Indonesia (BI), dibilangan Thamrin, Jakarta Pusat, turun di Stasiun
Gondangdia. Untuk sampai tempat kerjanya, dirinya harus menggunakan jasa ojek,
dimana biaya ojeknya justru lebih mahal dari biaya Comuter Line. Seharusnya
lanjut Pieter, kalau dari Stasiun Gondangdia ada angkutan khusus yang
terintegrasi dengan Comuter Line, dan cukup dengan satu kartu yang dipakai
untuk Comuter Line, maka dirinya tidak perlu mengeluarkan biaya lagi, bisa
lebih ekonomis.
Dalam pandangan Pieter Abdullah, yang lebih banyak menyoroti
dari sisi ekonomi terkait transportasi di Jakarta dalam diskusi ini, sebenarnya
banyak hal yang bisa digali, sebagai pemasukan bagi pemerintah daerah, bukan
semata-mata mengandalkan dari pemasukan pajak kendaraan seperti yang ada selama
ini, yang justru menimbulkan persoalan karena efeknya terus bertambahnya jumlah
kendaraan yang berakibat pada kemacetan di Jakarta.
Sementara itu, Sekjen Institut Studi Transportasi, Ahmad
Izzul Waro bahwa salah satu penyebab kemacetan adalah kebijakan pemerintah
selama ini yang lebih mengandalkan pajak kendaraan bermotor sebagai salah satu
pemasukan ke kas daerah.
Seharusnya lanjut Izzul Waro, pajak kendaraan bermotor tidak
boleh dijadikan andalan, sudah saatnya hentikan rezim kendaraan pribadi, perlu
adanya rekonstruksi pajak daerah agar Jakarta berubah dari car oriented city menjadi people
oriented city.
“Jalan adalah barang publik, sehingga publik transportasi
harus diperioritaskan dibanding privat publik,” jelas Izzul Waro.
Senada dengan Pieter
Abdullah, Izzul Waro juga menyoroti perlunya integrasi yang menyeluruh bagi
transporatsi publik, kondisi ideal menurutnya selain angkutan publik seperti
MRT, untuk Jakarta tidak ada salahnya untuk kereta api perkotaan, disamping itu
berkaca dari negara lain, bahwa stasiun kereta api yang ada harusnya bisa
diberdayakan secara maksimal, untuk property.
Izzul Waro berharap, perlu adanya edukasi bagi warga
masyarakat yang lebih intensif agar kesadaran untuk menggunakan transportasi
publik, dengan demikian maka kemacetan di Jakarta bisa diminimalisir, tentunya
dengan penyediaan insfrastruktur dan penyediaan transportasi publik yang
nyaman, aman dan memadai.
(ratman/pp)
LEAVE A REPLY