Home Opini Kesenjangan di antara Kita

Kesenjangan di antara Kita

176
0
SHARE
Kesenjangan di antara Kita

Keterangan Gambar : Gambar ilustrasi pedagang kelonting (sumber : ist/pp)

Oleh. Dyandra Verren

Suatu hari aku bertanya pada temanku 
apa pekerjaan bapakmu?” 

Jawabannya, 
bapakku pedagang. Ia pemilik warung kelontong, ya mungkin itu lah yang membuatku jadi pengusaha umkm juga, buah jatuh ngga jauh dari pohonnya lah. Soalnya jaman sekarang cari-cari kerjaan sana-sini ngga dapet-dapet” 

Jawabannya terdengar skeptis. Tetapi yang ingin aku tekankan disini dari jawabannya ada 2 hal. Pertama, bagaimana orang tua mempengaruhi anak. Kedua, bagaimana job market ternyata tidak bisa menampung kebutuhan kerja bagi anak muda. Mendengar jawabannya membuatku kembali mengingat-ingat berita yang kubaca beberapa minggu terakhir. Headline berita penuh dengan kata kunci ‘PHK’, ‘Jadi Pengusaha’, ‘Bukan Keluarga Kaya’. Apakah Indonesia ada dimasa krisis ekonomi? 

Kembali lagi pada penyataan pertamaku tentang pengaruh orang tua. Sepengetahuanku, anak bagaikan kanvas putih lalu pelukisnya adalah orang tua. Jadi, hal apapun yang terjadi dalam hidup anak, mulai dari cara interaksi, pemikirannya, perkataannya, kurang lebih orang tua sangat bertanggung jawab di dalamnya. Sampai kapan anak terinfluence oleh orang tua? 

Banyak pakar parenting mengatakan seumur hidupnya. Anak adalah wujud salinan orang tua. Ku pikir itu benar, misalnya aku sendiri yang diajarkan orang tuaku untuk mengenyam pendidikan setinggi yang ku bisa, karena menurut mereka pendidikan adalah jalan mengubah kehidupan. Namun, tiap orang tua tentu saja berbeda. Ada orang tua yang bahkan tidak menganggap pendidikan itu penting. Ada juga orang tua yang bersusah payah agar anaknya mengenyam pendidikan. Ada yang tak perlu bersusah payah mengenyam pendidikan dan hal-hal yang ia inginkan bisa tetap tercapai. Lalu, aku yang mana? 

Aku tentu saja masuk pada bagian yang cukup bersusah payah. Aku berusaha mendapatkan beasiswa karena orang tuaku bukanlah dua orang yang sangat kaya untuk menjangkau hingga level magister di Kampus Swasta terkenal Indonesia. Dan berapa banyak lagi orang yang kemampuan orang tuanya jauh di bawahku? Sangat amat banyak. 4,47% penduduk Indonesia adalah Sarjana sedangkan magister hanya mencapai 0,45% penduduk. Sungguh miris bukan? Kita tertinggal jauh dengan negara-negara Asia lain seperti Korsel, Jepang, Cina bahkan negara Asean seperti  Singapura, Malaysia, Thailand. Melihat rasio yang seperti ini aku sendiri jadi sedikit pesimis apakah Indonesia akan benar-benar emas di 2045. Boleh aku khawatir atas data ini kan? 

Ah ya, aku lupa mengatakan kalau orang-orang yang tak perlu bersusah payah juga cukup banyak di Indonesia ini. Biasanya sih anak-anak pejabat, pengusaha kaya raya, mereka lah kaum minoritas yang serba berpengaruh di negeri ini. 

Bahkan karena pengaruh pendidikan yang bisa mereka dapatkan dimanapun, pengaruh mereka ke tahap karir juga berlanjut. Biasanya setelah menuntaskan perkuliahan mereka di luar negeri, mereka akan dengan mudahnya kembali ke Indonesia untuk melanjutkan usaha orang tuanya. Ini mulai menerangkan concern kedua ku. 

Usaha itu bisa apa saja, mulai dari toko bangunan, rumah makan, toko swalayan, perusahaan start up, perusahaan tekstil, perusahaan batu bara, yang terbaru di era reformasi usaha berlanjut juga menjadi anggota dewan, pemimpin partai bahkan bagian dari top level pemimpin negara. 

Wah menurutku orang tuanya patut diacungi jempol sih, karena mereka bisa memengaruhi anaknya menjadi insan-insan yang bercita-cita tinggi. 

Kalau aku melihat lagi sekitarku, bagaimana nasib orang-orang yang tak berdaya makin tak berdaya, yang berpendidikan tetapi susah mencari pekerjaan, rasanya hatiku meringis. Bisa kita saksikan dengan mata telanjang betapa panjangnya antrian jobfair. Bisa kita saksikan juga betapa banyak anak yang terluntang lantung tidak jelas karena tidak pergi bersekolah. Bukan hanya Indonesia bagian pusat tetapi hingga level daerah seperti itu. 

Sistem negara ini membuat kesenjangan begitu terasa. Kesenjangan pada yang bisa mengafford pendidikan dan punya koneksi ditempat-tempat kerja yang strategis. Jika kita tidak punya keduanya? Selamat, kita akan menjadi masyarakat terbawah yang akan terlupakan oleh siapapun. 

Kita bisa melihat senyuman lebar seseorang yang turun dari jet pribadi tumpangan temannya. Kita bisa melihat senyuman lebar seseorang yang mendapatkan beasiswa di Universitas luar negeri sekalipun Ia anak orang kaya. Kita bisa melihat senyuman lebar seseorang yang jabatannya bukanlah dilevel pimpinan tapi menjadi pimpinan kita. 

Sementara bagaimana nasib kita? Hanya bisa menjadi penonton atas kesenangan-kesenangan itu. 

Tidak berlakunya hukum-hukum Allah dalam kehidupan bermasyarakat membuat tatanan kehidupan saat ini terasa lebih berat dari seharusnya. Penghasilan yang layak, Pekerjaan yang baik dan akses pendidikan yang jelas adalah hal yang harusnya mampu dijamin negara untuk masyarakatnya bukan? 

Aku teringat pesan Rasulullah, ke depannya alih-alih melindungi dan mengayomi masyarakat, bahkan Penguasa-penguasa yang  diangkat akan berkhianat terhadap masyarakat dan negerinya. Menjual dan menggadaikan negerinya demi keuntungan dan kepentingan diri pribadi dan atau kelompoknya saja. Aku rasa itu mirip seperti yang terjadi hari ini. 

Masyarakat yang skeptis, dan tidak punya pilihan bahkan diharuskan terbiasa dengan praktek nepotisme adalah ciri kehidupan di suatu sistem yang gagal. Aku hanya bisa berharap semoga segera datang saatnya sistem yang benarlah yang memimpin.(*)