Home Opini Polusi Udara Kian Parah, Pemerintah Menutup Mata

Polusi Udara Kian Parah, Pemerintah Menutup Mata

1,430
0
SHARE
Polusi Udara Kian Parah, Pemerintah Menutup Mata

Keterangan Gambar : Foto : ilustrasi polusi udara (sumber : ist/net/pp)

Oleh : Bella Lutfiyya
Mahasiswi, Tinggal di Jakarta


Peringatan Hari Udara Bersih Internasional untuk Langit Biru yang jatuh pada 7 September lalu seakan kehilangan makna. Langit yang biasanya biru kini memudar menjadi kelabu, bukan karena mendung, melainkan oleh polusi udara yang kian memburuk. Realitas ini mencerminkan kondisi udara yang kita hirup sehari-hari. Warna langit cerah yang dulu menjadi simbol kesejukan kini tertutupi kabut asap akibat ulah manusia.

Ratusan, bahkan ribuan kendaraan mengeluarkan emisi gas berbahaya di jalanan. Sementara itu, cerobong asap dari pabrik-pabrik menjulang tinggi, memuntahkan kepulan asap hitam ke udara. Pembakaran lahan terus terjadi tanpa kendali, diiringi dengan penebangan pohon yang menghilangkan paru-paru bumi. Polusi udara secara diam-diam mengancam kehidupan manusia. Tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga mengancam kesehatan kita. Setiap tahun, delapan juta nyawa hilang akibat udara yang kotor. Seruan gerakan #CleanAirNow semakin digemakan, menyerukan perlunya investasi pada udara bersih demi masa depan yang lebih sehat.

Penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) terus digaungkan sebagai solusi. Namun, hal ini tampak hanya sebagai solusi parsial yang menutupi akar masalah sebenarnya. Industrialisasi yang sembrono terus didorong demi pertumbuhan ekonomi, tetapi justru menambah tingkat pencemaran yang tak terelakkan (unep.org, 7 September 2024).

Polusi udara tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan, tetapi juga menghambat perekonomian. Setiap permasalahan pasti membutuhkan solusi, dan solusi untuk mengatasi polusi udara ini tentu saja membutuhkan dana yang besar. Pendanaan untuk pengalihan subsidi bahan bakar fosil, penyediaan teknologi memasak yang lebih bersih, serta keterlibatan sektor swasta dalam investasi EBT semuanya membutuhkan biaya tinggi. Di balik solusi ini, sebenarnya ada tujuan ekonomi yang menguntungkan segelintir pihak. Inilah bukti nyata kerusakan sistem kapitalisme yang hanya menambal masalah tanpa menyelesaikannya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Kepemilikan umum ini tidak hanya terbatas pada tiga hal tersebut, tetapi juga mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat luas. Udara bersih adalah hak semua makhluk hidup, dan penyelesaiannya harus demi kepentingan bersama. Jika bicara tentang bisnis, kita tahu siapa yang diuntungkan, bukan kepentingan bersama, melainkan oligarki semata.

Kapitalisme mengarahkan kita pada logika untung-rugi yang serba materialistis. Tak heran, kontribusi besar yang sudah diberikan seakan tidak pernah kita rasakan manfaatnya. Sistem kapitalis membuat penyelesaian masalah hanya dilakukan setengah-setengah, sementara lubang permasalahan semakin besar. Di bawah sistem ini, para pemegang kekuasaan adalah pemenangnya. Mereka lebih mementingkan keuntungan pribadi, sementara urusan rakyat sering kali diabaikan.

Berbeda dengan Islam, yang dengan tegas melarang negara atau individu menguasai harta milik umum. Negara dalam Islam berkewajiban mengelola harta milik umum, seperti air dan tambang, lalu mengembalikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kebutuhan rakyat dipenuhi secara keseluruhan tanpa ada kekurangan.

Saat ini, para penguasa semakin rakus akan kekuasaan, mengambil alih semua yang seharusnya menjadi milik rakyat untuk dijadikan ladang bisnis. Mereka tampak menutup mata terhadap masalah yang terjadi dan menutup telinga dari teriakan rakyat. Mereka fokus hanya pada tujuan pribadi, tanpa peduli pada lingkungan sekitar.

Rakyat hanya dianggap gangguan kecil, seperti nyamuk yang ditepis agar tak mengganggu. Namun, mereka lupa bahwa mereka adalah pemimpin yang diberi amanah untuk memelihara urusan rakyat. Janji manis yang pernah diucapkan saat kampanye kini diabaikan. Setelah terpilih, mereka melarikan diri dari tanggung jawab. Tidakkah mereka merasa malu? Udara pun dikuasai, pasir pantai diperjualbelikan, hutan-hutan digunduli, dan rakyat dibiarkan tanpa sosialisasi. Negeri ini mau dibawa ke mana di bawah kepemimpinan oligarki?