
Oleh : Abdul Halim *)
Masyhur dengan sebutan “the greatest medieval Muslim traveler,” nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim al-Lawati al-Tanji atau populer dengan sapaan Ibnu Batutah. Ia menulis sebuah karya monumental berjudul “Rihlah” yang merangkum perjalanan spiritual dan intelektualnya sejauh 75.000 mil atau setara dengan 120.000-kilometer dari tanah kelahirannya di Tangier, Maroko, antara tahun 1325-1355. Joshua J. Mark (2019) menyatakan bahwa, “Perjalanan Ibnu Batutah melintasi 3 benua dan menyinggahi 40 negara.”
Di Tanah Suci, ia menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu al-Qur’an dan memperluas jejaring komunitas epistemik dengan ulama-ulama kenamaan di sana. Paska sebulan di Mekkah dan Madinah, tepatnya pada bulan November 1326, Ibnu Batutah melanjutkan rihlahnya ke Baghdad, ibukota Irak yang didirikan pada abad ke-8. Dalam kesaksiannya, sebagaimana ditulis oleh Daniel E. Harmon (2017), ia mengatakan, “Baghdad adalah pusat kemajuan peradaban Islam yang penuh kedamaian.”
Sejarah mencatat, penulisan “Rihlah” ini diprakarsai oleh Sultan Maroko, Abu Inan Faris (1329-1358), sekembalinya Ibnu Batutah ke Maroko pada tahun 1354. Ia memintanya untuk menuliskan laporan perjalanan dari Afrika Utara dan Afrika Barat, Eropa Selatan dan Eropa Timur, Timur Tengah, India di Asia Selatan, dan Asia Tengah, hingga berlabuh di Tiongkok dan Pulau Sumatera, Indonesia, dengan bantuan seorang penyair bernama Ibnu Juzayy al-Kalbi.
Bagian pertama dari laporan perjalanan Ibnu Batutah yang penulis miliki, ditulis menggunakan aksara Arab dan dicetak setebal 588 halaman pada tahun 1322 Hijriah. Sayangnya, sampai dengan awal abad ke-19, menurut K. Kris Hirst (2018), “Rihlah” tak banyak dikenal di luar dunia Islam hingga Ulrich Jasper Seetzen (1767-1811) dan Johan Ludwig Burckhardt (1784–1817) memperoleh koleksi manuskrip di Timur Tengah, di antaranya berisi ringkasan teks Ibnu Juzayy setebal 94 halaman. Terjemahan bahasa Inggris pertama dari salinan tersebut diterbitkan pada tahun 1829 oleh Samuel Lee.
Dalam perkembangannya, lima manuskrip lainnya ditemukan oleh Perancis saat menaklukkan Aljazair pada tahun 1830. Salinan terlengkap yang ditemukan di Aljazair tersebut dibuat pada tahun 1776, namun fragmen tertua tertulis bertanggal 1356. Fragmen tersebut diberi judul “A Gift to Those Who Contemplate the Wonders of Cities and the Marvels of Travelling or The Travels.” Teks lengkap “Rihlah” ini, dengan terjemahan paralel dalam bahasa Arab dan Perancis, pertama kali muncul dalam empat volume antara tahun 1853–1858 oleh Dufrémery dan Sanguinetti. Teks lengkapnya diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Inggris oleh Hamilton A.R. Gibb pada tahun 1929.
Rihlah Ibnu Batutah ini memberikan teladan kepada kita, terlebih lagi, di zaman yang serba canggih ini, setiap orang adalah penulis yang memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan, kemerdekaan untuk bersikap, dan kedaulatan pikiran untuk menuangkan gagasannya, hatta dari pengalaman hidupnya sekalipun.
Di dalam novel “Anak Semua Bangsa,” Pramudya Ananta Toer seolah memberi pesan kepada kita, “Tahukah engkau mengapa aku menyayangimu lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Menulis adalah representasi dari kebebasan, kemerdekaan, dan kedaulatan diri manusia.
Meski berlainan latar belakang, episode sejarah yang dilakoni oleh Ibnu Batutah ini juga menyadarkan bangsa Latvia bahwa mereka ingin menulis sejarah bangsanya di atas pondasi kebebasan (freedom), kemerdekaan (independence), dan kedaulatan (sovereignty). Tiga mantra kehidupan inilah yang mendasari perjuangan bangsa Latvia menentang kolonialisme Jerman, Polandia, Swedia, dan Rusia, dan mengemuka di balik megahnya “Freedom Monument” di kota Riga.
*) Tulisan ini diinisiasi di Riga, Latvia, pada tanggal 27 Maret 2024, dan disempurnakan di Jyväskylä, Finlandia, pada tanggal 24 Mei 2024
LEAVE A REPLY