
Keterangan Gambar : Pelajar Islam Indonesia (PII)
Oleh : Husin Tasrik Makrup Nst *)
Masyarakat
Indonesia umumnya mengetahui bahwa setiap tanggal 2 Mei adalah peringatan Hari
Pendidikan Nasional (HARDIKNAS). Momentum bersejarah biasanya disambut dengan
nostalgia dan euforia. Kegiatan tersebut adalah hal yang wajar akan tetapi,
jangan sampai kita melupakan hal-hal yang subtansial yaitu, evaluasi dan
strategi kedepan.
Pendidikan merupakan
sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan amanah UUD 1945,
bahkan dipertegas dalam pasal 31 (ayat 3) UUD 1945 “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diatur dengan undang-undang”. Karena pendidikan diatur dalam konstitusi Negara
Republik Indonesia maka pemerintah bertanggungjawab atas pemenuhan sarana dan
prasarananya. Apalagi pada ayat 4 dijelaskan bahwa “Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Sarana dan prasarana,
kurikulum, kompetensi tenaga pengajar, pemerataan fasilitas dan bantuan dana
bagi siswa adalah hal yang tidak luput untuk dievaluasi. Tidak bisa dipungkiri
-meskipun tanpa data statistik- soal sarana dan prasarana yang memadai belum
tersebar secara merata, juga soal kurikulum yang masih meraba-raba, apalagi
kompetensi tenaga pengajar yang harus di upgrade akibat laju teknologi yang
semakin canggih menjadi koreksi yang harus dicari jalan keluarnya. Dalam
tulisan kali ini, beberapa poin tersebut tidak akan dibahas secara mendalam
namun, setidaknya ada tiga poin yang akan menjadi perhatian khusus untuk
dievaluasi yaitu, mengenai pendidikan karakter, kebijakan full day school, dan
pendidikan vokasi.
Pendidikan karakter
merupakan salah satu poros revolusi mental. Pada dasarnya pendidikan karakter
merupakan reaksi terhadap semakin derasnya arus globalisasi. Terbukanya
kran-kran kebudayan luar/asing secara cepat bersentuhan dengan kebudayaan
Indonesia. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia
dalam upaya filterisasi nilai-nilai budaya. Akan tetapi sejauh ini upaya yang
dilakukan oleh pemerintah belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Pasalnya
nilai toleransi yang merupakan salah satu materi dalam pendidikan karakter
malah dihadiahi tawuran antar pelajar baik dalam satu sekolah maupun antar
sekolah di media-media. Belum lagi kasus beberapa guru yang terlibat
penganiayaan bahkan melakukan pelecehan dan kekerasan seksual membuat wajah
dunia pendidikan di Indonesia semakin rusak. Olah hati, olah pikir, olah raga,
serta olah rasa dan karsa nampaknya hanya sebatas jargon.
Full day school (FDS)
sejak awal wacananya bergulir sudah menuai pro kontra. Jika pendidikan karakter
adalah aspek materil maka kebijakan FDS adalah aspek formilnya. Disini kita
tidak akan mengevaluasi implementasinya karena masih dalam tahap uji coba
terhadap beberapa sekolah, akan tetapi evaluasi konsep sangat diperlukan,
mungkin lebih tepatnya analisa kritis terhadap rancangan FDS. Seperti yang
pernah dikemukakan Mendikbud bahwa orientasi FDS adalah mencegah siswa dari
pergaulan bebas, narkoba, tawuran, dan hal-hal negatif lainnya. Dengan adanya
FDS siswa akan lebih terjaga karena dalam pantauan sekolah. Ada beberapa kritik
terhadap konsep FDS ini, pertama, secara teori sudah bertentangan dengan
semangat pendidikan. Misalnya Paulo Freire yang merupakan pemikir sekaligus aktivis
pendidikan yang cukup terkenal di dunia. Menurutnya “sekolah yang serius dan
progresif tidak akan menyia-nyiakan waktu yang dimiliki anak untuk memperoleh
pengetahuan”. Ia juga berpendapat bahwa empat jam belajar saja sudah terlalu
lama. Bahkan dengan kritik yang lebih tajam ia mengatakan “sekolah yang secara
formal membutuhkan waktu sehari penuh berarti membuang-buang waktu”. Kedua,
pertimbangan keadilan (pemerataan). FDS bertujuan agar siswa tetap terawasi
dilingkungan sekolah sambil menunggu orang tuanya pulang bekerja. Pertimbangan
ini adalah bacaan atas masyarakat perkotaan, lalu bagaimana dengan masyarakat
pedesaan?. Kalaupun FDS berhasil untuk masyarakat perkotaan dan hanya
diterapkan di daerah perkotaan, bukankah akan berdampak semakin senjangnya
dunia pendidikan perkotaan dengan pendidikan di pedesaan?. Ketiga, pertimbangan
mental dan psikologi. FDS mengharuskan siswa untuk tetap berada di lingkungan
sekolah. Dampaknya adalah psikologi siswa terganggu, bahkan menimbulkan stress.
Selain itu terlalu lama berada dalam lingkungan sekolah berdampak pada mental
yang tidak siap menghadapi dunia nyata di luar sekolah yang penuh tantangan.
Alhasil akan terbentuk mental penyendiri dan budaya individualis.
Selanjutnya mengenai
pendidikan vokasi. Pendidikan yang berbasis keahlian (kejuruan) ini memang
cukup menggairahkan ditengah-tengah pembangunan negara yang sedang berkembang.
Berbagai kerjasama dengan beberapa negara terus digalakan. bahkan karena
terlalu massifnya program tersebut, hampir tidak ada yang sempat menganalisa
dengan kritis bahkan mengkritik. Disini ada dua hal analisa kritis terhadap
program pendidikan vokasi. Pertama, pendidikan vokasi sangat terfokus
pada dunia industri. Indonesia memang sedang dalam proses pembangunan akan
tetapi jangan sampai melupakan apalagi meninggalkan identitas bangsa, dalam hal
ini maksudnya bahwa jatidiri Indonesia adalah sebagai negara agraris, ada juga
yang mengatakan negara maritim, ditambah citra Indonesia yang pesona alamnya
sangat indah dari Sabang sampai Merauke, belum lagi citranya tentang kekayaan
alam yang berlimpah. Kedua, program pendidikan vokasi hanya melibatkan
hubungan sekolah dengan pemerintah dan industri, sehingga program ini sangat
minim partisipatif. Maksudnya, dunia pendidikan hendaknya melibatkan
partisipasi masyarakat agar siswa tetap memiliki kesadaran sosial, tidak melulu
memikirkan kerja yang berdampak pada individualisme.
Pelajar Islam Indonesia
(PII) sebagai organisasi masyarakat yang konsen dibidang pendidikan atau lebih
tepatnya organisasi pelajar tentunya berperan aktif dalam upaya membangun dunia
pendidikan menjadi lebih baik. PII bersama-sama dengan pemerintah bahu-membahu
menciptakan pendidikan yang semakin baik. Hal ini tertuang dalam Khittah
Perjuangan (KP) PII dalam Khittah Perjuangan Perjuangan Keluar pada poin Garis
Kebijakan terhadap Pemerintah “bahwa Pelajar Islam Indonesia (PII) bersedia
atau dapat membantu kebijakan Pemerintah secara pertisipatif, korektif dan
konstruktif selama sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan kepentingan umat
Islam”.
PII dapat berperan
aktif membantu pemerintah dalam upaya filterisasi nilai-nilai kebudayaan yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dalam bingkai keislaman.
Hal ini dapat mendukung untuk mewujudkan pendidikan karakter. Dengan
aktivitas-aktivitas di PII yang positif tentunya dapat mengurangi kekhawatiran
pemerinta kepada siswa ketika berada diluar sekolah. Untuk menjalankan hal
tersebut tentunya memerlukan ruang dan waktu yang cukup, maka kebijakan full
day school tidak sesuai dengan semangat kebersamaan dan partisipatif.
Lingkungan yang sempit tentunya tidak akan menciptakan iklim pendidikan yang
baik, maka dengan beraktifitas di PII (pertemanan lintas sekolah dan lintas
angkatan) tentu akan tercipta iklim pendidikan yang seimbang antara kwoledge
dan skill. Untuk melaksanakan hal tersebut tentu perlu adanya
kepercayaan dari pemerintah kepada PII, karena dengan adanya rasa saling
percaya akan terbentuk hubungan yang harmonis. Alhasil, cita-cita bersama dapat
terwujud.
Pendidikan vokasi
merupakan potensi yang sangat besar dalam upaya mewujudkan bangsa yang semakin
maju. Dalam kacamata keindonesiaan pendidikan vokasi menjadi tantangan
sekaligus peluang pembangunan bangsa. Semangat pembangunan kearah yang lebih
baik sesuai dengan Falsafah Gerakan (FG) PII dalam poin Konsepsi Pendidikan
Yang Sesuai Dengan Islam yang mengatakan “bidang pendidikan mempunyai posisi
yang amat strategis untuk mengubah dan membangun masyarakat. Rekayasa peradaban
sebagai salah satu jalan dalam perubahan dan pembangunan masyarakat memerlukan
kesiapan anggota masyarakat yang bersangkutan. Anggota masyarakat dituntut
memiliki kesiapan dan kemampuan antara lain: daya adaptasi, terhadap
nilai-nilai baru, kreatifitas untuk melakukan upaya inovasi dan daya saing
untuk tetap eksis ditengah arus perubahan global yang terjadi. Kemampuan diatas
dipersiapkan dan dibentuk melalui proses pendidikan.”
Karena bersifat
keahlian, maka memerlukan skill khusus. Untuk menumbuhkan skill khusus
tersebut, tidak cukup hanya dengan materi pelajaran dan sedikit latihan, perlu
ruang dan waktu yang lebih. Dalam hal ini pemerintah dapat bekerja sama dengan
PII dalam pra pengkondisian siswa dan supporting lini untuk
mempersiapkan dan memberikan ruang yang lebih banyak dalam meningkatkan skill.
Dalam Falsafah Gerakan PII tersebut terdapat semangat yang sama dengan
pemerintah, yaitu semangat pembangunan baik pembangunan institusi maupun
peningkatan kualitas SDM. Masih dalam poin yang sama (poin Konsepsi Pendidikan
Yang Sesuai Dengan Islam dalam Falsafah Gerakan PII) disebutkan bahwa
“pendidikan berfungsi sebagai agen perubahan sosial dalam arti akan berlangsung
penyiapan sumberdaya manusia sebagai pelaku dan pelopor perubahan sosial
tersebut. Perubahan ini dimaksudkan untuk membangun masyarakat baru yang lebih
baik dan mempersiapkan diri dan berkembang sesuai dengan potensi diri dan
lingkungannya. Untuk mengantisipasi perubahan yang akan terjadi maka dalam
setiap proses pendidikan berlangsung proses transformasi dan sosialisasi.”
Demikianlah pandangan
PII terhadap dunia pendidikan saat ini. Di moment bersejarah pada Hari
Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2017 ini, PII mengajak kepada pemerintah dan
elemen-elemen lainnya untuk bersinergi membangun pendidikan yang lebih baik.
Semoga apa yang kita cita-citakan bersama tentang pendidikan yang lebih baik
dapat terwujud. Amin.
*) Penulis adalah : Ketua Umum, Dewan
Formatur ; Pengurus
Besar Pelajar
Islam Indonesia (PII), Peroide 2017-2020
LEAVE A REPLY