Keterangan Gambar : Suasana seminar Gurindam di PDS HB Jassin TIM, Sabtu 17/12. Peserta sangat antusias. (foto aboe)
Jakarta, parahyangan-post.com-Gurindam merupakan salah satu karya sastra tertua Indonesia. Dipelopori oleh Raja Ali Haji. Yang terkenal dengan “Gurindam Duabelas”-nya.
Namun, saat ini, gurindam kurang dikenal lagi oleh masyarakat. Jarang diperbincangkan dan dipertunjukkan. Atau dibacakan di perhelatan sastra. Bahkan di sekolah-sekolah umum, gurindam hanya dikenalkan hanya sebatas ‘sebagai peninggalan budaya sastra adiluhung bangsa Indonesia’ belaka. Tidak dicoba untuk diapresiasi. Atau digali. Pun dilombakan.
Hal itulah kemudian Perkumpulan Rumah Seni Asnur (Perruas) menyelenggarakan Seminar Gurindam. Dengan ruang lingkup peserta yang lebih luas. Yakni se- ASEAN. Tema yang diangkat, “Memuliakan Peradaban dengan Gurindam.” Berlangsung di PDS. HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sabtu, 17 /12.
Sebagai pembicara tampil Assoc. Prof. Dato’ Perdana Dr. H. Abdul Malik, M. Pd,. Mohd.Nasir, M. Pd (Indonesia) Mohd. Rosli Bakir (Malaysia) Suriadi Sipan (Singapura). Dimoderatori oleh Prof.Dr.dr. Umar Zein.
Pesertanya adalah para guru berasal dari berbagai wilayah di tanah air dan negara ASEAN. Peserta ini adalah mereka yang menulis gurindam dan dibukukan. Bukunya, yang berjudul Gurindam Kalbu” diluncurkan pada puncak acara Festival Gurindam, Minggu 18/12 malam.
Dalam sambutan diskusi. Drs. Sam Mukhtar Chaniago M.Si, (dari Peruas). Yang juga salah seorang koordinator wilayah penulisan buku “Gurindam Kalbu”, mengatakan, sebuah peradaban akan tumbuh dan berkembang, jika terjadi kemajuan dalam kehidupan jasmani dan rohani bangsa yang mewarisinya.
“Kehadiran gurindam tak hanya sekadar menjadi bagian dari peradaban kita. Lebih daripada itu, ia merupakan salah satu unsur penting dalam pemuliaan peradaban, menjadi jati diri bangsa,” tuturnya.
Pasalnya, lanjut Sam, keindahan lahirnya, bentuknya senantiasa membahagiakan pembaca dan pendengarnya yang berjiwa terbuka. Keindahan batiniahnya pula memungkinkan siapa pun yang menghayatinya akan memperoleh kesegaran rohaniah dari pesan moralnya.
Dalam diskusi yang cukup hangat. Dan juga diselingi pembacaan gurindam, mengemuka. Agar gurindam kembali disukai masyarakat, maka dibutuhklan campur tangan pemerintah. Seorang penulis gurindam dari Kalimantan Selatan menceritakan pengalamannya. Dia sudah menulis banyak gurindam. Tapi tidak sanggup menerbitkan sendiri. Sementara penerbit ‘mainstream’ tidak mau mencetaknya. Akhirnya ia meminta bantuan pemerintah daerah.
“Alhamdulillah pemerintah daerah bersedia membantu dan sekarang sudah cetakan ketiga. Dan setiap cetak jumlahnya 3000 eksamplar,” tuturnya.
Peserta lain dari Banten yang juga ikut menulis dalam buku Gurindam Kalbu berkisah. Ketika ia mensosialisasikan gurindam ternyata para siswanya cukup antusias. Hanya saja dia belum bisa menjelaskan dengan baik karena masih belum paham betul. Masih terdapat ambigu dalam gurindam.
“Misalnya. Dalam penulisan gurindam hanya diperbolehkan empat baris dalam satu bait dengan akhiran yang sama (dua vocal). Setiap baris hanya boleh empat kata. Tapi pada kenyataannya banyak gurindam yang berisi lebih dari empat kata dalam satu baris,” tuturnya.
Dalam diskusi itu juga mengemuka, ternyata gurindam bukanlah karya asli Indonesia. Tetapi dari India. Dibawa ke Indonesia oleh Raja Ali Haji.
Kesulitan utama dalam menulis gurindam adalah mencari hubungan sebab akibat dari masing-masing baris. Karena dalam gurindam tidak ada sampiran dan isi (seperti pantun). Dan semua baris adalah nasehat-nasehat untuk mencari hakikat dan kemuliaan hidup yang sebenarnya.
“Jadi untuk menjadi penulis gurindam harus menasehati diri sendiri terlebih dahulu. Baru bisa menulis untuk menasehati orang lain (pembaca),” tutur Sam Chaniago.*** (pp/Ismail Lutan)
LEAVE A REPLY