Home Opini Perpanjangan Izin Freeport, Pengkhianatan Pemerintah pada Rakyat Indonesia

Perpanjangan Izin Freeport, Pengkhianatan Pemerintah pada Rakyat Indonesia

430
0
SHARE
Perpanjangan Izin Freeport, Pengkhianatan Pemerintah pada Rakyat Indonesia

Keterangan Gambar : Bellinda Nasywa Azzahra, Mahasiswi Universitas Indonesia (UI)

Oleh : Bellinda Nasywa Azzahra
Mahasiswi Universitas Indonesia (UI)


PRESIDEN - Joko Widodo (Jokowi), pada 17 Juni 2024, secara resmi memperpanjang izin operasi PT Freeport Indonesia yang mencakup perpanjangan izin ekspor hingga 31 Desember 2024. Langkah ini dianggap oleh sebagian kalangan, baik masyarakat maupun pengamat sebagai bentuk kebijakan pro-kapitalis, dan penghianatan pemerintah pada rakyat Indonesia karena perusahaan asing akan semakin leluasa mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia. Meskipun terdapat syarat penambahan saham untuk Indonesia, namun sejatinya kebijakan ini tetap merugikan rakyat Indonesia sebagai pemilik sah SDA. 

Daerah pertambangan di dataran tinggi Tembagapura, Mimika, Papua Tengah merupakan salah satu dari sekian banyaknya sumber daya alam Indonesia yang telah lama dikuasai oleh pihak asing. Bagaimana tidak, sejak 1967 hingga saat ini, hasil tambang kawasan tersebut semakin dikuras habis untuk menguntungkan perusahaan Amerika Serikat dan dalang-dalang pemilik modal di belakangnya. 


Dikutip dari CNBC, PT Freeport-McMoran Inc, mencatatkan pendapatan US$ 22,78 miliar atau setara Rp 341,70 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$) sepanjang 2022. Sungguh, nominal uang yang sangat tinggi, tapi adakah rakyat Papua sebagai pemilik lahan merasakan hasil sumber dayanya tersebut? Kenyataan pahitnya adalah tidak sama sekali, justru keadaannya amat berbanding terbalik. Rakyat Papua saat ini hanya dipekerjakan dan dimanfaatkan tenaganya saja oleh para kapitalis. Mereka hidup dalam kondisi kemiskinan, kelaparan, dan serba kekurangan. Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mencatat kemiskinan ekstrem di Papua adalah yang tertinggi, yaitu sebesar 7,67% per Maret 2023, jauh di atas angka kemiskinan ekstrem nasional sebesar 1,12%. 

Atas kondisi kesengsaraan ini, rakyat berharap kepada negara agar dapat membuat kebijakan yang mampu melindungi rakyatnya. Namun pemerintah malah menutup mata dan bahkan mengkhianati  dan menambah luka pada rakyatnya sendiri. Terbukti dengan disetujuinya perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Freeport yang berakhir 2041 oleh presiden Jokowi hingga 20 tahun. 

Negara yang seharusnya berperan sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan rakyatnya, justru melanggar konstitusi dan menindas rakyatnya sendiri. Para penguasa dan pemegang jabatan tidak lagi ingat dengan janji dan amanah mereka untuk mengurus rakyat dengan adil. Mereka justru bekerja sama dengan para oligarki, membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat demi keuntungan pribadi. 


Berdasarkan fakta ini, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sumber daya alam dengan sistem kapitalisme merupakan akar masalahnya. Hal ini terbukti dengan timbulnya berbagai masalah termasuk meningkatnya tingkat kemiskinan di kalangan rakyat dan kesejahteraan masyarakat, serta kerusakan lingkungan yang parah akibat eksploitasi yang berlebihan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Hal ini terjadi karena prinsip dasar ekonomi pada sistem kapitalisme adalah kebebasan, termasuk dalam urusan kebebasan kepemilikan (property rights). 

Kebebasan kepemilikan memberi peluang besar bagi setiap individu untuk memiliki dan menguasai kekayaan alam, termasuk tambang. Hari ini, negara telah gagal dalam mengemban tanggung jawabnya untuk mengelola SDA dan malah memberikan keleluasaan pada pihak asing maupun swasta untuk mengeksploitasinya. Akibatnya, pemilik modal yang diuntungkan, sementara rakyat merugi dan tidak dapat merasakan hasil sumber daya alam negrinya sendiri. 

Sedih tapi nyata, inilah wajah asli sistem ekonomi-politik Indonesia saat ini. Masalah ini telah menjadi siklus yang sistemik karena adanya kerja sama antara pejabat dengan oligarki. Selain itu, ekonomi kapitalis juga berorientasi pada keuntungan, sehingga segala kebijakan yang dipilih tidak menyandarkan pada halal/haram dan benar/salah, namun sebatas berorientasi pada keuntungan sebanyak-banyaknya. 

Islam merupakan agama yang komprehensif dan memiliki solusi atas seluruh permasalahan manusia, termasuk atas permasalahan bidang ekonomi ini. Dalam sistem ekonomi Islam, konsep kepemilikan diatur dengan jelas berdasarkan al-Qur’an dan sunnah. Air, hutan, dan energi adalah kepemilikan umum dan tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta, melainkan harus dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat. Negara bertanggung jawab memastikan bahwa hasil pengelolaan sumber daya alam tersebut dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat. 

Dengan menggunakan uang kas negara, sumber daya alam seperti tambang akan diolah oleh negara Khalifah berdasarkan aturan Islam, tanpa ada campur tangan dari pihak asing. Adapun hasil keuntungan yang diperoleh, diperuntukkan untuk kemaslahatan seluruh rakyatnya. Hal ini telah dicontohkan dengan kisah Rasulullah SAW ketika menarik kembali tambang garam yang diberikan kepada Abyadh bin Hamal karena dianggap sebagai kekayaan umum. 

Sebagai seorang pemimpin negara daulah Islam, Rasulullah SAW terbukti mengelola sumber daya alam sesuai syariat Islam, sehingga terbentuk negara dengan rakyat yang sejahtera, kaya, berdaulat, berkekuatan adidaya. Kas negara yang besar dari pengelolaan SDA dialokasikan untuk pelayanan kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. 


Jika kita refleksikan kembali, seluruh sumber daya alam yang ada di dunia ini merupakan ciptaan Allah SWT. Maka sudah seharusnya pengelolaan atas SDA ini dikembalikan menggunakan aturan Allah yang terdapat dalam syariat Islam. Sistem ekonomi dalam Islam satu-satunya sistem yang adil, benar, dan akan melahirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Hal ini dapat dicapai melalui penerapan syariat Islam oleh negara Khilafah Islamiyah ‘alaa minhajin nubuwwah.(*)