Home Edukasi Tidak Ada Teknik Baku dalam Wawancara

Tidak Ada Teknik Baku dalam Wawancara

Pelatihan Jurnalistik

2,576
0
SHARE
Tidak Ada Teknik Baku dalam Wawancara

Keterangan Gambar : Pemred Parahyangan Post Ismail Lutan saat memberikan materi pada pelatihan Jurnalistik Dasar di Fikri Centre, Jatinegara (foto man)

Jakarta, parahyangan-post.com- Menjadi wartawan itu gampang, syaratnya bisa menulis berita. Menulis berita itu gampang, asal mau belajar, dan belajar itu gampang  asal mau!  Ya, pokoknya asal mau saja.

Hal tersebut disampaikan Pemimpin Redaksi Parahyangan Post  Ismail Lutan pada “Pelatihan Jurnalistik Dasar” di Fikri Center, Jatinegara, Jakarta, Sabtu 21/10.

“Mengapa bisa segampang itu menjadi wartawan?” Tanya Ismail Lutan kepada audiens.

Karena saat ini, menurutnya,  sangat banyak media yang bisa dipakai untuk mempublikasikan tulisan.

“Minimal media sosial (medsos)  milik sendiri.” 

Dulu, lanjut Lutan, sebelum Indonesia memasuki era digital, menjadi wartawan itu sulit dan eklsusif. Wartawan seperti ‘dewa’ karena dihormati di mana-mana. Bahkan ‘batuk’ saja pejabat daerah sudah takut.

“Tetapi sekarang tidak lagi. Zaman sudah berubah. Nah, untuk menjadi wartawan yang baik di zaman yang serba cepat berubah ini dibutuhkan kemampuan menulis yang handal, tangguh dan tidak mudah menyerah,” tukas Lutan yang juga Sekretaris  Wartawan PWI Jaya Koordinatoriat Kementerian Agama ini.

Workshop berlangsung  selama 2 hari. Diselenggarakan oleh jaringan media online  Jakpos,  parahyangan-pos.com, Sketsindo.com, Suara Tangsel.com dan Persaudaraan Jurnalis Muslim (PJMI) serta  Radio Rasil. Diikuti sekitar 50 peserta, baik pemula, aktivis (ormas mahasiswa) maupun wartawan yang sudah jadi.

Selain Ismail Lutan, ikut memberikan materi  antara lain, Ketua Umum PJMI Iwan Syam, wartawan senior Antara Muhammad Anthoni, wartawan senior dan aktivis Kebencanaan W. Suratman, dan  mantan penyiar radio Prambors Mas Krisna.

Ismail Lutan yang membawakan materi “Teknik Wawancara” menjelaskan, wawancara merupakan salah satu cara dalam mengumpulkan bahan berita. Hasil wawancara bisa ditulis tersendiri dalam kolom khusus yang disediakan secara eklusif.  Juga dapat menjadi pelengkap dalam sebuah laporan yang digarap tim.

Untuk melakukan wawancara, wartawan harus mepersiapkan diri dan mengenali nara sumbernya dengan baik.

“Jika melakukan wawancara  tanpa bekal yang cukup sama saja dengan bunuh diri. Yang malu bukan saja wartawan itu tetapi juga media tempatnya bekerja. Kredibiltas medianya akan rontok ,” tegas Lutan.

Sebenarnya, lanjut Lutan yang juga Sekjen PJMI ini, tidak ada teknik baku dalam melakukan wawancara dengan nara sumber. Intinya adalah mengenali nara sumber dan mampu berkomunikasi dengan baik.

“Nara sumber itu bermacam-macam karakternya, ada yang gampang dihubungi, ada yang sulit, ada royal mengeluarkan pernyataan, ada yang pelit sekali. Nah, sebagai pewawancara kita harus mengenali betul karakter mereka itu,” tandasnya.

Sementara itu ketua panitia workshop My Gunawan mengatakan workshop akan dilakukan secara berkelanjutan dengan peserta yang lebih banyak dan beragam.

“Out put dari pelatihan ini, adalah terbentuknya jaringan yang lebih luas. Sekarang mengelola media tanpa memiliki jaringan yang luas akan susah bertahan,”  yakin Gunawan yang juga Pemred  Jak Pos ini.*** (aboe)