Home Opini Rekening Gendut Mafia Narkoba, Pemerintah Jangan Salah Fokus!

Rekening Gendut Mafia Narkoba, Pemerintah Jangan Salah Fokus!

1,204
0
SHARE
Rekening Gendut Mafia Narkoba, Pemerintah Jangan Salah Fokus!

Oleh: Deti Kutsiya Dewi,
Alumni PNJ 


Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi Undang-Undang (UU) dalam Sidang Paripurna, Kamis 7 Oktober 2021. UU tersebut menjadi rujukan bagi pemerintah memburu orang-orang yang wajib membayar pajak. Pemerintah juga bergerak cepat menelusuri aset-aset serta aliran dana pada rekening para pejabat negara dan orang-orang kaya di Indonesia. Hingga akhirnya, ditemukan adanya rekening gendut dengan nominal triliunan rupiah yang disinyalir bersumber dari sindikat perdagangan narkoba. Nominal rekening tersebut mencapai Rp120 triliun. 

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Erdiana Rae menyebutkan, banyak korporasi dan individu yang terlibat dalam aliran dana rekening tersebut sebesar Rp120 triliun yang ditemukan PPATK. Untuk angka Rp120 triliun, merupakan hasil hitungan PPATK dari periode 2016-2020. Dian juga menyebutkan aliran dana tersebut tidak hanya melibatkan sindikat narkoba dalam negeri saja, melainkan melibatkan sindikat narkoba dari luar negeri juga. Selain itu, Dian juga menyebutkan ada 1.339 individu dan korporasi yang PPATK periksa dan catat terkait aliran transaksi dana tersebut. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas (Karopenmas Divhumas) Polri, Brigjen Rusdi Hartono mengatakan, Bareskrim Polri juga sedang menindaklanjuti temuan PPATK terkait aliran dana tersebut dengan melakukan investigasi bersama PPATK. 

Dari temuan PPATK di atas seakan menegaskan Indonesia merupakan surganya peredaran narkoba. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), organisasi PBB untuk urusan narkoba dan kejahatan, memaparkan Indonesia masuk dalam segitiga emas perdagangan metafetamin atau sabu. Selain itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo juga menyebutkan Indonesia menduduki peringkat pertama di ASEAN dan peringkat ke-3 di dunia setelah Meksiko dan Kolombia dalam peredaran narkoba. 

Dikutip dari malut.bnn.go.id berdasarkan penelitian BNN di 2017, jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia mencapai lebih dari 3 juta orang pada kelompok usia 10 hingga 59 tahun. Sungguh miris, kalangan pelajar dan mahasiswa menyumbang angka pengguna narkoba sebesar 27 persen di Indonesia. Pada 2019 Kepala BNN Komisaris Jenderal Polisi Heru Winarko menyebut, penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja meningkat, yakni 24 hingga 28 persen remaja yang menggunakan narkotika. Belum lama ini, BNN juga menemukan adanya perdagangan narkoba yang dilakukan oleh puluhan mahasiswa di salah satu universitas ternama di Indonesia dan sudah beroperasi selama setahun lamanya. 

Tentunya fenomena ini menunjukkan seharusnya kita dapat mengambil langkah perubahan. Perubahan yang dilakukan bukan sekadar mengampanyekan bahaya narkoba, jika masyarakat sendiri masih terkungkung dalam sistem hidup sekuler liberal yang tidak memperhatikan halal-haram dan hanya mengagungkan kebebasan dalam hidup. Upaya sosilasisasi terkait narkoba dalam sistem ini hanya akan menjadi lip service dan tidak dapat menuntaskan permasalahan. 

Selain itu, sanksi terkait narkoba dalam sistem ini juga masih berorientasi pada manfaat, misalnya saja dalam temuan PPATK terkait aliran dana sindikat narkoba diatas bisa menjadi akses pemerintah untuk melakukan pemungutan pajak. Sedangkan sanksi terkait tindak pidana narkoba yang ada tidak memberikan efek jera, akibatnya bisa menjadi peluang kerja sama antara oknum penegak hukum dan mafia narkoba dengan imbalan tertentu. 

Publik berharap pengungkapan data kejahatan yang ditemukan oleh PPATK ini bukan hanya dilakukan untuk menarik pungutan (pajak) saja, tapi semestinya dapat menjadi pijakan dalam memberantas jaringan narkoba yang terjadi dan menutup semua pintu berkembangnya aktivitas terlarang yang bisa menjerusmuskan ribuan anak bangsa dalam kerusakan. Namun hal tersebut mustahil untuk dilakukan apabila sistem yang masih bercokol di negara ini masih menggunakan sistem sekuler liberal. Hal ini dikarenakan sistem ini cenderung menjaga bisnis narkoba tetap eksis di dunia, karena jual beli narkoba dapat memberikan keuntungan yang sangat besar bagi para produsen dan pengedarnya. 

Permasalahan narkoba kini sudah menyentuh ranah sistemik, maka solusi yang diupayakan dan dilaksanakan juga harus sistemik dan solusinya tidak mungkin berasal dari sistem yang digunakan saat ini. Satu-satunya solusi yang dapat memberikan penyelesaian masalah yang komprehensif dan konsisten hanyalah berasal dari sistem Islam (khilafah). Islam akan menilai suatu perkara berdasarkan halal dan haram menurut syariat, bukan berdasarkan asas manfaat semata. 

Dalam kasus ini narkoba adalah haram, karena merupakan zat yang memabukkan dan melemahkan sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud yang menyatakan, Rasulullah SAW telah melarang segala sesuatu yang memabukkan (muakir) dan melemahkan (mufattir). Selain itu, narkoba dapat menimbulkan bahaya bagi manusia dan hukum asal benda yang berbahaya adalah haram. 

Oleh karena itu, sistem Islam akan memberantas sindikat mafia narkoba secara menyeluruh hingga ke akar-akarnya. Maka siapa pun yang mengonsumsi, mengedarkan dan memproduksi narkoba, mereka telah melakukan kemaksiatan dan akan mendapat sanksi. Harta yang mereka dapatkan dari narkoba juga akan disita sebagai harta haram untuk dikembalikan pada kas negara dan masuk dalam pos harta haram. 

Dalam sistem Islam, kemaksiatan berarti tindak kriminal yang harus dihukum menggunakan sanksi tazir. Dalam kejahatan narkoba, Abdurrahman Maliki dalam Nizhamul Uqubat halaman 81 dan 98 serta Saud Al Utaibi di Al Mausuah Al Jina’iyah Al Islamiyah 1/708-709 menyebutkan sanksi tazir berbeda sesuai tingkat kesalahannya, pengguna narkoba yang baru berbeda hukumannya dengan pengguna narkoba yang lama, hal itu juga berbeda bagi pengedar narkoba atau pemilik pabrik narkoba. Tazir dapat sampai pada tingkat hukuman mati. 

Sistem sanksi ini berfungsi sebagai zawajir atau mencegah orang lain berbuat pelanggaran tersebut dan jawabir sebagai penebus dosa manusia di kehidupan akhirat kelak. Hal ini hanya akan diterapkan oleh sistem Islam, namun sebelum sanksi tersebut diberlakukan, masyarakat akan diberikan edukasi oleh negara terlebih dahulu, mereka akan dikuatkan dari segi keimanan dan ketakwaannya sehingga mereka dapat mengontrol diri untuk tidak melakukan kemaksiatan. Hal ini juga akan didukung dengan sistem pendidikan Islam yang difasilitasi oleh negara yang berasaskan akidah Islam, sehingga masyarakat yang terbentuk akan melakukan kontrol atas segala perbuatan berdasarkan halal dan haram yang telah ditentukan oleh syariat. 

Oleh karena itu sudah saatnya kita memperjuangkan sistem Islam agar perubahan dapat dilakukan secara sistemik, sehingga pemecahan masalah secara komprehensif dan konsisten dapat terwujud. Wallahua’lam bissawab.(*)