Keterangan Gambar : Prof DR Mahfud MD, Menko Polhukam RI (sumber foto : ist/pp)
Oleh : W. Suratman
Jurnalis, Penulis dan Sekjend Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI)
“Saudara jangan menggertak-gertak, saya bisa gertak juga. Saudara bisa dihukum menghalang-halangi penyidikan, penegakan hukum,” ujar Mahfud MD dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III dan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU di Gedung Nusantara III, Rabu (29/03/2023), sebagaimana dikutip berbagai media nasional.
Disisi lain sebagaimana di lansir dari Detik.com, Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Pidana Pencucian Uang (TPPU) sekaligus Menko Polhukam, Mahfud MD meminta dukungan Komisi III DPR agar membantu pengesahan dua undang-undang. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Namun apa yang diharapkan Pak Mahfud, rupanya harus melalui jalan terjal yang mesti dilaluinya, tembok-tebok tebal terbentang di depan mata. Hal tersebut sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Komisi III, Bambang Wuryanto atau lebih dikenal dengan Panggilan Bambang Pacul, bahkan sempat ramai dijagat maya, media social. Lantas apa yang bisa diharapkan dari kondisi seperti ini..!!!
Pada persoalan ini sosok seorang Mahfud MD sebenarnya memiliki komitmen yang kuat dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Namun realitanya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, mudah diucapkan, indah dalam slogan-slogan yang bertebaran, namun dalam tataran dilapangan banyak sekali kendalanya.
Bicara tetang korupsi, konon meski negeri ini dihuni oleh masyarakat yang agamis, namun berbagai penelitian internasional yang dilakukan, misalnya oleh Politicaal and Economic Risk Consultantcy (PERC) dan Transparancy Internasional (TI) pernah menetapkan Indonesia termasuk negara terkorup.
Padahal berbagai jaring, alat dan lembaga penghadang terjadinya tindak pidana korupsi telah ditebar, rezim berganti rezim, peraturan dan lembaga penghadang tindak pidana korupsi juga terjadi silih berganti.
Seolah kita sudah tidak asing lagi dengan berbagai institusi pengawasan dan gertakan undang-undang maupun badan pengawasan serta ancaman pemberantasan, seperti UU RI No.20/Th.2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada juga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikenal sebagai lembaga yang agung (supreme audit), sampai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang konon amat ‘galak’, serta berbagai Inspektorat sampai Bawasda, ditambah kewenangan DPR/DPRD yang memiliki fungsi pengawasan juga.
Namun realitanya, korupsi tetap berjalan dengan langkah tegak, leha-leha, santai dan aman. Barangkali lantaran korupsi termasuk virus social yang umurnya sepantaran tua nya dengan profesi pelacuran atau portitusi, masuk kategori penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Ditambah sikap masyarakat yang terlanjur kecipratan pengaruh budaya feodal dan sistem masyarakat kapitalistik yang lebih menghargai kekayaan, kemewahan, ketimbang kejujuran maupun kesederhanaan, sehingga membuat gerak korupsi kian subur.
Padahal nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan merupakan upaya paling praktis untuk tidak berbuat korupsi. Intinya, kembali kepada faktor manusianya, bukan aturanya. Nyaris tak ada manfaatnya kita membuat berbagai aturan, jika faktor moralitas aparatnya tidak bisa diandalkan.
Pencipta sistem Network Twenty One, Jim Dorman dan pakar kepemimpinan serta motivasi, Ohan C.Maxwel, pernah ‘menyindir’, ketika melihat terlalu banyak UU, aturan dan insitusi pengawasan/audit. Menurut mereka, berbagai perangkat itu tak lebih hanya bersifat visioner, padahal yang dibutuhkan adalah praktik dari bangunan impian itu.
Jadi, terasa percuma saja kita terus membangun mimpi, jika pada kenyataannya korupsi itu tetap subur, Indonesia terus ‘berjaya’ dan mendominasi peringkat tertinggi dalam urusan menggarong uang rakyat..!!!.
Sosok Seorang Mahfud MD
Bersyukur pada tahun 2014, penulis pernah melakukan wawancara langsung dengan putra kelahiran Sampang, Madura 13 Mei 1957. Saat itu, Prof.DR Mahfud MD, baru setahun menyelesaikan tugas pengabdianya di Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak pihak waktu itu berharap Pak Mahfud ikut mencalonkan diri sebagai R-1, pada tahun 2014 saat itu sedang ramai, adanya ‘konvensi capres’ yang digelar oleh parpol.
Mengacu secara Trias Politika, baik dalam Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, seorang Mahfud MD pernah masuk dan berkiprah di dalamnya, dan mungkin inilah satu-satunya tokoh dalam tataran nasional yang pernah duduk di Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, luar biasa.
Di tingkat Eksekutif, Pak Mahfud pernah membantu presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai Menteri Pertahanan RI, periode (2000 – 2001), dan Menteri Kehakiman dan HAM RI (2001). Pada periode inilah Mahfud MD bersama almarhum Gus Dur, bersama sama menghadapi badai politik yang cukup berat saat itu. Dan sejak dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Oktober 2019, sampai saat ini, Pak Mahfud mengemban amanah sebagai Menko Polhukam RI, sosok sipil yang duduk di Kemenko Polhukam RI.
Selanjutnya, dalam tingkat Legislatif, Pak Mahfud MD, pernah mencicipi bagaimana rasanya jadi anggota DPR-RI, di Komisi III (2004-2006), di Komisi I (2006-2007), dan di Komisi III (2007 – 2008). Suami dari Zaizatun Nihayati, SH (Yatie) ini juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Legislatif DPR-RI (2007-2008).
Dan yang terakhir dalam tingkat Yudikatif, seorang Mahfud MD pernah menduduki Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode (2008-2013). Selama kepemimpinannya di MK, diakui Mahfud MD, dari tahun 2003 sampai dengan 2013 sedikitnya 500 produk hukum telah masuk judical review, dan kurang lebih 180 keputusan Pengadilan, telah dibatalkan.
Perjalanan seorang Mahfud MD dalam alam demokrasi yang ‘kaffah’ tidak lepas dari peran sosok seorang Gus Dur.
“Saya akademisi yang dituntun Gus Dur untuk masuk ke tiga pilar negara demokrasi, yakni, Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif,” dalam suatu wawancara dengan penulis tahun (2014).
Dari dukungan Gus Dur inilah, Mahfud MD memegang prinsip bahwa jabatan politik adalah amanah, dan bukanya alat kekuasaan. Menurut Pak Mahfud MD, bahwa menikmati kekuasaan itu menyesatkan, ia ingin mengakhiri masa jabatnya dari ketua MK pada waktu itu, dengan legowo.
Dapat Gelar “MD” di Belakang Namanya.
Kata ‘Mahfud’ yang bermakna ‘orang yang terjaga,’ menjadi do’a Mahmodin (sang ayah). Ayah Pak Mahfud, sosok seorang pegawai rendahan di Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Pak Mahfud merupakan putra ke empat.
Ketika Pak Mahfud berusia dua bulan, Mahmodin kembali ke daerah asalnya yaitu Pamekasan dan bertugas di Kecamatan Waru. Disanalah Mahfud menghabislan masa kecilnya dan mengecap pendidikan, mulai dari suaru hingga sekolah dasar.
Namun, tak pernah terbayangkan bahwa Mahfud akan mengalami perubahan nasib demikian dratis hingga bisa menjadi Ketua MK, menteri dan anggota DPR. Bahkan namanya juga berubah dengan mendapat tambahan inisial “MD”.
“MD” bukan gelar akademik. Semula, ia adalah singkatan dari nama Mahmodin (ayahnya-red), yang diberikan oleh gurunya waktu itu, karena saat itu ada tiga murid bernama Mohammad Mahfud di kelas I, sehingga wali kelas memasang nama ayah masing-masing.
“Daripada mirip becak, yang berkode A-B-C, lebih baik pakai nama nasab ayah,”pikir sang wali kelas, saat itu.
Uniknya, pada waktu penulisan ijazah kelulusan SMP, inisial itu lupa dicoret sehingga terbawa terus sampai ijazah SMA, Perguruan Tinggi dan Guru Besar. Dari situlah nama resmi Mahfud menjadi Mohammad Mahfud MD.
Kini publik akrab dengan inisial itu karena peran Mahfud MD dalam kehidupan kenegaraan begitu luas. Dia adalah satu-satunya tokoh nasional yang mengabdi ditiga pilar demokrasi, yakni Legislatif, Eksekutif hingga Yudikatif.
Dalam suatu kesempatan Pak Mahfud MD, demikian biasa disapa, menegaskan bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah leadership yang kuat untuk mengarahkan penegakan hukum. “Indonesia butuh leadership yang kuat dalam penegakan hukum,”, ujar beliau.(*)
LEAVE A REPLY