Oleh : Ilan Pappe
Direktur Pusat Eropa untuk Kajian Palestina
CATATAN ESAI - Ini judul aslinya “The Collapse of Zionism”, yang ditulis oleh Ilan Pappe dan dimuat di situs Sindecar, 24 Juni 2024 lalu. Sindecar merupakan jaringan dari The New Left Review. Ilan Pappe sendiri adalah seorang sejarawan dan aktivis sosialis ekspatriat Israel. Ia adalah profesor Jurusan Ilmu Sosial dan Kajian Internasional di Universitas Exeter, Inggris, direktur Pusat Eropa untuk Kajian Palestina dan salah seorang direktur Pusat Exeter untuk Kajian Etno-Politik. Ia lahir di Haifa, Israel, dan kini tinggal di Inggris. Terjemahan ini dibantu oleh mesin penerjemah dengan penyuntingan dari saya. Terjemahan ini dilakukan untuk kepentingan pengetahuan dan gerakan. (Hairus Salim HS)
Serangan Hamas pada 7 Oktober bisa diibaratkan seperti gempa bumi yang menghantam sebuah bangunan tua. Retakannya sudah mulai terlihat, namun kini semakin tampak bagian-bagian dasarnya. Lebih dari 120 tahun sejak dimulainya, dapatkah proyek Zionis di Palestina – gagasan untuk memaksakan negara Yahudi di negara Arab, Muslim, dan Timur Tengah – menghadapi kemungkinan kehancuran? Secara historis, banyak faktor yang dapat menyebabkan suatu negara tumbang. Bisa karena serangan terus-menerus oleh negara-negara tetangga atau akibat perang saudara yang kronis. Hal ini menyebabkan hancurnya lembaga-lembaga publik, yang membuatnya tidak mampu memberikan layanan kepada masyarakat. Seringkali hal ini dimulai sebagai sebuah proses disintegrasi yang lambat yang menunggu berbagai momentum dan kemudian, dalam waktu singkat, meruntuhkan struktur-struktur yang tadinya tampak kokoh dan kuat.
Kesulitannya terletak dalam menentukan indikator awal. Namun dalam kasus Israel, menurut saya tanda-tandanya lebih jelas dari sebelumnya. Sekarang kita sedang menyaksikan sebuah proses sejarah – atau, lebih tepatnya, permulaan dari sebuah proses sejarah – yang kemungkinan besar akan berujung pada jatuhnya Zionisme. Dan, jika diagnosis saya tepat, maka kita berarti juga sedang memasuki situasi yang sangat berbahaya. Karena ketika Israel menyadari betapa dahsyatnya krisis ini, mereka akan mengerahkan kekuatam yang ganas dan tanpa hambatan untuk mencoba membendung krisis ini, seperti yang dilakukan rezim apartheid Afrika Selatan pada hari-hari terakhirnya.
1. Indikator pertama adalah perpecahan dalam masyarakat Yahudi Israel. Saat ini mereka terdiri dari dua kelompok yang saling bersaing dan tidak dapat menemukan titik temu. Keretakan ini berasal dari anomali dalam mendefinisikan Yudaisme sebagai nasionalisme. Identitas Yahudi di Israel selama ini menjadi tidak lebih dari sekadar subjek perdebatan teoretis antara faksi-faksi agama dan sekuler, tapi kini identitas Yahudi telah menjadi perebutan karakter ruang publik dan negara itu sendiri. Hal ini diperjuangkan tidak hanya di media tetapi juga di jalan-jalan.
Salah satu kelompok bisa kita namai sebagai ‘Negara Israel’. Kelompok ini terdiri dari orang-orang Yahudi Eropa yang lebih sekuler, liberal dan sebagian besar tetapi tidak eksklusif kelas menengah dan keturunan mereka, yang berperan penting dalam pendirian negara itu pada tahun 1948 dan tetap hegemonik di dalamnya hingga akhir abad yang lalu. Jangan salah, dukungan mereka terhadap ‘nilai-nilai demokrasi liberal’ tidak memengaruhi komitmen mereka terhadap sistem apartheid yang diterapkan, dengan berbagai cara, pada seluruh warga Palestina yang tinggal di antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania. Keinginan dasar mereka adalah agar warga negara Yahudi dapat hidup dalam masyarakat yang demokratis dan pluralis, namun tidak termasuk orang-orang Arab di dalamnya.
Kelompok lainnya adalah ‘Negara Yahudi’, yang berkembang di Kawasan pendudukan di Tepi Barat. Kelompok ini mendapat dukungan yang semakin besar di dalam negeri dan merupakan basis pemilihan yang menjamin kemenangan Netanyahu pada pemilu November 2022. Pengaruhnya di kalangan atas militer dan badan keamanan Israel bertumbuh secara eksponensial. Negara Yahudi menginginkan Israel menjadi negara teokrasi yang mencakup seluruh sejarah Palestina. Untuk mencapai hal ini, mereka bertekad untuk mengurangi jumlah warga Palestina seminimal mungkin, dan mereka sedang mempertimbangkan pembangunan Kuil Ketiga di Masjid al-Aqsa. Para pendukungnya percaya bahwa hal ini akan memungkinkan mereka memperbarui era keemasan Kerajaan Alkitab. Bagi mereka, orang-orang Yahudi sekuler sama sesatnya dengan orang-orang Palestina jika mereka menolak untuk bergabung dalam perjuangan ini.
Kedua kelompok tersebut mulai bertikai dengan sengit sebelum tanggal 7 Oktober. Pada minggu-mingu pertama pasca penyerangan tersebut, mereka tampak mengesampingkan perbedaan mereka di hadapan musuh bersama. Namun ini hanyalah ilusi. Pertikaian jalanan kembali terjadi, dan sulit membayangkan hal yang memungkinkan adanya rekonsiliasi. Akibat yang lebih mungkin terjadi sudah terlihat di depan mata kita. Lebih dari setengah juta warga Israel, yang mewakili kalangan pendukung Negara Israel, telah meninggalkan negara tersebut sejak bulan Oktober, sebuah indikasi bahwa negara tersebut sedang dikuasai oleh Negara Yahudi. Ini adalah proyek politik yang tidak akan ditoleransi oleh dunia Arab, dan mungkin dunia pada umumnya, dalam jangka panjang.
2. Indikator kedua adalah krisis ekonomi Israel. Kalangan politik tampaknya tidak memiliki rencana apapun untuk menyeimbangkan keuangan publik di tengah konflik bersenjata yang terus berlanjut, selain semakin bergantung pada bantuan keuangan Amerika. Pada kuartal terakhir tahun lalu, perekonomian merosot hampir 20%; sejak saat itu, upaya pemulihan semakin rapuh. Janji Washington sebesar $14 miliar sepertinya kecil kemungkinan untuk membalikkan hal ini. Sebaliknya, beban ekonomi hanya kian bertambah buruk jika Israel meneruskan niatnya untuk berperang dengan Hizbullah sembari terus meningkatkan aktivitas militer di Tepi Barat, pada saat beberapa negara – termasuk Turki dan Kolombia – mulai menerapkan kebijakan sanksi ekonomi.
Krisis ini semakin diperburuk oleh ketidakbecusan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang terus-menerus menyalurkan uang ke pemukiman Yahudi di Tepi Barat namun tampaknya tidak mampu menjalankan departemennya. Konflik antara Negara Israel dan Negara Yahudi, serta peristiwa 7 Oktober, menyebabkan sebagian elit ekonomi dan keuangan memindahkan modalnya ke luar negeri. Mereka yang mempertimbangkan untuk merelokasi investasi mereka merupakan bagian penting dari 20% warga Israel yang membayar 80% pajak.
3. Indikator ketiga adalah kian meningkatnya isolasi internasional terhadap Israel, yang membuat Israel secara bertahap menjadi negara paria. Proses ini dimulai sebelum tanggal 7 Oktober namun semakin intensif sejak terjadinya genosida. Hal ini tercermin dari sikap yang belum pernah terjadi sebelumnya yang diadopsi oleh Mahkamah Pengadilan Internasional (International Court of Justice) dan Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court). Sebelumnya, gerakan solidaritas global Palestina mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam inisiatif boikot, namun gagal mendorong prospek sanksi internasional. Di sebagian besar negara, dukungan terhadap Israel tetap tak tergoyahkan di kalangan tokoh politik dan ekonomi.
Dalam hal ini, keputusan ICJ dan ICC baru-baru ini – bahwa Israel telah melakukan genosida, bahwa Israel harus menghentikan serangannya di Rafah, bahwa para pemimpinnya harus ditangkap karena kejahatan perang – harus dilihat sebagai upaya untuk memperhatikan pandangan masyarakat sipil global, sebagai lawan terhadap pandangan yang sekadar mencerminkan opini elit. Keputusan pengadilan tersebut belum meredakan serangan brutal terhadap masyarakat Gaza dan Tepi Barat. Namun hal-hal tersebut telah berkontribusi pada meningkatnya gelombang kritik yang ditujukan kepada negara Israel, yang semakin banyak datang dari atas maupun bawah.
4. Indikator keempat yang saling berhubungan adalah perubahan besar di kalangan pemuda Yahudi di seluruh dunia. Menyusul peristiwa sembilan bulan terakhir, banyak kalangan Yahudi kini tampaknya bersedia membuang hubungan mereka dengan Israel dan Zionisme dan secara aktif berpartisipasi dalam gerakan solidaritas Palestina. Komunitas Yahudi, khususnya di AS, pernah memberikan kekebalan terhadap Israel yang membuatnya tak bisa dikritik. Hilangnya, atau setidaknya hilangnya sebagian, dukungan ini mempunyai dampak besar terhadap kedudukan negara ini di dunia. AIPAC masih dapat mengandalkan Zionis Kristen untuk memberikan bantuan dan memperkuat keanggotaannya, namun AIPAC tidak akan menjadi organisasi yang tangguh tanpa adanya konstituen Yahudi yang signifikan. Kekuatan lobi semakin terkikis.
5. Indikator kelima adalah lemahnya tentara Israel. Tidak ada keraguan bahwa IDF tetap merupakan kekuatan yang tangguh dengan persenjataan mutakhir. Namun keterbatasannya terungkap pada tanggal 7 Oktober. Banyak warga Israel merasa bahwa militer sangat beruntung ketika itu, karena situasinya bisa menjadi jauh lebih buruk jika Hizbullah ikut bergabung dalam serangan terkoordinasi itu. Sejak itu, Israel telah memperlihatkan bahwa mereka sangat bergantung pada koalisi regional, yang dipimpin oleh AS, untuk mempertahankan diri dari Iran, yang serangan peringatannya pada bulan April melibatkan pengerahan sekitar 170 drone ditambah rudal balistik dan peluru kendali. Lebih dari sebelumnya, proyek Zionis bergantung pada pengiriman pasokan dalam jumlah besar secara cepat dari Amerika, yang tanpanya mereka bahkan tidak dapat melawan pasukan gerilya kecil di selatan.
Saat ini terdapat persepsi yang luas mengenai ketidaksiapan dan ketidakmampuan Israel untuk mempertahankan diri di kalangan penduduk Yahudi di negara tersebut. Hal ini menimbulkan tekanan besar untuk menghapuskan pengecualian wajib militer bagi orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks – yang berlaku sejak tahun 1948 – dan mulai merekrut ribuan dari mereka. Hal ini tidak akan memberikan banyak perbedaan di medan perang, namun hal ini mencerminkan besarnya pesimisme terhadap tentara – yang pada gilirannya kian memperdalam perpecahan politik di Israel.
6. Indikator terakhir adalah pembaharuan energi di kalangan generasi muda Palestina. Mereka jauh lebih bersatu, terhubung secara organik, dan memiliki prospek yang jelas dibandingkan elit politik Palestina. Mengingat populasi Gaza dan Tepi Barat termasuk yang termuda di dunia, kelompok baru ini akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jalannya perjuangan pembebasan. Diskusi-diskusi yang berlangsung di kalangan kelompok muda Palestina menunjukkan bahwa mereka serius untuk pendirian sebuah organisasi yang benar-benar demokratis – baik berupa PLO yang baru, atau sesuatu yang lain yang baru – yang akan mengejar visi emansipasi yang bertentangan dengan kampanye Otoritas Palestina untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara yang demokratis. Mereka tampaknya lebih memilih solusi satu negara dibandingkan model dua negara yang sudah terdiskreditkan.
Akankah mereka mampu memberikan respons yang efektif terhadap kemerosotan Zionisme? Ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab. Runtuhnya sebuah proyek negara tidak selalu diikuti dengan alternatif yang lebih cerah. Di wilayah lain di Timur Tengah – di Suriah, Yaman dan Libya – kita telah melihat betapa berdarah dan berlarut-larutnya dampak yang ditimbulkannya. Dalam hal ini, masalahnya adalah dekolonisasi, dan abad sebelumnya telah menunjukkan bahwa realitas pascakolonial tidak selalu memperbaiki kondisi kolonial. Hanya agensi Palestina yang dapat menggerakkan kita ke arah yang benar. Saya yakin, cepat atau lambat, perpaduan indikator-indikator ini secara eksplosif akan mengakibatkan kehancuran proyek Zionis di Palestina. Ketika hal ini terjadi, kita harus berharap bahwa ada gerakan pembebasan yang kuat untuk mengisi kekosongan tersebut.
Selama lebih dari 56 tahun, apa yang disebut sebagai ‘proses perdamaian’ – sebuah proses yang tidak membuahkan hasil apapun – sebenarnya tak lebih serangkaian inisiatif Amerika-Israel di mana Palestina diminta untuk menanggapi. Saat ini, istilah ‘perdamaian’ harus diganti dengan dekolonisasi, dan masyarakat Palestina harus mampu mengartikulasikan visi mereka untuk wilayah tersebut, dan kali ini Israel yang diminta untuk bereaksi. Hal ini menandai pertama kalinya, setidaknya selama beberapa dekade, gerakan Palestina memimpin dalam menyusun proposalnya untuk Palestina pasca-kolonial dan non-Zionis (atau apa pun nama entitas baru tersebut). Dalam melakukan hal ini, mereka mungkin akan menengok ke Eropa (mungkin ke wilayah Swiss dan model Belgia) atau, lebih tepatnya, ke struktur lama di Mediterania timur, di mana kelompok-kelompok agama yang sekuler secara bertahap berubah menjadi kelompok etnokultural yang bisa hidup berdampingan.
Terlepas, apakah orang-orang menyambut terbuka atau takut dengan gagasan ini, keruntuhan Israel sudah bisa diduga. Kemungkinan ini harus menjadi masukan bagi pembicaraan jangka panjang mengenai masa depan kawasan ini. Hal ini harus diagendakan karena masyarakat menyadari bahwa upaya selama satu abad, yang dipimpin oleh Inggris dan kemudian Amerika, untuk memaksakan negara Yahudi di negara Arab perlahan-lahan akan berakhir. Mereka cukup berhasil menciptakan masyarakat dengan jutaan pemukim, kebanyakan dari mereka sekarang adalah generasi kedua dan ketiga. Namun kehadiran mereka masih bergantung, seperti ketika awal mereka tiba, pada kemampuan mereka untuk memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan terhadap jutaan masyarakat adat, yang tidak pernah menyerah dalam perjuangan mereka untuk menentukan nasib dan kebebasan di tanah air mereka sendiri. Dalam beberapa dekade mendatang, para pemukim harus melepaskan pendekatan ini dan menunjukkan kesediaan mereka untuk hidup sebagai warga negara yang setara di Palestina yang telah dibebaskan dan didekolonisasi. (*)
LEAVE A REPLY