Home Nusantara Demokrasi di Era Digital dan Urgensi Penguatan Sikap Toleransi Pengguna Teknologi

Demokrasi di Era Digital dan Urgensi Penguatan Sikap Toleransi Pengguna Teknologi

Webinar Literasi Digital Ditjen APTIKA Kemkominfo

1,577
0
SHARE
Demokrasi di Era Digital dan Urgensi Penguatan Sikap Toleransi Pengguna Teknologi

JAKARTA - Parahyangan Post - Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)  telah membawa kita pada sebuah perubahan dalam masyarakat. Perubahan tersebut telah memberikan dampak yang sangat luar biasa bagi masyarakat dalam melakukan segala kegiatannya pada kehidupan sehari-hari, misalnya pada kegiatan di bidang pekerjaan, bidang pendidikan, pemerintahan, maupun keagamaan.

Teknologi digital dapat membuat masyarakat semakin terbuka akan segala hal yang memudahkan aktivitasnya dan juga terhadap kepada kinerja pemerintahan dan mampu menjadi sarana untuk menyampaikan pendapat melalui ruang digital dan dapat diakses oleh seluruh kalangan masyarakat. Akan tetapi dengan semakin masifnya perkembangan teknologi digital sering kali kita temui adanya intoleransi dan diskriminasi yang menimbulkan perbuatan yang melawan hukum.

Tokoh Agama Manado, Jeheskiel Novie Kapoh memaparkan bahwa era digital merupakan istilah kekinian yang menggambarkan dunia masa sekarang yang didominasi oleh teknologi digital yang memberi dampak amat luar biasa dimana manusia mengalami kemudahan-kemudahan yang bersifat kompleks dalam menjalani aktifitas hidup setiap hari.

“Era digital memungkinkan kita mendekati dan memasuki dunia global dalam berbagai aspek dengan begitu mudah,” kata Jeheskiel selaku narasumber pada Webinar Literasi Digital yang diselenggarakan oleh Ditjen APTIKA Kemkominfo RI dengan tema ‘Demokrasi di Era Digital dan Urgensi Penguatan Sikap Toleransi Pengguna Teknologi’ secara virtual. Jakarta (07/07/2022).

Menurutnya, demokrasi memiliki jiwa kebebasan. Kontrol dan kendali terhadap pengguna teknologi di era digital tentu tidaklah mudah dan penting dipahami kebebasan pengguna teknologi haruslah secara masif menjaga keutuhan NKRI.

“Masyarakat haruslah mendapat edukasi dan keteladanan yang benar bagaimana hidup demokratis di era digital ini untuk cakap digital dan cakap bicara,” ujarnya. 

Teknologi digital memungkinkan setiap orang menerima berbagai informasi baik secara audio maupun visual. Fenomena yang  muncul saat ini, begitu banyak pengguna teknologi yang menyimpang dari tujuan positif penggunaan teknologi yang berakibat fatal dan cendrung memecah belah anak bangsa dan merobek nilai-nilai kesatuan bangsa.

“Penguatan sikap toleransi akhirnya haruslah dipandang urgen yang bukan hanya menuntut perhatian secara konsepsional tetapi tindakan-tindakan nyata,” tambahnya.
Ia menyerukan kepada semua pemangku kepentingan harus merapatkan barisan untuk fokus pada penguatan sikap toleransi pengguna teknologi.

“Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya sudah sangat cukup menjadi dasar dan spirit demokrasi di era digital yang dapat memupuk dan merawat toleransi dalam berbangsa dan bernegara di republik tercinta ini,” pungkasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Hillary Brigitta Lasut, S.H., L.L.M mengatakan bahwa saat ini kita sedang berada dalam krisis toleransi. Ada terlalu banyak kejadian yang seakan-akan negara membiarkan masyarakatnya berjuang sendiri dalam mendapatkan perlakuan intoleransi dan diskriminasi.

“Kita sebagai penduduk sulawesi utara yang di dominasi penganut agama kristen memang tidak terlalu sering ikut campur jika ada permasalahan penistaan agama. Padahal kita sebagai umat kristen sangat ditanami dan diajari mengenai kasih,” kata Hillary.

Menurutnya, toleransi merupakan hubungan timbal balik. Ketika kita berbuat baik dan menghargai perbedaan, kita juga akan dihargai dan mendapatkan kebaikan.

“Apabila ada warga yang mendapatkan perlakuan intoleransi dan diskriminasi, baik oleh penganut agama mayoritas atau pun bahkan pemangku kebijakan  atau aparat. Masyarakat bisa melaporkan ke wakil rakyat, yang kemudian akan langsung kami proses oleh tim dan yayasan kami,” sebut Anggota Komisi I DPR RI Dapil Sulawesi Utara.

Dengan adanya kegiatan ini, ia berharap masyarakat bisa dikuatkan bahwa tidak hanya agama mayoritas saja yang diberikan perlindungan, tapi ada juga hak-hak kristen yang dilindungi. 

“Itu yang diartikan sebagai toleransi oleh penganut agama mayoritas untuk juga melindungi kita penganut agama non mayoritas,” tambahnya.

Dalam akhir pemaparannya, ia juga berharap bahwa semoga  akan  ada suara-suara semangat baru yang muncul oleh para pemeluk agama untuk terus menyuarakan  toleransi dan keadilan di era digital. 

“Meskipun kita toleransi, tapi kita juga punya batasan tertentu untuk perlu dilindungi,” pungkasnya.

Sementara itu narasumber terakhir, Defris Porayow STh  selaku Pengamat Keagamaan mengatakan bahwa era digital saat ini membuat kita menjadi mudah dalam melakukan literasi, komunikasi dan bisnis.

Sayangnya digitalisasi tidak hanya memiliki dampak positif, ada juga dampak negatif yang dirasakan seperti kurangnya kepedulian orang karena terlalu terpaku pada gadget, pengaruh budaya luar, hingga kebiasaan perudungan.

“Dalam menggunakan kecanggihan teknologi, masyarakat juga perlu untuk saling bertoleransi. Toleransi bertujuan untuk membangun tatanan sosial yang harmoni,” kata Defris. 

Dalam membangun tatanan sosial yang harmoni, ia menyebutkan bahwa ada tiga komponen dasar yang menjadi landasan bagi setiap individu dalam melakukan interaksinya, yaitu: kepercayaan, yaitu kepercayaan yang terbangun dengan baik antara satu individu dengan individu, antara individu dan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok.

Menurutnya, norma juga diperlukan penguat sosial kontrol dalam sistem sosial masyarakat yang menjadi nilai-niai bersama.

“Jaringan konsep ini memiliki makna kerjasama dalam sistem sosial masyarakat yang memiliki hubungan timbal balik secara terus menerus,” tutupnya.

(rt/pp)