
Oleh : Aji Setiawan/Penulis Tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah
Di Indonesia sendiri penyalahgunaan alkohol juga menjadi masalah kesehatan yang cukup serius. Sering munculnya pemberitaan tentang tata niaga minuman beralkohol setidaknya merupakan indikasi bahwa minuman beralkohol banyak dikonsumsi oleh masyarakat di negara dengan mayoritas penduduk muslim ini.
Sudah sering terungkap bahwa minuman beralkohol hanya akan memberikan efek negatif (mabuk) bagi peminumnya, bahkan pada beberapa kasus justru berakibat pada kematian, namun setiap tahun jumlah pecandu minuman beralkohol bukan berkurang, justru semakin meningkat. Bagi beberapa kalangan, mabuk minuman beralkohol, dianggap sebagai sarana untuk unjuk kegagahan atau kejantanan.
Penyalahgunaan alkohol yang terjadi di Indonesia menurut WHO, (WHO SEARO, 2002), dari tahun ke tahun selalu meningkat; Tahun 1986 tercatat 2,6% pria pengkonsumsi alkohol yang berusia rata-rata 20 (dua puluh) tahun ke atas, sementara untuk wanita tercatat sekitar O,8%.
Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada 2007 jumlah remaja pengonsumsi alkohol masih di angka 4,9 persen. Tapi pada 2014, berdasarkan hasil riset yang dilakukan GeNAM jumlahnya melonjak hingga angka 23 persen dari total jumlah remaja saat ini sekitar 63 juta jiwa atau sekitar 14,4 juta orang.
Belum lama ini enam nyawa pemuda dari bonek Persebaya tewas melayang usai meminum miras oplosan di Subang, Jawa Barat. mereka datang dari Surabaya dengan niat ikut meramaikan Kongres PSSI di Bandung.
Minuman keras dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, sepertinya sudah tidak asing lagi. Saat ini, minuman beralkohol dikonsumsi oleh remaja, orang dewasa, hingga orangtua yang sudah berumur, kesadaran masyarakat kita tentang bahaya minuman beralkohol masih sangat minim. Seperti halnya masyarakat yang hidup di Jalur Pantura, mereka terbiasa merayakan pesta sehabis panen dengan minuman beralkohol.
Kehidupan nelayan di laut pun, tidak jauh dari pengaruh minuman beralkohol, malah dikonsumsi pada saat mereka melaut, dengan alasan untuk menghangatkan badan dari terpaan angin laut. Sebenarnya alasan tersebut hanya sekedar menutupi bahaya dari minuman beralkohol, kehidupan masyarakat tepi laut yang seperti itu terbentuk, seperti sudah menjadi kebiasaan, maka dari itu berlangsung turun temurun, dimana kehidupan mereka tidak bisa lepas dari minuman beralkohol.
Dari segi kehidupan sosial, minuman beralkohol sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial. Biasanya, seseorang mengonsumsi minuman keras, cenderung didorong oleh keadaan ekonomi minim, kondisi keluarga yang tidak harmonis, masalah yang dihadapi dan lain sebagainya.
Masyarakat kita belum sadar bahwa dengan mengonsumsi minuman beralkohol, mereka hanya mendapatkan banyak kerugian, untuk itu pemerintah diharapkan dapat mencari solusi terbaik untuk kasus-kasus minuman beralkohol yang masih marak di negara kita ini.
Konstitusi Indonesia Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menyebulkan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya kehidupan masyarakat di dalamnya terbentuk dalam bingkai ajaran agama. Secara ideal sebagai negara yang beragama, akan lebih mudah mengatur perkembangan minuman beralkohol atau yang sering juga disebut minuman keras (miras) yang setiap saat dapat mengancam jiwa manusia.
Perlu disadari bahwa adanya tuntutan masyarakat untuk membuat peraturan hukum/undang-undang tentang larangan minuman beralkohol (UU Minol), jangan disalah-artikan bahwa itu adalah keinginan/kepentingan sebagian umat Islam dalam rangka menerapkan syariat Islam. Tuntutan dibentuknya UU tentang Larangan Minuman Beralkohol lebih dikarenakan bahaya minuman keras itu sendiri dalam kehidupan manusia.
Sebagai contoh di Amerika Serikat meskipun pemerintah AS tidak merujuk pada agama Islam, Presiden Reagan (1986) telah melakukan kampanye larangan minuman beralkohol (say no to alcoho) dan memberlakukan UU Larangan Minuman Beralkohol yang pada intinya berupa pelarangan dengan pengecualian.
Memang sungguh dilematis di negeri kita ini. Dalam konstitusi menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, namun dalam menyikapi perkembangan tentang minuman berlakohol pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa.
Perkembangan minuman beralkohol tidak hanya menjadi ancaman bagi umat Islam yang secara tegas mengharamkan di dalam kitab sucinya, namun minuman beralkohol juga merupakan ancaman bagi hidup dan kehidupan manusia dimuka bumi ini, khususnya di Indonesia. Sedangkan hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dalam kehidupan manusia merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945) yang berbunyi: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Hak dasar ini tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dan harus dijunjung tinggi dan dihormati agar setiap orang dapat menikmati kehidupannya dengan sejahtera. Salah satu program pembangunan nasional adalah meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan rehabiitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut. Dan untuk mencapai hal tersebut, diperlukan pengaturan tentang pengendalian dampak minuman keras terhadap kesehatan.
Adapun dampak negatif minuman beralkohol antara lain sebagai berikut; GMO (Gangguan Mental Organik), yang mengakibatkan perubahan perilaku seperti bertindak kasar, sehingga bermasalah dengan keluarga,masyarakat, dan kariernya. Perubahan fisiologis, seperti mata juling, muka merah, dan jalan sempoyongan. Kemudian, perubahan psikologi,seperti susah konsentrasi, bicara melantur, mudah tersinggung, dan lainnya.
Dampak kedua, merusak Daya Ingat. Pada usia remaja (17-19 tahun), otak manusia masih mengalami perkembangan pesat, oleh karena itu, sayang sekali jika remaja sudah biasa dengan kecanduan minuman beralkohol, karena akan menghambat perkembangan memori dan sel-sel otak.
Ketiga, Odema Otak, dimana akibat miras mengakibatkan pembengkakan dan terbendungnya darah pada jaringan-jaringan otak sehingga mengakibatkan gangguan koordinasi dalam otak secara normal.
Keempat, Sirosis Hati. Penyakit ini ditandai oleh pembentukan jahngan ikat disertai nodul pada hati karena infeksi akut dan virus hepatitis yang menyebabkan peradangan sel hati yang luas dan kematian sel.
Dampak Kelima, dapat menyebabkan Gangguan Jantung. Mengonsumsi minuman beralkohol, apalagi kecanduan, bisa mengakibatkan gangguan Jantung, dimana lama kelamaan Jantung tidak akan berfungsi dengan baik.
Keenam, Gastrinitis, yaitu karena kecanduan minuman keras dimana menyebabkan radang, atau luka pada lambung.
Ketujuh Paranoid, yaitu gangguan kejiwaan karena kecanduan dimana seolah-olah merasa dipukuli, sehingga perilakunya kasar terhadap orang-orang yang ada disekitarnya, atau seperti ada bisikan-bisikan untuk melakukan sesuatu, dan ia akan melakukan sesuatu diluar nalarnya.
Untuk mengatasi dampak negatif terhadap penggunaan minuman beralkohol seperti tersebut diatas, seyogyanya Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur tentang minuman beralkohol. Namun, sangat disayangkan, hingga saat ini belum ada langkah-langkah kongkrit berupa regulasi untuk melarangnya, bahkan Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, telah mengeluarkan instruksi untuk mencabut beberapa Peraturan Daerah yang mengatur tentang minuman beralkohol, dengan alasan bertentangan dengan peraturan per-undang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, terkesan Pemerintah membiarkan atau mengambangkan persoalan minuman beralkohol ini.
Minuman beralkohol pada hakekatnya dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani, dapat mendorong terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mengancam kehidupan masa depan generasi bangsa, yang pada gilirannya akan merusak kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, diperlukan turut campur atau pelibatan negara, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, sebagai penyelenggara negara sudah saatnya mengesahkan rancangan undang-undang yang mengatur tentang larangan minuman beralkohol.
Dengan disahkannya undang-undang tentang minuman beralkohol ini adalah demi terciptanya rasa keadilan masyarakat, landasan sosiologis merupakan kebutuhan masyarakat akan rasa keamanan, ketertiban, dan kenyamanan, dan landasan yuridis dijamin oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia, dimana setiap warganegara berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan sehat.
Adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur ethanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol (Wikipedia, Ensiklopedia Bebas, 3 Pebruari 2012).
Berdasarkan fakta inilah, kemudian Komisi Fatwa MUI menetapkan batas maksimal kandungan alkohol (sebagai senyawa tunggal, ethanol), yang digunakan sebagai pelarut dalam produk pangan, yaitu 1 (satu) persen. Bagi konsumen Muslim, minuman yang merupakan hasil permentasi yang menghasilkan minuman beralkohol, adalah haram untuk dikonsumsi.
Bahwa minuman beralkohol sebenarnya adalah suatu bahan yang antara lain mengandung alkohol, dimana didalamnya juga berisi ethanol, yang kalau penggunaannya tidak sesuai dengan aturan yang tercantum dalam UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, sangat berbahaya untuk kesehatan manusia.
Untuk mengeksplisitkan pengaturannya, khususnya pengendalian sejak produksi, distribusi dan konsumsi, maka persoalan minuman beralkohol perlu diatur lebih lanjut secara komprehensif dalam bentuk undang-undang. Di satu sisi secara medis, zat yang terkandung dalam minuman keras adalah zat adiktif dan termasuk bahan berbahaya bagi kesehatan manusia, namun di sisi lain adalah salah satu komoditi ekonomi yang menyerap tenaga kerja, disamping sebagai tambahan pemasukan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Oleh karena itu, untuk mengatur kedua komoditi yang bersifat positif dan negatif ini, dipergunakan asas keseimbangan kesehatan dan nilai-nilai ekonomis. Pengendalian minuman beralkohol dilaksanakan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan kesehatan pribadi maupun umum. Di samping itu pengendalian minuman beralkohol juga diarahkan untuk tidak merugikan kepentingan tenaga kerja, baik di pertanian/perkebunan, maupun di industri minuman. Oleh sebab itu, didalam rancangan undang-undang ini, salah satunya memperhatikan dengan sungguh-sungguh asas kemanfaatan untuk publik (umum) secara komprehensif.
Dengan memerhatikan sifat alami dari minuman yang mengandung alkohol, dan mengupayakan penelitian yang terus-menerus secara efektif, maka diharapkan pada suatu saat akan mendapatkan minuman subsitusi yang secara bertahap dapat menggantikan minuman beralkohol, dan tidak berbahaya bagi kesehatan, serta meniadakan dampak negatif di masyarakat secara luas.
Pemerintah dapat menarik pajak untuk kepentingan pembangunan kesehatan, dan hak asasi manusia yang diatur, dan diakui, serta dilindungi dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 23/1992, Peraturan Pemerintah No. 19/2003 dan berbagai Peraturan Daerah di berbagai wilayah Indonesia.
Penyelenggaraan pengendalian minuman beralkohol, merupakan proses yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, baik nasional maupun internasional. Asas ini berlaku pula bagi para pabrikan minuman beralkohol, dalam menggunakan dananya (corporate social responsibility), untuk berbagai kepentingan publik, antara lain; kesehatan, pendidikan, olah raga, dan sebagainya.
Konsumsi minuman beralkohol sudah menjadi masalah yang kompleks, tidak saja menyangkut masalah di bidang kesehatan tetapi juga menyangkut masalah-masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, dan perpajakan, serta tidak jarang juga masalah yang berdampak psikologis.
Dengan melihat kajian di atas, minuman beralkohol pada dasarnya merupakan suatu bentuk gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, oleh karena itu, secara filosofis, pembentukan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, merupakan bagian dari pemenuhan tujuan bernegara Republik Indonesia, yaitu melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Upaya melindungi segenap rakyat dan bangsa Indonesia, dikuatkan pula dengan hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dari ancaman ketakutan untuk berbuat, atau tidak berbuat sesuatu, yang merupakan hak asasi, hak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan sehat, serta berhak mernperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 G, ayat (1), dan Pasal 28 H, ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karenanya peredaran minumn keras perlu diatur, mengingat aspek pertimbangan sosiologis berkaitan dengan permasalahan empiris, dan kebutuhan yang dialami oleh masyarakat, yang menyangkut tentang pengaturan dan pengendalian minuman beralkohol. Oleh karena itu, secara sosiologis, UU tentang Larangan Minuman Beralkohol haruslah memberikan jawaban atau solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan penanganan bahaya yang diakibatkan oleh minuman beralkohol.
Sementara itu, jika kebiasaan dari sebagian masyarakat, atau di daerah-daerah tertentu mengonsumsi minuman beralkohol karena dianggap merupakan warisan tradisional (arak, tuak, Sopi, Lapen, dll), jika dikaitkan dengan sisi agama, dimana mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, dan minuman beralkohol hukumnya haram, maka hal ini akan sangat bertolakbelakang. Aspek sosiologis lainnya, adalah bagaimana me-“manage” dampak negatif dari minuman keras dengan cara pencegahan (preventive), pengurangan resiko (preparedness), daya tanggap (response), serta upaya pemulihan (recovery), akibat minum minuman beralkohol.
Alasan lain adalah pertimbangan sosiologis berkaitan dengan permasalahan empiris, dan kebutuhan yang dialami oleh masyarakat, yang menyangkut tentang pengaturan dan pengendalian minuman beralkohol. Oleh karena itu, secara sosiologis, UU tentang Larangan Minuman Beralkohol haruslah memberikan jawaban atau solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan penanganan bahaya yang diakibatkan oleh minuman beralkohol.
Sementara itu, jika kebiasaan dari sebagian masyarakat, atau di daerah-daerah tertentu mengonsumsi minuman beralkohol karena dianggap merupakan warisan tradisional (arak, tuak, Sopi, Lapen, dll), jika dikaitkan dengan sisi agama, dimana mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, dan minuman beralkohol hukumnya haram, maka hal ini akan sangat bertolakbelakang. Aspek sosiologis lainnya, adalah bagaimana me-“manage” dampak negatif dari minuman keras dengan cara pencegahan (preventive), pengurangan resiko (preparedness), daya tanggap (response), serta upaya pemulihan (recovery), akibat minum minuman beralkohol.
Berdasar uraian di atas maka perlu adalanya pengendalian minuman beralkohol, karena menyangkut hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, dan untuk berkreasi dan berekspresi, hak dan kewajiban warga negara, keuangan negara, dan untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia tersebut, maka pengendalian minuman beralkohol, merupakan salah satu ikhtiar untuk mengurangi dampak dari peredaran miras.
LEAVE A REPLY