
JAKARTA - www.parahyangan-post.com - Ironi dalam pengelolaan ekonomi Indonesia terjadi usai proses reformasi politik. Saat ini rakyat tengah mengalami beberapa efek tata kelola pembangunan yang sebenarnya tak beranjak jauh dari buruknya pengelolaan ekonomi masa lalu.
Perkembangan pembangunan Indonesia, aspek pengelolaan ketenagakerjaan sebagai salah satu ironi. Berada di tengah perkembangan teknologi digital, angkatan kerja kita justru seakan tercaplok oleh kekuatan pemodal besar. Tiga hingga empat juta pengemudi kendaraan sewa online sebenarnya hanya menghasilkan pendapatan yang tidak seberapa besar. Itu disertai tiadanya jenjang karir, dan beberapa kelemahan lain. Tidak heran, kita makin mengarah kepada ketidakpastian pekerjaan.
Itu terungkap dalam diskusi bertajuk "Outlook Indonesia: Pandangan Aktivis Muda tantang Indonesia" yang digelar oleh Rumah Restorasi Indonesia (RRI). Diskusi tersebut menghadirkan tiga orang tokoh muda yakni Bhima Yudhistira Adhinegara (ekonom Indef), Zuhad Aji Firmantoro (akademisi UIA Jakarta), dan Moh. Syifa Amin Widigdo (akademisi UMY) di Kantor Rumah Restorasi Indonesia, Pancoran, Jakarta Selatan. Jumat (13/1/2023).
Para panelis menyoroti sejumlah hal, Bima, sapaan Bhima Yudhistira Adhinegara, menyorot beberapa aspek tatkala menilai perkembangan pembangunan Indonesia. Bima menilai aspek pengelolaan ketenagakerjaan sebagai salah satu ironi. Berada di tengah perkembangan teknologi digital, angkatan kerja kita justru seakan tercaplok oleh kekuatan pemodal besar.
Bima juga menilai bahwa penggunaan internet dalam beberapa sektor lapangan kerja di Indonesia tidaklah menandakan bergeraknya negara ini menuju kesejateraan warganya. Jumlah pekerja yang diuntungkan oleh internet sesungguhnya sangat sedikit. Selebihnya justru dimanfaatkan oleh konglomerat besar. "Hanya satu persen dari penduduk miskin yang menikmati internet untuk meningkatkan pendapatannya," kata Bima.
Menurutnya, bangsa ini menuju ketidakpastian pekerjaan. Semula diduga bahwa kita akan semakin terbuka untuk mengakses pintu-pintu kesejahteraan secara merata melalui penggunaan internet. Begitu juga dalam proses pengawasan terhadap praktik korupsi. Ternyata Indeks Persepsi Korupsi kita justru memburuk justru ketika kita telah berhasil memanfaatkan internet.
Berkaitan dengan kasus Kartu Prakerja, Bima juga menyorotnya sebagai sebuah paradoks dalam penggunaan internet untuk ketenagakerjaan. Anggapan publik pernah mengemuka bahwa program ini akan menjadikan proses tertibnya penyerapan tenaga kerja, ternyata menjadi bancakan proyek para pemilik modal besar dan beberapa orang yang dekat dengan poros kekuasaan. Kita bangga dengan adanya start-up unicorn dan decacorn, namun isinya tak memberi arti penting bagi kemajuan kesejahteraan umum. Segelintir orang ternyata dapat menjadikannya sebagai alat pemusatan kekayaan yang hanya bergulir di kalangan mereka saja secara ekstrim.
Pekerja hanya diakui sebagai economy yang bekerja dengan pendapatan yang tidak sebanding dengan perolehan para pemilik industri dan perdagangan digital itu. Mereka bukan buruh formal. Mereka adalah pekerja yang diiming-imingi dengan fleksibilitas waktu kerja, menggunakan kendaraan pribadi yang tersedia, menggunakan perangkat komunikasi seperti telepon seluler, namun pendapatannya belum pasti dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin meningkat.
Tiga hingga empat juta pengemudi kendaraan sewa online sebenarnya hanya menghasilkan pendapatan yang tidak seberapa besar. Itu disertai tiadanya jenjang karir, dan beberapa kelemahan lain. "Kita makin mengarah kepada ketidakpastian pekerjaan," ujar Bhima Yudhistira.
Era kita ini tidaklah makin bagus karena ada digitalisasi sebab itu sebenarnya digitalisasi itu adalah privilage. Bima tegas menyatakan bahwa masih banyak tenaga kerja kita baik yang sesungguhnya sedang terpinggir dari proses digitalisasi ini. "Ada ancaman tenaga kerja kita. Seolah dia bekerja, seolah dia menikmati efek digitalisasi tapi sebenarnya dia tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya," kata Bima.
Bima juga menyoroti, Pengelolaan anggaran atau fiskal yang buruk merupakan ironi lain. Indikatornya adalah rasio pajak terus mengalami penurunan. Meski telah diadakan berkali-kali tax amnesti namun tidak ada perubahan yang signifikan dalam rasio pajak.
Negara seharusnya dapat menarik pajak dari konglomerat yang menikmati fasilitas pembangunan di tengah ketidakmampuan rakyat banyak membayar pajak. "Konsepnya adalah kalau misanya suatu negara mengalami penurunan rasio pajak di tengah orang yang kaya karena booming harga komoditas semakin banyak maka solusi yang dapat ditempuh adalah memajaki orang-orang kaya," tegas Bima.
Negara tidak mendengar suara kaum muda yang menginginkan perubahan di bagian ini. Negara justru memberikan royalti nol persen kepada industri batu bara padahal sebenarnya kenaikan harga bukanlah akibat kinerja industri itu melainkan efek perubahan harga komoditas ini di dunia. "Kebijakan fiskal ini adalah kebijakan yang berantakan," kata Bima lagi. Itu karena seharusnya ada kenaikan pajak dari kenaikan harga komoditas ini namun yang terjadi adalah sebaliknya. Pemerintah memberikan keringanan pajak di berbagai sektor komoditas.
Bima juga menyorot program yang tidak terlalu penting, seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Menurutnya, penggunanya adalah kelas menengah ke atas saja. Belum lagi jika dikaitkan dengan uji kelayakannya yang masih bermasalah.
Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah proyek yang membingungkan menurut Bima. Seharusnya pemindahan ibukota adalah pemindahan birokrasi. Level ekonomi birokrasi Indonesia akan dibesarkan daripada level ekonomi swasta atau masyarakatnya. Saat tempat menjadi tidak relevan mengapa perlu memperbesar belanja birokrasi dengan pemindahan ibukota?
Isu lingkungan hidup juga perlu dihidupkan. Perlu satu concern atas masalah ini. Isu perubahan iklim ini perlu disentuh para bakal calon presiden nanti. Transisi energi perlu dibicarakan.
Terpisah, Zuhad Aji Firmantoro, menyorot kegentingan yang memaksa adalah aspek yang disorot oleh pembicara lain, Zuhad Aji Firmantoro, ketika membahas tentang Perppu Cipta Kerja. Menurutnya belum ada syarat kegentingan yang memaksa untuk mendorong lahirnya peraturan tersebut.
Sementara itu, Syifa Amin Widisdo menjelaskan, krisis dalam dialog tentang keseharian terutama diskursus keagamaan. Tak ada spirit mengenai diskursus untuk mendalami aspek kebangsaan yang akan dapat menghubungkan bangsa ini dengan histori tentang keislaman dan kebangsaan kita.
"Krisis kebangsaan yang lebih panjang. Kedalaman untuk mendiskusikan mengenai tradisi kebangsaan yang berkurang akan menyebabkan ketidakmapuan mengatasi masalah yang lebih kompleks, Ia mengkhawatirkan akan hadirnya generasi yang hanya memiliki tinjauan sangat sempit. Krisis visi keagamaan dan kebudayaan,” kata Syifa yang berbicara terakhir.
Penjelasan para aktivis muda itu menyangkal uraian Menteri Keuangan Sri Mulyani. Berdasarkan kinerja ekspor dan beberapa indikator pertumbuhan ekonomi secara makro, Sri Mulyani masih optimis terhadap masa depan ekonomi kita. "Di kuartal IV kita prediksi tetap kuat di atas 5 persen atau sekitar 5 persen karena kita melihat kondisi masyarakat, konsumsi masih tumbuh sangat kuat," demikian antara lain penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam CEO Banking Forum, Senin (9/1), seperti yang dilaporkan CCN Indonesia.
Senada tinjauan ekonomi, aspek reformasi hukum memang dinilai makin memprihatinkan. Berbagai media melaporkan bahwa dalam aspek kebijakan hukum hingga penegakan terlihat menimbulkan keraguan rakyat. Pemerhati kebijakan publik dari Demokrasiana Instutute, Zainal Abidin Riam, menjelaskan bahwa beberapa kebijakan hukum masih bermasalah.
Penghujung diskusi, Syifa mengatakan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) tahun keempat penurunan IPK Indonesia. Saat ini IPK Indonesia berada pada angka 51,90 lebih rendah daripada tahun lalu, yakni 54,65. “Indikator IPK yang turun membuat sya khawatir,” pungkas Syifa.
(Syaf/GN/PP)
LEAVE A REPLY