
Keterangan Gambar : Foto : Ilustrasi/Bekas Gedung Kejaksaan Yang Terbakar (sumber foto : ist/net)
Oleh : Qurratul Aini
Aktivis Kampus
Peristiwa pemadaman Kebakaran yang terjadi di gedung kejaksaan agung RI pada tanggal 23 Agustus 2020 lalu berlangsung cukup alot. Aksi memadamkan api tersebut memerlukan waktu sekitar 9 jam walapun sudah mengerahkan total 65 mobil damkar. Menurut Satriadi Gunawan (Gulkarmat DKI Jakarta) mengatakan bahwa ada sekitar 4 lantai yang terbakar, yaitu lantai 6 dan 5 merupakan ruangan kepegawaian dan pelatihan, sedangkan lantai 4 dan 3 adalah ruangan intelijen. Sampai tulisan ini dibuat, polisi masih belum mengetahui penyebab kebakaran tersebut. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi publik.
Salah satu peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyampaikan bahwa ICW mendesak agar KPK turut menyelidiki penyebab terbakarnya gedung Kejaksaan Agung. Setidaknya hal ini untuk membuktikan, apakah kejadian tersebut murni karena kelalaian atau memang direncanakan oleh oknum tertentu. Sebab, saat ini Kejaksaan Agung sedang menangani banyak perkara besar, salah satunya dugaan tindak pidana suap yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang merencanakan untuk menghilangkan barang bukti yang tersimpan di gedung tersebut.
Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi juga angkat bicara bahwa pihak kejaksaannya juga perlu menginvestasi secara mendalam terkait kebakaran tersebut, apakah karena kurangnya peralatan penunjang keselamatan dalam kebakaran di dalam gedung tersebut atau tidak ada org yang piket berjaga, yang menyebabkan api mudah menjalar dan sulit dipadamkan. Sementara itu gedung kejaksaan agung RI merupakan gedung pemerintah yang seharusnya menjadi rol modeling dalam sistem bangunannya termasuk sistem keamanan. Memiliki sistem keselamatan gedung yang baik ketika terjadi kebakaran, hal tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002, Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2008 dan Nomor 7 Tahun 2010.
Menurut Manlian Ronald A Simanjuntak sebagai Pengajar Teknik Sipil Konsentrasi Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Pelita Harapan (UPH). Namun faktanya kebakaran yang terjadi di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) menunjukkan kegagalan sistem keselamatan yang sangat fatal. Sulitnya ketersediaan air di sekitar bangunan dan kondisi stuktur bangunannya menyebabkan api mudah menjalar horizontal ke bagian gedung lain.
Pihak kepolisian yang sudah melakukan olah TKP sampai dengan saat ini belum bisa memastikan penyebab kebakaran tersebut. Update terbaru Kamis, (10/9/2020) (sumber liputan6.com) sudah ada sekitar 128 saksi yang diperiksa, terdiri dari petugas cleaning service, office boy, hingga karyawan dan pegawai Kejaksaan Agung. Hasil dari olah TKP-pun nihil. Tim kepolisian yang bertugas-pun hanya bisa memberikan penjelasan bahwa proses yang dilakukan sampai saat ini masih pengumpulan informasi dan barang bukti.
Sudah tiga pekan lebih kasus kebakaran tersebut diselidiki, namun belum menemukan titik terang. Pihak yang berwenang menangani kasus tersebutpun seolah bersikap lamban sekali. Sementara itu banyak masyarakat yang ingin segera mengetahui hasilnya, termasuk Kurnia Ramadhana salah satu anggota Indonesia Corruption Watch (ICW) yang selalu mendesak tim penyidik untuk selalu melaporkan hasil pemeriksaannya. Hasil penyelidikan itu memang sangat penting, terutama ruang kerja Pinangki Sirna Malasari yang saat ini terduga kasus suap itu ikut terbakar. Alat bukti seharusnya bisa segera diselidiki misalnya rekaman CCTV.
Kasus suap tersebut salah satu kasus besar,Karena Pinangki diduga menerima uang US$ 500 ribu atau senilai Rp7 miliar dari Djoko Tjandra untuk membebaskan terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali yang telah menjerat sejak 2009. Hasil suap tersebutkan digunakan untuk membeli barang-barang mewah seperti BMW tipe X5 yang telah disita Kejagung, sehingga Pinangki juga ditetapkan sebagai tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Tindak menutup kemungkinan lambannya penangan kasus kebakaran Kejagung tersebut ada motif kesengajaan. Pemerintah dan aparat yang bersangkutan seharusnya bersikap gesit dalam penanganannya. Namun dalam era kapitalis ini yang keperpihakan hukum hanya pada pemodal saja, semua bisa diatur disesuaikan dengan keinginan pemodal. Alhasil, hukum pun tidak memiliki taring untuk membela rakyat, yang sesungguhnya, rezim hanya pembela pemodal besar.
Berdasarkan fakta diatas, maka gedung Kejagung atau pun gedung pemerintah yang ada belum memenuhi standar keselamatan. Bahkan menurut Pakar fire safety dari Fakultas Kesehan Masyarakat Universitas Indonesai menyatakan 70 % kantor pemerintahan di Jakarta, termasuk gedung Kejaksaan tidak memenuhi standar keselamatan kebakaran (bbc.com, 25/08/2020).
Namun dilain sisi, Kementerian Pekerjaan Umum menangkis anggapan tersebut, kendati diakui bahwa anggaran untuk keselamatan kebakaran kerap tidak dialokasikan. Ini adalah kebakaran yang menjalar dengan cepat dan juga menunjukkan sistem proteksi aktif tidak berfungsi sebagai mana mestinya.
Mengacu pada fakta-fakta yang terhampar, maka seharusnya negara hadir secara proaktif dan memastikan setiap bangunan pemerintahan dijamin dengan sistem keamanan yang terstandar dan dapat diaudit. Jika tidak bukan hanya kerugian banguanan yang sudah jelas-jelas tanpa asuransi namun kasus-kasus yang sedang diproses di Kejagung juga membawa dampak berarti.
Mengapa, kebakaran bangunan pemerintah acap kaloi terjadi? In tentu menggelitik dibenak rakyat. Karena bagaimanpun, negara harus mengeluarkan anggaran untuk pembangunan kembali gedung yang terbagkar dan anggarannya pun tidak sedikit. (*)
LEAVE A REPLY