Home Opini Jurnalis Muslim Sebagai Pembawa Risalah Nabi

Jurnalis Muslim Sebagai Pembawa Risalah Nabi

785
0
SHARE
Jurnalis Muslim Sebagai Pembawa Risalah Nabi

Oleh : Ust. Ali Farkhan Tsani,S.Pd.I.,
Redaktur Senior MINA (Mi’raj News Agency), Dewan Pakar PJMI (Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia) 


Berita dalam bahasa Arab antara lain disebut dengan istilah “naba” (berita) bentuk jamaknya al-anba’. Maka, pembawa berita (dari langit) disebut dengan Nabi, jamaknya al-Anbiya

Walaupun naba berarti berita, tetapi tidak setiap berita disebut naba. Hanya berita yang berguna saja, yang dapat menambah pengetahuan dan bernilai benar, yang disebut dengan naba

Kantor berita dalam bahasa Arab disebut dengan Wakalah Al-Anba. Karena itu, di dalam kantor berita adalah berisi berita-berita benar (naba), yang mempunyai nilai informasi, kegunaan, pengetahuan dan bernilai besar.

Sebagai jurnalis Muslim pun, yang bertugas mencari, mewawancarai, menginvestigasi, menulis dan hingga menyiarkan berita ke publik, hendaknya menampilkan berita-berita yang bernilai besar, bermanfaat luas dan diperlukan sebanyak mungkin masyarakat.

Karenanya, wartawan Muslim pun sejatinya adalah pelanjut risalah kenabian, dalam mencari, menulis dan menyebarkan informasi dan tulisan yang bernilai kebaikan dan kebenaran kepada publik.

Sifat Kenabian untuk Jurnalis

Wartawan Muslim berfungsi juga sebagai juru dakwah yang menebarkan kebenaran ilahi. Ia bagaikan penyambung lidah dakwah para Nabi, dalam cakupan luas.

Mengutip pandangan Pendiri sekaligus Dewan Pakar PJMI (Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia), M. Anthony yang menyampaikan, PJMI didirikan atas sebuah kesadaran sejarah para jurnalis Muslim tentang pentingnya pembelaan terhadap nilai-nilai keadilan dalam penyampaian informasi kepada publik yang selama ini dirasa sering merugikan bangsa Indonesia.

"Untuk itu, Jurnalis Muslim harus mampu menerapkan sifat-sifat kenabian seperti, Shidiq, Amanah, Fathanah dan Tabligh," ujarnya, di sela-sela pengukuhan Pengurus Pusat PJMI Periode 2022-2025 di Hotel Balairung Jakarta, Jumat (17/2/2023).

Karena itu, sebagai jurnalis Muslim, kita dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, yaitu Shiddiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah.

Pertama, Shiddiq. Shiddiq artinya benar, jujur, maknanya jurnalis dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan adalah menginformasikan sesuatu yang benar dan membela serta menegakkan kebenaran itu dengan jiwa pemberani dan penuh tawakkal kepada Allah. Walaupun kadang harus pahit melaksanakannya.

Hal ini sejalan dengan petunjuk hadits yang mengatakan, dan  Artinya : “Katakanlah yang benar meskipun itu pahit.” (HR Ibnu Hibban dari Abu Dzar al-Ghiffari).

Kebenaran itu adalah sesuai dengan kenyataan. Bahkan mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim termasuk jihad yang utama. Seperti disebutkan di dalam hadits, yang  Artinya : “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim.” (HR Abu Dawud At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu).

Kedua, Tabligh. Tabligh artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran apa adanya, bukan malah memutarbalikkan kebenaran atau mencampuradukkan yang haq (benar) dengan yang bathil (salah).

Di dalam hadits dikatakan, yang Artinya : “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat”. (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).

Hadits ini menjelaskan bahwa siapa yang mengetahui sesuatu dari ilmu pengetahuan dan kemaslahatan, maka wajib baginya untuk bertabligh (menyampaikan) kepada orang lain.

Demikian halnya sebagai jurnalis Muslim, ia berkewajiban menyampaikan berita, informasi atau ilmu yang diketahuinya kepada publik untuk kemaslahatan bersama.

Itulah tabligh, menyampaikan. Penyampainya disebut dengan muballigh. Jadi, jurnalis itu juga sebenarnya adalah muballigh.

Ketiga, Amanah. Amanah artinya terpercaya, dapat dipercaya, dapat diandalkan. Karenanya ia tidak boleh berdusta, merekayasa, memanipulasi atau mendistorsi suatu informasi, untuk disampaikan ke publik.

Amanah juga bermakna melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan di pundaknya dengan sungguh-sungguh, profesional dan ikhlas karena Allah semata.

Amanah juga bermakna kehormatan. Jadi kalau seseorang diberi amanah oleh Pemimpin Redaksi atau Kepala Liputan, misalnya untuk melakukan liputan, pada dasarnya ia sedang diberi kehormatan. Demikian juga amanah sebagai Pemred, sebagai Sekred, atau sebagai Ketua dan Pengurus PJMI misalnya.Maka, kalau ia tidak melaksanakan amanah tersebut atau menyepelekannya, tidak maksimal, itu sama saja ia sedang melucuti kehormatan dirinya.

Tentang amanah ini kaitannya dengan keimanan disebutkan di dalam hadits, yang  Artinya : “Tidak ada keimanan bagi seorang yang tidak amanah.”. (HR Ahmad dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu).

Keempat, Fathanah. Fathanah artinya cerdas, berwawasan luas. Karena itu, sebagai wartawan Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan oleh umat, dengan meneladani kecerdasan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Untuk mendapatkan tingkat kecerdasan itu maka diperlukan sikap gemar membaca, memiliki budaya literasi yang tinggi, setiap hari.

Bukan sekedar membaca koran, menyimak berita televisi atau memperhatikan peristiwa di sekitarnya. Tetapi ia juga menyeruak ke dalam di balik berita dan peristiwa tersebut. Apa dampaknya, bagaimana pengaruhnya, dan seperti apa prediksi ke depannya.

Untuk menambah daya kecerdasan itu, sekarang sudah terlalu banyak info di dunia maya. Tidak kalah pentingnya adalah bergaul, berdiskusi, dan tukar pendapat dengan tokoh dan orang-orang yang dipandang memiliki kelebihan dalam satu atau banyak hal. Sehingga wawasan dirinya juga ikut bertambah.

Karenanya, seorang jurnalis Muslim tidak akan terjebak dalam diskusi liar tanpa arah, apalagi curhat-curhatan di dunia maya yang isinya sekedar guyonan, cemoohan, atau kata-kata tanpa makna apalagi tanpa nilai kebenaran ilahi.

Pepatah mengatakan, “Bahasa menunjukkan Bangsa”. Hal ini bermakna, bahasa lisan dan tulisan yang diucapkan dan ditulis oleh seseorang itu menunjukkan siapa dia, isi otaknya, jiwanya, bangsa dirinya.

Karena itu, sebagai jurnalis Muslim hendaknya ia terus menambah ilmu dan wawasannya. Bukan hanya agar semakin bertambah cerdas dan bijak. Namun menuntut ilmu itu sendiri adalah kewajiban bagi setiap Muslim, yang itu berarti bernilai ibadah.

Ini seperti disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alahi Wasallam dalam sabdanya, yang Artinya: ”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. (HR Ibnu Majah dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu).

Jadi, setiap pekerjaan yang dilakukan oleh jurnalis Muslim, dengan keilmuannya dan kompetensi menulisnya, bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Semakin banyak menulis berita dan artikel untuk kebaikan pembacanya, maka semakin banyak pula pahala yang diraihnya. Insya-Allah.(*)