Home Opini Kehidupan Sekularistik Mewarnai Kepribadian Anak, sehingga Memiliki Pemikiran dan Perilaku Buruk

Kehidupan Sekularistik Mewarnai Kepribadian Anak, sehingga Memiliki Pemikiran dan Perilaku Buruk

497
0
SHARE
Kehidupan Sekularistik Mewarnai Kepribadian Anak, sehingga Memiliki Pemikiran dan Perilaku Buruk

Oleh: Ismi Balza Azizatul Hasanah
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

SEJAK - Disahkan undang-undang mengenai kesejahteraan anak, pemerintah terus berupaya meningkatkan kesejahteraan anak. Salah satunya dengan mendorong kepedulian semua pihak melalui penyelenggaraan Peringatan Hari Anak Nasional (HAN). Sebagaimana yang dilansir Kompas.com (18/07/2024), pada 23 Juli 2024 silam diperingati HAN dengan tema Hari Anak Nasional 2024 sama dengan tema tahun sebelumya, yakni “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. 

Meskipun telah ada peringatan hari anak seperti ini, namun problem pada anak yang terjadi pun semakin kompleks. Banyak anak-anak di negeri kita yang belum terpenuhi keutuhan hidupnya, dari kebutuhan pangan yang bergizi hingga kepada pendidikan yang berkualitas. Di sisi lain dikutip dari sehatnegeriku.kemkes.go.id, berdasarkan data kementerian kesehatan, angka stunting di Indonesia pada 2023 tercatat sebesar 21,5%, hanya turun 0,1% dari tahun sebelumnya yang sebesar 21,6%. Yang mengejutkan lagi, jumlah siswa putus sekolah yang mengalami kenaikan pada tahun ajaran 2022/2023 mencapai 76.834 orang, itu merupakan jumlah dari tingkat SD, SMP, hingga SMA dan SMK. 

Lingkungan yang melingkupi anak saat ini jauh dari jaminan perlindungan dan keamanan, sehingga kasus kekerasan pada anak terus kita jumpai di masyarakat. Dikutip dari databoks.katadata.co.id, jumlah kasus kekerasan terhadap anak mencapai 24.158 kasus di 2023, dan kasus paling banyak yaitu kasus kekerasan seksual yaitu mencapai 10.932 kasus. Mirisnya kasus pelaku kekerasan terhadap anak justru datang dari orang terdekat, seperti paman hingga ayah sendiri. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung kita, kini jstru menjadi tempat yang menakutkan. 

Situasi kehidupan sekularisktik mewarnai kepribadian anak sehingga mereka memiliki pemikiran dan perilaku yang buruk. Anak menjadi pelaku bullying dan kekerasan, anak terlibat narkoba, miras, pergaulan bebas hingga judi online. Dilansir dari nasional.tempo.co, pemerintah mencatat jumlah pemain judi online sebanyak 80 ribu adalah usia di bawah 10 tahun, dan 440 ribu dari usia 10-20 tahun. 

Sebenarnya pemerintah telah membuat dan menjalankan berbagai program priorotas untuk menyelesaikan persoalan anak. Di antaranya adalah peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan atau pengasuhan anak, menyediakan layanan nagi anak yang memerlukan perlindungan khusus, merintis Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), hingga negara ramah anak. Semakin jauhnya anak dari kesejahteraan, keamanan, dan pribadi bertakwa membuktikan bahwa upaya-upaya tersebut tidak membutuhkan hasil. Harus diakui, upaya pemerintah sama sekali tidak menyentuh akar persoalan, tidak heran jika peringatan hari anak hanya bersifat seremonial yang digelar setiap tahun namun tidak ada perubahan bermakna. 

Salah satu poin utama ketika keburukan menimpa pada anak, maka itu adalah hasil penerapan sistem sekularisme yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan. Sistem sekularisme mengagungkan kebebasan yang membentuk tingkah laku masyarakat buruk, cenderung didorong oleh hawa nafsu dan jauh dari ketakwaan. Hal inilah yang memicu munculnya manusia-manusia bejat yang tega melakukan kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun seksual. Sedangkan sekularisme telah mejadi asas kurikulum pendidikan. Tak heran generasi yang terbentuk menjadi generasi liberal. Sekularisme-Liberalisme menjauhkan keluarga dari peran dan fungsi utamanya dalam membina anak dan menjalankan fungsinya sebagai tempat aman bagi anak. 

Hari ini banyak ibu yang mengabaikan perannya sebagai pengasuh dan pendidikan anak karena sibuk bekerja. tidak terpenuhinya berbagai kebutuhan anak baik kebutuhan pokok, pendidikan, maupun kesehatan akibat dari abainya negara menjalankan perannya sebagai pengurus umat. Sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini menjadikan negara gagal menyejahterakan rakyatnya, termasuk menyediakan layanan kesehatan dan Pendidikan gratis dan berkualitas. Peran keluarga dalam mendidik anak semakin lemah. Sementara sistem pendidikan di hari ini justru membentuk generasi sekuler dan sistem ekonomi gagal membuat sejahtera. Inilah buah dari penerapan Sistem Sekulersme Kapitalisme di negeri ini. 

Berbeda dengan penerapan sistem Islam dalam kehidupan. Islam menganggap penting bahwa anak sebagai generasi penerus peradapan. Islam mewajibkan negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan anak dalam berbagai aspek. Negara Islam atau khilafah akan mewujudkan fungsi dan peran keluarga yang optimal dalam mendidik anak. Orang tua wajib mendidik anak-anaknya dengan pendidikan agama Islam, tujuannya supaya anak bisa mnejadi generasi yang shalih atau memiliki kepribadian Islam, sehingga tingkah lakunya tidak didasari oleh pemikiran sekuler tetapi akidah Islam. Hal ini didukung oleh penerapan sistem pendidikan Islam yang bertujuan membentuk generasi berkepribadian Islam. 

Pendidikan Islam akan menjauhkan peserta didik dari pemikiran rusak dan merusak, seperti sekularisme, liberalisme, dan sebagainya. Selain itu, khalifah wajib menjadi junnah (pelindung) bagi seluruh rakyatnya termasuk anak-anak. Khilafah menciptakan masyarakat Islami yang memahami syariat dan menjalankan budaya amar ma’ruf nahi munkar, sehingga tercipta lingkungan yang aman bagi anak. 

Khilafah juga memastikan setiap anak tercukupi kebutuhannya, berupa sandang, pangan, papan melalui jaminan kerja bagi kepala keluarga melalui penerapan sistem ekonomi Islam. Jaminan paendidikan, kesehatan dan keamanannya akan dipenuhi secara langsung oleh khilafah, sehingga setiap anak mendapatkannya secara gratis dengan kualitas terbaik. Sungguh kehidupan unggul, terbaik, aman, dan Islami hanya terwujud dalah Khilafah Islam.(*)