Home Opini Pentingnya Oposisi Dalam Parlemen

Pentingnya Oposisi Dalam Parlemen

1,650
0
SHARE
Pentingnya Oposisi Dalam Parlemen

Oleh : Aji Setiawan, ST *)


Di saat sebagian partai yang tergabung dalam koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno merapat ke petahana, misalnya PAN dan Demorat. Gerindra condong memilih sisi seberangnya. Kemungkinan besar Gerindra jadi oposisi. Joko Widodo-Ma’ruf Amin relatif tidak menghadapi tantangan berat karena berhadapan dengan parlemen yang dikuasai koalisi Indonesia Kerja. 

Seperti diketahui, mayoritas kursi di parlemen dikuasai oleh Koalisi Indonesia Kerja. Demikian pula nantinya kursi pimpinan DPR dan MPR. Lalu, apa yang bisa dilakukan para legislator dari partai oposisi Koalisi Indonesia Adil Makmur yang sudah dinyatakan bubar? 

Oposisi dalam dunia
politik berarti partai penentang di dewan perwakilan dsb yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Beberapa parpol ada yang menyebut dirinya sebagai partai penyeimbang. 

Oposisi lazim diterjemahkan menjadi oposisi. Kata itu berasal dari bahasa Latin
oppōnere, yang berarti menentang, menolak, melawan. Nilai konsep, bentuk, cara, dan alat oposisi itu bervariasi. Nilainya antara kepentingan bersama sampai pada kepentingan pribadi atau kelompok. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata oposisi didefinisikan dalam dua bidang yang berbeda. Pada dunia politik, arti kata oposisi dimaknai sebagai ‘partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa’. Sementara dalam bidang linguistik, arti kata oposisi dimaknai sebagai ‘pertentangan antara dua unsur bahasa untuk memperlihatkan perbedaan arti’. 

Dari kedua arti kata oposisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata oposisi dalam pemaknaan linguistik nampaknya kurang akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia lebih sering mengaitkan arti kata oposisi dengan dunia politik. Orang-orang pun masih sering mendefinisikan arti kata oposisi sebagai sesuatu yang berlawanan dengan arti kata koalisi. Padahal arti kata oposisi bukanlah antonim dariarti kata koalisi. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata koalisi adalah ‘kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen’. Arti kata koalisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini memang lebih cenderung ke dalam dunia politik. Sebuah partai politik tidak akan mampu mengusung calon presiden dan calon wakil presiden tanpa berkoalisi. Hal ini disebabkan karena umumnya jumlah suara pemilih dalam suatu partai politik tidak akan cukup untuk memenuhi batas minimum suara yang diperlukan dalam mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. 

Berdasarkan definisi tersebut, partai politik dalam pemerintahan seakan terbagi dalam dua kubu. Kalau tidak menjadi partai koalisi berarti menjadi partai oposisi. Hal ini lah yang menyebabkan kebanyakan orang berpikir jika arti kata koalisi dan arti kata oposisi merupakan dua kata yang saling berlawanan. Kenyataannya, koalisi bukanlah antonim dari oposisi. Arti kata koalisi bersinonim dengan kata aliansi, asosiasi dan federasi yang memiliki makna ‘bergabung’. Sedangkan arti kata oposisi bersinonim dengan kata antagonisme dan antitesis yang bermakna ‘bertentangan’. Seperti yang kita tahu, bergabung dan bertentangan bukanlah dua kata yang dapat diantonimkan. 

Sikap oposisi dari pecahan Koalisi Adil Makmur yang mengusung Prabowo-Sandi dalam Pilpres kemarin
  ini harus dicermati karena berpotensi adanya upaya menjegal pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Menurut dia, ada dua hal yang bisa dilakukan Jokowi-JK dan koalisinya. 

Pertama, Jokowi harus menggunakan kemampuan persuasif untuk menambah jumlah partai pendukung. Hal ini sewajarnya memang harus dilakukan Jokowi. Kedua, Dodi mengatakan, pemerintah, dalam hal ini Jokowi, harus dapat memenangi hati publik. Meski menang kuat di parlemen, Jokowi dapat menggunakan kekuatan rakyat untuk menilai siapa yang lebih mengedepankan kepentingan rakyat dibanding kepentingan politik. 

Substansi kebijakan yang dapat dilakukan Jokowi, misalnya, dengan membangun hubungan antara pusat dan daerah dan mengedepankan pembangunan infrastruktur. Serta tantangan yang paling terkini adalah menyatukan kembali seluruh komponen politis dan kebangsaan paska keputusan MK dan KPU. Kemudian, membuat kebijakan-kebijakan yang dapat langsung dipahami dan dirasakan oleh rakyat. Kebijakan-kebijakan itu di antaranya berkaitan dengan pemberantasan korupsi, peningkatan taraf ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. 

Dalam sistem politik dan ketatanegaraan kita memang tidak dikenal istilah
partai oposisi. Tetapi secara substansi dan fungsional, peran oposisi banyak dipraktikkan oleh partai politik diluar pemerintahan sejak zaman Soekarno hingga era Jokowi saat ini. 

Oposisi merupakan bagian dari artikulasi politik yang berfungsi sebagai kontrol dalam pengambilan kebijakan politik pemerintah, apakah kebijakan tersebut untuk kepentingan rakyat atau sebaliknya untuk penguasa semata dan kroninya. 

Selama periode demokrasi terpimpin (1959-1965)
Soekarno, Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indoensia (PSI) merupakan partai oposisi yang bersuara lantang karena menganggap Soekarno telah bertindak sewenang-wenang mengangkat anggota parlemen sendiri sebagai kepala Negara yang tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945. 

Di bawah rezim otoriter
Soeharto, partai oposisi menghilang walau kerap disuarakan oknum-oknum politisi pemberani di parlemen seperti Sri Bintang Pamungkas dari PPP yang berani menolak laporan pertanggungjawaban Soeharto 1993 dan di-recall dari keanggotaan DPR. 

Melalui regulasi dan fusi partai,
Soeharto menciptakan hegemoni kekuasaan (power hegemony) dari pemimpin otoriter-totaliter menuju diktator-antagonis. Soeharto menggunakan militer sebagai pilar utama kekuasaan sentralistik dengan dua strategi yaitu, pertama, Menciptakan politik yang bebas dari konflik idiologis dan berdasarkan konsensus. 

Sekarang, PDIP sebagai partai berkuasa tidak seharusnya risih dan alergi keberadaan partai Gerindra dan PKS yang memosisikan diri sebagai
partai oposisi pemerintah. Apa yang disampaikan oleh kedua partai tersebut hanya mengganti peran PDIP yang pernah dimainkan dimasa lalu sebagai penyeimbang untuk meluruskan kebijakan yang dinilai keliru pula. 

Makna Positif 

Oposisi baik dalam bentuk personal maupun komunal (pressure group) atau dalam bentuk partai politik sebagai kelompok penyeimbang kekuatan (balance of power). Dari pemerintah yang berkuasa, ada kecenderungan bahwa penguasa akan melanggengkan kekuasaannya dan membuat kebijakan sesuka hati bila tidak ada kelompok masyarakat atau partai politik yang mengoreksinya. 

Dalam konteks negara yang dibangun diatas paradigma kontrak sosial (Social Contract) maka kepala negara dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik harus sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat sebagai mitra kontrak dalam menjalankan pemerintahan. 

Partai politik merupakan perwujudan aggregasi aspirasi masyarakat berhadapan dengan pemerintah. Indonesia sebagai negara yang menganut Social Contract dalam pelaksanaan pemerintahan hendaknya memosisikan rakyat secara sejajar yang diwujudkan dalam bentuk representasi di parlemen dengan bersama-sama membuat keputusan dalam berbagai urusan kepentingan politik. 

Tindakan kepala negara atau pemerintahan yang otoriter-represif dalam pengambilan keputusan akan melahirkan kelompok dari masyarakat atau partai politik oposisi menjadi Counter Policy dengan keputusan pemerintah. Inilah yang melahirkan
partai oposisi ditengah konfigurasi politik nasional yang dinamis. 

Sayangnya, oposisi sering dianggap sebagai musuh dan diberi stigma negatif oleh pemerintahan yang otoriter,
partai oposisi tidak mendapat ruang gerak yang layak bahkan negara mengharamkan keberadaannya. Hanya pemerintahan diktator yang melarang munculnya partai oposisi yang perannya sangat bermanfaat bagi masyarakat. 

Peran penting
partai oposisi setidaknya ada lima hal yakni pertama, oposisi sebagai check and balance sebagai pemerhati dan pengontrol perilaku dan kinerja negara (pemerintah). Secara budaya, protes rakyat terhadap raja yang dilakukan dengan cara Pepe, berjemur ditengah terik matahari, telah ada ratusan tahun yang lalu dikalangan masyarakat Jawa. 

Kedua, oposisi berperan sebagai counter player, yang tidak bisa diremehkan atau dilecehkan oleh pemerintah karena oposisi merupakan penyeimbang opini publik yang melakukan kritik secara konsepsional, kuat dalam visi dan strategik untuk memperjuangkan aspirasi konstituennya. Di sinilah kelompok oposisi menurut Herbert Feith harus kuat dan solid. 

Ketiga, oposisi berperan sebagai sparing partner pemerintah, untuk menentukan kebijakan-kebijakan sosial-politik agar tetap pada rel pemihakan terhadap rakyat. Ini penting agar pemerintah tidak berlaku diskriminatif. 

Keempat, oposisi berperan sebagai advocatus diaboli-devils advocate yang memainkan peran sebagai setan yang menyelamatkan masyarakat, justru dengan mengganggu terus menerus. 

Dalam peran tersebut oposisi mengemukakan titik kelemahan dari suatu kebijakan pemerintah sehingga apabila kebijaksanaan itu diterapkan, segala hal yang dapat mengakibatkan efek samping yang merugikan sudah lebih dulu ditekan seminimal mungkin. 

Kelima, kehadiran oposisi berkaitan dengan masalah accountability atau pertanggung jawaban akan lebih diperhatikan oleh pemerintah. Tidak semua hal akan diterima begitu saja, seakan-akan dengan sendirinya jelas atau beres dalam pelaksanaannya. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan memperttanggung jawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya, serta dengan cara bagaimana kebijakan itu akan diterapkan. 

Dari kelima peran oposisi yang dimainkan secara simultan oleh partai politik akan melahirkan pemerintahan yang partisipatif, terbuka dan akuntabel agar melaksanakan roda pemerintahan yang benar-benar adil menuju masyarakat yang dicita-citakan; masyarakat adil dan makmur tanpa diskriminasi dan perlakuan yang sama didepan hukum.(*) 


*) Penulis adalah : mantan wartawan Majalah alKisah Jakarta dan Ketua PWI-Reformasi Korda Jogjakarta 1998-2003