Keterangan Gambar : Pengamat ekonomi Bright Institute DR. Awalil Rizky
Pengamat Ekonomi Bright Institute, Awalil Rizky: Krisis Ekonomi Bisa Terjadi di Tahun 2023
Fundamental ekonomi masih belum kuat
Jakarta,parahyangan-post.com- Pengamat ekonomi dari Bright Institute DR. Awalil Rizky menyatakan krisis ekonomi bisa saja terjadi pada tahun 2023. Karena fundamental ekonomi Indonesia masih belum kuat. Hal tersebut disampaikan dalam laporan ‘Insight Economic 2023’ yang diumumkan, Senin 26/12. Sedangkan diskusi mengenai outlook Ekonomi Indonesia berlangsung Selasa 27/12 di Hotel Horison Jakarta.
“Jadi pada tahun 2023, kemungkinannya bukan hanya resesi tetapi juga kriris ekonomi,” kata Awalil dalam laporannya.
Insight economic 2023 yang ditulis oleh Awalil Rizky, merupakan suatu laporan yang menyampaikan pandangan tentang risiko yang dihadapi perekonomian Indonesia pada tahun 2023. Disimpulkan adanya ancaman terjadinya krisis ekonomi, bukan sekadar resesi ekonomi. Penjelasan atas berbagai aspek dan dinamika ekonomi terkini untuk mendukung opini tersebut diuraikan dalam berbagai bab.
Laporan memang menganalisis berbagai indikator ekonomi, terutama makroekonomi, namun tidak berorientasi pada prakiraan atau proyeksi “as usual”. Beberapa hal lebih menjadi perhatian,antara lain: pencermatan keterkaitan antar indikator ekonomi, analisis fundamental ekonomi, mendeteksi kompleksitas dinamika ekonomi nasional dan internasional, serta memperhitungkan beberapa risiko besar yang sedang dan akan dihadapi.
Dinamika perekonomian global saat ini beserta faktor ketidakpastiannya yang tinggi secara umum tidak menguntungkan perekonomian Indonesia. Antara lain: resesi ekonomi beberapa negara, soal harga dan pasokan energi, harga dan pasokan pangan, inflasi tinggi, dan suku bunga yang tinggi. Ditambah dengan kondisi geopolitik yang panas dan berpotensi makin memburuk.
Pada saat bersamaan, fundamental ekonomi Indonesia tidak cukup kuat, bahkan cenderung rapuh. Pengertian fundamental ekonomi menurut laporan ini adalah hal-hal yang mendasar dalam suatu perkonomian, yang memberi gambaran jawaban atas apa, bagaimana dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi. Pengertian ini mensyaratkan kurun waktu yang digambarkan harus cukup panjang, sekurangnya kondisi selama lima tahun terakhir.
Judul masing-masing bab cukup menggambarkan opini dan aspek penting perekonomian Indonesia menurut laporan ini. Uraiannya terutama berisi asesmen yang menyimpulkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia tidak lah kuat, bahkan cenderung rapuh.
Laporan terdiri dari Sembilan bab, selain tinjauan umum pada bab satu dan tinjauan penutup pada bab sebelas. Antara lain sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kurang berkualitas; deindustrialiasasi premature masih berlanjut; kondisi ketenagakerjaan yang masih buruk; ancaman arus modal keluar; inflasi tinggi mulai mengancam; sistem keuangan tidak cukup stabil; kemiskinan dan ketimpangan belum membaik; kondisi fiskal yang rawan; beban utang luar negeri dan utang BUMN.
Secara umum, laporan ini mungkin terkesan sangat kritis dan seolah hanya menyoroti kegagalan otoritas ekonomi, termasuk menilai rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia. Pandangan tersebut berkebalikan dari pandangan otoritas yang mengklaim kuatnya fundamental ekonomi. Otoritas juga berupaya membangun optimisme, namun dinilai menyamarkan cukup banyak kondisi buruk dari perekonomian.
Otoritas ekonomi Indonesia memang mengatakan ada risiko dan kewaspadaan tetap dijaga saat ini dan pada tahun 2023. Akan tetapi dari berbagai narasi pejabat dan dokumen resmi negara, bagian risiko ini tidak dieksplorasi lebih jauh. Mitigasi risiko tidak dilakukan secara sungguh-sungguh.
Laporan ini merekomendasikan otoritas ekonomi perlu secara serius melakukan mitigasi risiko. Beberapa kebijakan mesti segera diambil agar kondisi buruk tersebut dapat dicegah. Selain itu, langkah persiapan tetap perlu dilakukan, seolah krisis ekonomi akan terjadi.
Perlu diingat bahwa krisis ekonomi umumnya berhubungan sangat erat dengan krisis politik. Krisis politik tidak selalu berarti kejatuhan suatu pemerintahan, namun bisa saja berupa kondisi yang memberi kekuasaan jauh lebih besar kepada Pemerintah untuk mengambil kebijakan yang luar biasa. Kedua kondisi tersebut bukan lah hal baik bagi masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.*** (aboe/pp/rls)
LEAVE A REPLY