
Keterangan Gambar : Sang Gerilyawan Fauzan Azima (tengah) Putra Gara (kiri) dan Mustafa Ismail saat diskusi dan peluncuran buku Sang Gerilyawan, Memoar Panglima Linga ( foto PL))
Aceh Jangan Berperang Lagi
Peluncuran Buku Sang Gerilyawan
Jakarta, parahyangan-post.com. Aceh jangan berperang lagi. Masyarakat sudah lelah. Mari kita tutup lembaran masa lalu untuk hidup damai dan berdampingan di masa depan. Dan menghilangkan kesombogan diri masing-masing.
Harapan tersebut disampaikan mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Linge Fauzan Azima pada peluncuran buku “Sang Gerilyawan, Memoar Panglima Linge” di Balai Budaya Jakarta, Sabtu 18/12.
Semasa GAM berkecamuk, Fauzan Azima adalah panglima wilayah Linge. Buku ini adalah memoar tentang dirinya, sebagai pelaku utama.
“Saya menulis buku ini bukan untuk membuka luka lama tetapi semata untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa peristiwa itu ada. Dan tidak boleh dilupakan sebagai bagian dari sejarah Aceh, dan Indonesia,” tambah Fauzan yang kini menjadi penasehat gubernur Aceh Bidang Pendidikan.
Dalam buku tersebut Fauzan menceritakan banyak peristiwa menarik. Perang, menurutnya, tidak semata berjibaku melawan musuh tetapi perang terbesar ternyata melawan diri diri sendiri.
Keyakinan Fauzan ikut berperang ketika itu adalah karena adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang mencolok. Dia berjuang untuk menegakkan keadilan itu. Dia tidak ingin menkhianati hati nurani dan mengkhianati tanah kelahirannya.
Maka dalam perang gerilya yang dilakukan semasa GAM itu, Fauzan tegas bersikap. Darah pengkhianat tidak boleh diajak berperang karena mereka tidak mempunyai keyakinan. Para gerilyawan yang ikut berperang ketika itu adalah pejuang-pejuang yang berkeyakinan bahwa ada ketidak adilan.
Linge, tempat Fauzan dilahirkan, sebenarnya tidaklah 100% masyarakatnya beretinis Aceh. Kalau diprosentasekan, penduduk Linge itu terdiri dari 70% suku Jawa, 20% Aceh pesisir dan sisanya suku Gayo. Fakta ini setidaknya, mempegaruhi sikapnya menentukan arah perjuangannya.
Hangat
Dipandu editor buku Putera Gara, yang juga berdarah Aceh, diskusi dan peluncuran buku berlangsung hangat. Para peserta antusias sekali mendengar tuturan langsung Sang Panglima yang berjuang menyabung nyawa di hutan belantara yang gelap.
Beberapa momen penting dan tragis, namun juga humanis sempat diceritakan oleh Fauzan dalam paparannya. Misalnya ketika ia berhari-hari tersesat di hutan lebat karena terpisah dari pasukannya. Tentang dialognya dengan alam yang kemudian menyatukan dan memurnikan arah perjuangannya.
Sementara Mustafa Ismail yang bertindak sebagai pembedah buku mengatakan, buku tersebut sangat penting. Karena ditulis langsung oleh pelakunya sendiri dalam situasi yang boleh jadi dilematis.
“Di dalam buku ini tidak hanya cerita tentang perang. Tetapi juga ada budaya, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Aceh yang kaya dan beragam. Jadi saya melihat buku ini bukan memoar semata tapi kaya dengan nuansa budayanya. Buku ini layak untuk dijadikan referensi,” tutur Ismail yang juga seorang wartawan dan penyair ini.*** (aboe)
LEAVE A REPLY