Home Seni Budaya Angon Angin: Simfoni Tasawuf dalam Puitika Gambuh R. Basedo

Angon Angin: Simfoni Tasawuf dalam Puitika Gambuh R. Basedo

449
0
SHARE
Angon Angin: Simfoni Tasawuf dalam Puitika Gambuh R. Basedo

Oleh: Rissa Churria *)
Pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM),

Antologi puisi Angon Angin karya Gambuh R. Basedo terdiri dari 99 judul puisi yang merangkum perjalanan batin dan pencarian spiritual yang mendalam. Puisi-puisi dalam Angon Angin sarat dengan simbolisme dan makna filosofis yang berkaitan dengan tasawuf, sebuah cabang mistisisme Islam yang menekankan perjalanan ruhani menuju penyatuan dengan Tuhan. Dalam setiap bait, pembaca diajak untuk merenungi eksistensi, makna cinta ilahi, dan kefanaan dunia.

Simbolisme Angin dan Tasawuf dalam Angon Angin

Puisi-puisi dalam Angon Angin tidak hanya merupakan ungkapan pengalaman spiritual, tetapi juga manifestasi dari pemahaman tasawuf yang mendalam. Judul antologi, Angon Angin, mengandung simbolisme yang kuat dalam dunia tasawuf. "Angon," yang berarti menggembala, melambangkan peran manusia sebagai pengembala hawa nafsu dan hasrat duniawi, sementara "Angin" adalah simbol dari sifat spiritual yang halus dan tidak kasat mata. Dalam tasawuf, perjalanan spiritual seringkali digambarkan sebagai usaha untuk mengendalikan "angin" atau hawa nafsu agar jiwa dapat mencapai kebebasan dari segala keterikatan duniawi.

Puisi berjudul "Angon Angin" menampilkan pencarian spiritual yang dipenuhi dengan kesadaran akan kelemahan diri manusia di hadapan Tuhan:

Lelana meniti jalan cinta
Gembala harimau nafsu menuju temu
Api semangat giring jingkat
Angin ingin napasi geliat
Tetap picu pacu kendali
Berontak diri
Agar tak liar menjalar
Dalam binar akal sadar

Dalam bait ini, manusia diibaratkan sebagai pengembala harimau nafsu yang berusaha mencari "temu" atau pertemuan dengan Tuhan. Nafsu diibaratkan sebagai harimau liar yang harus dijinakkan dengan kendali diri, sebuah ajaran fundamental dalam tasawuf. Gambaran "angin" sebagai napas kehidupan yang harus diarahkan dengan kendali pikiran dan harus di putuskan dengan qolbu,karena pikiran hanya alat mencari pembenaran/ panglima (keluar masuknya napas) sedang qolbu adalah presiden dari pikiran, ( naik turunya napas) sehingga butuh keseimbangan pikir dan dzikir, lahir dan batin, maka sudah seharuanya ditata digembala,kemana napas itu lepas dan untuk apa napas kau hirup.
Napas adalah nama lain dari  ruh, ini menunjukkan hubungan antara aspek spiritual dan rasional manusia.

Kesadaran Diri dan Penyerahan dalam Tasawuf

Puisi "Izinkan Aku Gusti" menyuarakan salah satu tema sentral dalam tasawuf: penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (tawakkul) dan pengakuan akan keterbatasan akal manusia dalam memahami kehendak ilahi.

Haruskah berakhir pada sebuah tanya
Dari ribuan langkah mendapat jalan menujumu
Atau barangkali sengaja menguras tangis
Menjamah segala kesombongan
Akalku tak cukup menganalisa kehendakMu

Dalam tasawuf, pemahaman bahwa akal manusia terbatas dalam menjangkau misteri ilahi adalah hal yang esensial. Puisi ini menggambarkan kebingungan batin antara usaha keras dalam menempuh jalan spiritual dan ketidakpastian akan hasil akhirnya. Akhirnya, puisi ini menunjukkan penyerahan total kepada Tuhan dengan metafora "berteriak di depan pintu," mengimplikasikan kebutuhan mendalam untuk pengakuan dan belas kasih Tuhan.

Waktu dan Kesadaran Spiritual

Tema lain yang muncul dalam Angon Angin adalah refleksi tentang waktu, yang digambarkan sebagai kekuatan pemenggal dalam puisi "Bila Waktu". Waktu dalam tasawuf seringkali dianggap sebagai elemen yang menguji kesadaran dan keteguhan seseorang dalam menjalani kehidupan spiritual. Dalam bait ini, waktu digambarkan sebagai pedang tajam yang dapat "memenggal" atau "terpenggal":

Bila waktu seperti pedang pemenggal
Memenggal
Atau terpenggal
Rawatlah kilaunya dari pamer pesona belaka
Jagalah arah kibasannya dari berdarah-darah pongah

Pedang waktu, dalam pengertian tasawuf, adalah lambang dari kematian dan kefanaan. Ia menjadi peringatan untuk selalu waspada dan menjaga diri dari kesombongan, agar kilau kesadaran tetap tajam. Menjaga waktu dari kesia-siaan dan kesombongan adalah bagian dari disiplin spiritual yang diajarkan dalam tasawuf.

Simbol Alif dan Asal Mula dalam Tasawuf

Puisi "Melukis Alif" adalah contoh lain dari penggunaan simbolisme dalam tasawuf. Alif, huruf pertama dalam alfabet Arab, seringkali dianggap sebagai lambang ketunggalan Tuhan dalam tradisi tasawuf. Alif juga mewakili keesaan Tuhan, yang di dalam tasawuf menjadi pusat dari segala pencarian dan penghambaan.

Alif yang ku gores memang samar
Hanya satu yang bisa ku lukis tentangmu
Satu huruf saja selebihnya aku tak mampu
Biar saja ini adalah sebentuk cinta padamu
Mesrai aku meski aku sebutir debu

Dalam puisi ini, Alif menjadi simbol cinta ilahi yang samar, tetapi tetap mendalam. Pengakuan bahwa hanya satu huruf yang bisa dilukiskan menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk sepenuhnya menggambarkan atau memahami Tuhan. Manusia, sebagai makhluk fana, diibaratkan sebagai "sebutir debu," yang menunjukkan kerendahan hati di hadapan kebesaran Tuhan.

Gairah dan Kerinduan Ilahi dalam Tasawuf

Tasawuf juga menekankan kerinduan yang mendalam (isyq) terhadap Tuhan, yang dalam puisi "Gairah Rindu" digambarkan sebagai perasaan yang memerah dan penuh gairah:

Gairah memerah indah
Terpesona wajah ayu sumringah
Setelah aku ikrarkan cinta yang terikat
Ketika lembar langit janji telah mencatat

Kerinduan yang mendalam ini adalah ciri khas dari tasawuf, di mana seorang salik (pencari Tuhan) merasa terikat oleh cinta ilahi yang tidak berkesudahan. Janji yang dicatat di "lembar langit" menunjukkan hubungan spiritual yang suci antara manusia dan Tuhan, di mana cinta ilahi menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan dalam perjalanan spiritual.

Peran Guru dalam Tasawuf

Salah satu elemen penting dalam tasawuf adalah peran seorang guru atau murshid dalam membimbing murid dalam perjalanan spiritualnya. Hal ini tercermin dalam puisi "Pangkur Sang Guru" di mana guru diibaratkan sebagai sosok yang membersihkan (mengumbah) dan memberikan nasihat:

Tumpah sudah serapah gundah
Dari wadah yang tak selamanya bungah
Suwuk sang Guru yang selalu mengumbah menjamah kepalaku penuh nanah

Guru dalam tasawuf adalah pembimbing ruhani yang membantu murid membersihkan dirinya dari dosa dan kebingungan batin. atau lupa atas diri sejatinya(ruh) sehingga guru musyid /pembimbing yang melahirkan ruh kembali setelah lupa janji dari alam arwah, sebab rata rata manusia lupa setelah diciptakan di bumi ini

Dalam puisi ini, gambaran guru yang "mengumbah" atau mencuci kepala yang penuh nanah adalah metafora bagi pembersihan jiwa dari segala keburukan dan hawa nafsu.

Antologi Angon Angin karya Gambuh R. Basedo adalah sebuah karya sastra yang kaya akan makna spiritual dan tasawuf. Melalui simbol-simbol seperti angin, alif, pedang, dan guru, puisi-puisi dalam antologi ini menggambarkan perjalanan batin yang mendalam dalam mencari makna kehidupan dan hubungan dengan Tuhan. Dalam konteks tasawuf, puisi-puisi ini bukan hanya sekadar ungkapan perasaan, tetapi juga sebuah proses transformasi spiritual, di mana setiap kata dan metafora membawa pembaca lebih dekat pada pemahaman hakikat kehidupan dan ketuhanan.(*)

----------------------------------------- 
*) Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.(*)