
Oleh : Dr H Syahganda Nainggolan,
Ketua Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC),
(Didedikasikan kepada Komunitas Acara Pelepasan 5 Tahun Anies Baswedan, Minggu,25/9/22 di Warung Buncit)
Ratu Elizabeth telah dimakamkan di Kastil Windsor, dekat London, beberapa hari lalu. Seluruh dunia melihat ke sana. Para pemimpin dunia banyak yang melayat. Mereka ikut bersedih.
Sementara Truganini, terbaring dikuburannya sejak 146 tahun lalu. Dia, menurut Yuval Noah Harari, adalah perempuan orang asli (aborigin) terakhir di Tasmania. Kedatangan Inggris, yang diperintahkan kakek-buyutnya Elizabeth, King George, telah memusnahkan semua orang pribumi asli di Tasmania. Tak tersisa.
Di antara kesedihan ribuan manusia yang mengantarkan mendiang Queen Elizabeth ke liang kubur, termasuk jejak kejahatan imperialisme kulit putih masih menyisakan luka yang tak bisa dikubur.
Sedangkan di Indonesia, untuk mempertahankan kaum pribumi, Anies Baswedan, menegaskan dalam pidato kemenangannya 5 tahun lalu bahwa sudah saatnya pribumi bangkit.
Bangkit maksudnya adalah untuk berkuasa di negerinya sendiri.
Berkuasa artinya berdaulat, mandiri, dan bersolidaritas. Untuk statement penting Anies Baswedan ini, seorang anti nasionalis melaporkan Anies ke polisi, karena dianggap rasis. Tapi, setelah 5 tahun Anies memerintah atau memimpin ibukota Jakarta, semangat Anies dalam tema pribumi ini ternyata tidak pernah surut.
Tepat seminggu lalu, ketika seorang supermodel senior, mempertemukan saya dengan Prof. Sri Edi Swasono, menantu Proklamator Indonesia, Bung Hatta, menceritakan syukur dan rasa harunya ketika dua tahun belakangan dia tidak lagi membayar pajak rumah Bung Hatta, sang Proklamator. Selama ini, Sri Edi, bahkan di antaranya harus menjual berbagai aset keluarga, untuk membayar pajak rumah itu, senilai Rp140 juta. Padahal penghasilan dia hanya dari gaji seorang dosen saja. Menurutnya, rumah pendiri Republik Indonesia harus bertahan di Menteng, agar merupakan bagian sejarah. Beberapa rumah strategis dengan sejarah pejuang nasional juga terpaksa dijual keturunannya, karena tidak mampu lagi membayar pajak.
Sejarah eksistensi pribumi ini menurut Profesor Sri Edi telah dijaga dengan baik dan penuh amanah oleh Anies Baswedan. Itu adalah salah satu komitmen Anies mengutamakan pribumi.
Komitmen Anies Baswedan pada isu pribumi juga terlihat pada kebijakan politik demografi di pantai utara Jakarta. Rezim perintahan Jokowi yang mendukung reklamasi pantai utara, telah menghadapi hadangan Anies Baswedan yang membatalkan proyek reklamasi. Namun, gencarnya gerakan kekuasaan dan kekuatan rezim Jokowi, telah membuat Anies Baswedan "terkalahkan". Meski tidak kalah sepenuhnya.
Namun, politik demografi Anies telah ditafsirkan sebagai upaya membatasi dominasi keturunan alias non pribumi di pantai utara Jakarta. Apalagi isu penjualan kawasan perumahan pantai utara saat itu, ada yang ditujukan kepada pembeli luar negeri, khususnya mereka yang berbahasa Mandarin.
Untuk kebijakan pengadaan perumahan murah, Anies juga merubah aturan luas kepemilikan tanah yang lebih kecil (1000 M2), dari sebelumnya 6000M2, agar pengusaha bisa terlibat bisnis perumahan murah. Alhasil, tuan tanah-tuan tanah pribumi bisa ikut menjadi pemain bisnis dalam pengadaan perumahan ini.
Mengurus masa depan kaum pribumi adalah politik identitas. Tapi dalam bahasa asing hal itu disebut nasionalisme. Jika tidak ada nasionalisme maka tidak ada yang berharga dari sebuah negara.
Orang-orang Skotlandia dan Irlandia di Inggris, sampai kini, tetap menjaga nasionalisme mereka untuk tidak didominasi orang-orang English.
Orang-orang yang memusuhi Anies, tentu saja mencari celah untuk menghujat Anies. Menghujat karena, pertama terjadi perbedaan pengelompokan historis masyarakat dan kedua, mungkin karena dibandari cukong-cukong/oligarki yang selama ini mencengkeram kuat bangsa kita yang berada di belakang rezim.
Kelompok yang berbeda secara historis tentu saja gagal menyerang Anies dalam dimensi nasionalisme. Sebab, nasionalisme dalam versi yang diperjuangkan Anies telah mewakili historis, sebagaimana dikembangkan oleh Bung Karno pada tulisannya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, 1926. Dan perjanjian kebangsaan kita dengan meletakkan perkataan Pribumi, bahkan sebelumnya, Pribumi dan Islam, dalam UUD 1945.
Jadi, siapapun yang menyerang Anies atas tuduhan atau argumentasi politik identitas telah salah dalam menafsirkan sejarah Bangsa Indonesia.
Karena politik identitas yang salah adalah menggunakan isu etnis dan agama untuk mendominasi. Sebaliknya, Anies Baswedan justru menggunakan identitas untuk emansipasi, afirmasi, dan anti kolonialisasi.
Anies Baswedan telah 5 tahun berjuang untuk kaum Pribumi. Bravo Anies Baswedan. Maju terus, pantang menyerah! (*)
LEAVE A REPLY