Keterangan Gambar : Joko Priambodo (sumber foto : ist/pp)
Oleh: Joko Priambodo
Anggota Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI)
MENCERMATI - Kehidupan masyarakat Indonesia yang mengalun seturut perkembangan ilmu dan teknologi modern seringkali menyentak rasa kemanusiaan, mengaduk emosi dan perasaan kita menyaksikan laku seksual menyimpang yang semakin dianggap normal, motif kriminalitas yang kadang tak terbayang, infrastuktur dan residu kehidupan modern yang merusak kelestarian lingkungan, berbagai konflik dan peperangan atau perilaku sosial lain masyarakat dimana berbagai kebohongan, kejahatan dapat dengan mudah dianggap sebagai kebenaran. Setidaknya hal tersebut kerap penulis pribadi alami sehari-hari ketika menyimak berita dan percakapan linimasa di beberapa platform media sosial yang telah menjadi ruang publik baru masyarakat Indonesia yang terkoneksi dengan dunia global. Menganalisis semua itu sebagai era post truth dimana interpretasi mempecundangi kebenaran positivistik tentu tidak keliru, namun betapa naif bila kita lantas mengabaikan masa depan keberlanjutan hidup yang manusiawi bagi generasi kelak.
Dalam perspektif Islam, jiwa manusia terilhami dua kondisi dikotomis sebagai arah potensial manusia dengan kesadarannya mengembangkan diri yaitu jalan gelap kefasikan dan jalan terang ketaqwaan yang termaktub dalam QS. As-Syams ayat ke-7: Fa al-hamah? fuj?rah? wa taqw?h?
Artinya: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.
Meraih derajat ketaqwaan adalah sebagai tujuan paripurna kehidupan setiap manusia dan menjadi prasyarat kehidupan sosial yang berkebaikan (bonum commune) tidak serta-merta dapat direngkuh kecuali lewat terang jalan pendidikan (tarbiyah), ayat diatas pun hakekatnya bisa ditafsirkan bahwa keberuntungan niscaya menyertai orang-orang yang menyucikan dirinya dengan taat kepada Allah. Para ulama sebagaimana Qatadah, menegaskan tafsir ayat tersebut dengan membersihkannya (jiwa) dari akhlak-akhlak yang hina dan rendah. Tafsiran semisal juga diriwayatkan oleh Mujahid, Ikrimah, dan Sa'id bin Jubair. Maka antara pendidikan dan humanisme semestinya bersifat kongruen dalam mengembangkan diri manusia sebagai individu sekaligus membangun peradaban manusia yang humanis.
Prof. Abdurrahman Mas'ud seorang pakar pendidikan Islam Indonesia dalam bukunya Paradigma Pendidikan Islam Humanis(2020) menekankan pentingnya proses pendidikan yang lebih memerhatikan aspek potensi manusia sebagai sebagai makhluk sosial, makhluk religius: 'abdullah dan khalifatullah dimana melekat tanggung jawab akan amal perbuatannya secara individu dan sosial di dunia maupun di akhirat. Humanisme dengannya terpelihara lewat potensi aktif individu-individu dalam rangkaian proses menyempurnaan diri (becoming atau istikmal).
Semoga wajah pembangunan dunia pendidikan Indonesia ke depan dapat merespon berbagai tantangan global tidak hanya dengan membangun potensi teknokratik anak bangsa, namun juga memperhatikan keutuhan sebagai manusia yang lebih manusiawi (more human).
Jakarta 21-Mei-2024
LEAVE A REPLY